Hari hampir senja, sekitar pukul 17.30, Rabu (9/5/2018), seorang perempuan bertubuh kecil melintas di jalan desa, di wilayah pegunungan perbatasan Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Ia berjalan tertatih-tatih, karena membawa kayu bakar dan rumput di punggungnya.
Sore itu, perempuan yang bernama Hasnawati (40), warga Dusun Bung, Desa Kalumammang, Kecamatan Alu, Kabupaten Polewali Mandar baru kembali dari kebun. Berhenti sejenak ketika disapa Kompas, Hasnawati mengungkapkan suka duka menjadi ibu rumah tangga di desa. Bertani adalah satu-satunya pilihan ketika dia dinikahkan orangtuanya pada usia anak-anak, selepas sekolah dasar.
Karena masih anak-anak dan organ reproduksinya belum siap, Hasnawati baru mengandung dan punya anak sekitar satu tahun lebih setelah menikah. Ia mengalami kesulitan melahirkan anak ketiga.
Dan, ternyata, siklus perkawinan anak tak berhenti. Nasib yang dialami Hasnawati, menikah di usia anak, berulang kepada putri sulungnya, yang juga menikah saat lulus sekolah dasar. “Karena ada yang melamar, kami terima saja. Sebab kalau menolak lamaran nanti anak saya enggak dapat-dapat jodoh,” ujar Hasnawati.
Siklus perkawinan anak tak berhenti. Nasib yang dialami Hasnawati, menikah di usia anak, berulang kepada putri sulungnya, yang juga menikah saat lulus sekolah dasar.
Besarnya uang panai’ (uang hantaran pada saat lamaran) juga mempengaruhi orangtua untuk menerima lamaran dari pihak laki-laki. Hasnawati ingat saat anaknya dilamar sekitar 20 tahun lalu, uang lamaran yang diterimanya sekitar Rp 4 juta. Setelah menikah, anaknya dan suaminya langsung berangkat ke Malaysia, menjadi tenaga kerja Indonesia. “Kalau enggak jadi TKI, hidup tetap susah dan tidak bisa bangun rumah,” papar Hasnawati.
Bukan hanya belum cukup umur dan alat reproduksinya belum siap, perkawinan anak juga membuat perempuan terjebak dalam lingkaran persoalan yang bisa saja membebani sepanjang hidupnya. Putus sekolah membuat peluang bekerja perempuan tak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, kecuali pekerjaan kasar.
Di sisi lain, karena tidak punya posisi tawar yang kuat, di dalam rumah perempuan rawan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan bisa berujung pada perceraian. Seperti yang dialami, HA (45) yang mengalami KDRT sepanjang hidupnya, semenjak menikah usia 14 tahun. Saking tak tahan dengan penyiksaan yang dialaminya bertahun-tahun, ia pernah berusaha membunuh suaminya.
Pengaruh pergaulan dan teknologi
Selain berada dalam lingkaran kemiskinan, norma sosial, dan budaya, perkawinan anak juga terjadi karena beberapa faktor, termasuk karena pengaruh perkembangan teknologi. Ima (23) misalnya. Warga Dusun Lalodo, Kalumammang ini sekitar enam tahun lalu meninggalkan bangku sekolah (SMA), dan menyusul pacarnya, dan kawin lari di Kalimantan.
Saat mengandung dia pulang ke Dusun Lalodo, Kalumammang. Kini Ima memiliki dua anak, usia 5 tahun dan 1 tahun. Ada penyesalan, karena teman-temannya seusianya melanjutkan sekolah. Padahal di sekolah dia termasuk anak yang pintar. “Saya dulu cita-cita ingin jadi perawat, kalau saya tidak menikah, tentu sekarang tinggal menunggu penempatan,” papar Ima.
Perkawinan anak di Sulbar saat ini mendapat sorotan karena wilayah tersebut rangking pertama perkawinan anak di tingkat nasional. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik tahun2015 tentang Prevalensi Tertinggi dan Terendah serta rata-rata prevalensi perkawinan anak (perempuan 20-24 tahun yang pernah menikah sebelum usia 18 tahun) sepanjang 2008-2012, Provinsi Sulbar menempati peringkat tertinggi, dengan prevalensi rata-rata sebesar 37,0 persen.
Perkawinan anak di Sulbar saat ini mendapat sorotan karena wilayah tersebut rangking pertama perkawinan anak di tingkat nasional.
Kendati demikian, menurut Retno Dwi Utami, Ketua Lentera Perempuan Mandar, yang mendampingi sejumlah perempuan di Majene dan Polewali Mandar, perkawinan anak di Sulbar tidak banyak mendapat perhatian nasional, karena daerah ini masuk daerah tertinggal.
“Padahal, perkawinan anak terus terjadi. Dalam setahun terakhir di Kecamatan Mapili, Polewali Mandar saja ada sekitar 10 anak perempuan berusia sekitar 15 tahun menikah,” paparnya.
Ia mencontohkan, pernikahan pasangan Arlin (17) dan Andini (15) di Lampa, Kecamatan Mapilli, Polewali Mandar, yang menjadi viral di media sosial pada November 2017. Alasan pernikahan mereka karena suka sama suka dan menghindari zina.
Meskipun Sulbar masuk dalam rangking pertama perkawinan anak tingkat nasional, di tingkat pemerintah setempat upaya mencegah atau mengakhiri perkawinan anak tidak terlalu masif. Kecuali meneruskan gerakan stop perkawinan anak yang digalakkan tingkat nasional, langkah kongkret pemerintah belum terlihat.
Bahkan, dalam Dialog Publik “Potret Perempuan Mandar dalam Aspek Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs” pada Selasa (8/5/2018) di kantor Bupati Majene, seorang pejabat di pemerintahan setempat pun tidak mengetahui jika daerah Sulbar adalah daerah yang paling tinggi perkawinan anak di Indonesia.
Budayawan Mandar, M Syariat Tajuddin menilai perkawinan anak di Sulbar mestinya bisa dicegah dan diakhiri karena ada budaya Mandar menempatkan perempuan Mandar sebagai pusaka yang harus dijaga, dilindungi, bahkan dimuliakan atau ditinggikan.
Perkawinan anak di Sulbar mestinya bisa dicegah dan diakhiri karena ada budaya Mandar menempatkan perempuan Mandar sebagai pusaka yang harus dijaga, dilindungi, bahkan dimuliakan atau ditinggikan.
“Mari kita kembali ke nilai-nilai budaya Mandar yang menempatkan perempuan pada posisi yang dimuliakan,” ujar Syariat, yang mengajak masyarakat Mandar untuk kembali menyelamatkan anak-anak perempuan sehingga terhindar dari perkawinan anak.
Sulbar hanyalah salah satu potret perkawinan anak di Tanah Air, hingga kini perkawinan anak masih marah di sejumlah tempat. Bahkan di beberapa daerah, perkawinan anak menjadi viral di media sosial. Terakhir perkawinan anak di Banteng, Sulawesi Selatan, Sy (15 dan Fa (14) yang masih duduk di bangku SMP mendapat dispensasi perkawinan di Pengadilan Agama setempat.
Karena itulah, kehadiran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak sangat mendesak. Kebijakan tersebut diharapkan akan berkontribusi kepada keberhasilan dalam bidang pendidikan yaitu Wajib Belajar 12 tahun, menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) yang saat ini masih tinggi yaitu 305 per 100.000 kelahiran, dan mencegah perdagangan perempuan, memutus mata rantai kemiskinan.