JAKARTA, KOMPAS - Ketidaksiapan regulasi ketenagakerjaan menjadi tantangan penerapan kebijakan peta jalan Indonesia untuk menghadapi revolusi industri keempat yang disebut Making Indonesia 4.0. Indonesia dinilai belum banyak memiliki regulasi yang mengatur kesiapan ketenagakerjaan menghadapi revolusi industri gelombang keempat tersebut.
Director of Business Development Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Training Center M Aditya Warman yang ditemui Kompas, Selasa (22/5/2018), di kantor Apindo Training Center, Jakarta, menyebutkan empat hal sebagai gambaran ketidaksiapan itu.
Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak mengatur kemitraan sebagai bentuk hubungan kerja. Padahal, kemitraan menjadi salah satu bentuk yang berkembang karena tren teknologi digital. Sebagai contoh, aplikasi ride-sharing Uber dengan mitra pengemudi mobil.
Hal kedua adalah ongkos tenaga kerja yang mencakup upah, jaminan sosial, hingga pesangon. Revolusi industri keempat ditandai dengan pemakaian teknologi kecerdasan buatan, robot, dan benda terhubung internet. Pemanfaatan semua jenis teknologi digital ini menyebabkan pola bekerja yang berubah ke arah lebih efisien.
Aditya memandang, kemungkinan yang terjadi adalah pengusaha lebih memilih berinvestasi pada teknologi untuk mengejar produktivitas pabrik. Akibatnya, pola bekerja berubah. Pengusaha bisa saja memilih membayar upah berdasarkan tugas produksi.
"Hubungan kerja tidak lagi dihitung dari gaji pokok. Bekerja menjadi lebih fleksibel dalam waktu. Undang-Undang Ketenagakerjaan juga belum menyinggung sampai ke tren fenomena ini," ujar dia.
Hal ketiga adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sebagai dampak efisiensi yang dikedepankan, pekerja alih daya dan pekerja lepas diperkirakan bertambah.
Hal terakhir yaitu peradilan hubungan industrial. Konsekuensi perubahan hubungan kerja, kata Aditya, menyangkut penanganan sengketa selama bekerja, apakah nantinya dibedakan perdata ataupun pidana.
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi Ikhsan Raharjo yang dihubungi secara terpisah, menceritakan, di sektor industri kreatif dan media sudah berkembang sistem kerja lepas (freelance) ataupun paruh waktu. Mereka yang berkecimpung biasanya mengaku memperoleh pendapatan lebih besar dibanding bekerja tetap.
"Di sektor industri kreatif dan media, pekerja lepas ataupun paruh waktu rata-rata berlatar belakang pendidikan tinggi. Mereka nyaman karena tidak terikat jam kerja tetap. Hanya saja, keluhan mereka adalah upah yang telat dibayar dan sengketa ini susah memperoleh penyelesaian hukum," ungkap Ikhsan.