Buah Berdaya Sedari Desa
Sawah di Desa Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, hilang ditelan abrasi. Setelah tanpa asa sekian lama, desa itu bangkit lewat bisnis terasi goreng.
Puluhan stoples berisi masing-masing 100 gram terasi tersusun rapi di rumah Raniti (45) di Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Selasa (8/5/2018). Terasi goreng berbahan rebon bertabur bawang merah, cabai, dan tanpa pengawet itu menjadi bukti kemandirian hidup Raniti bersama mantan tenaga kerja Indonesia lainnya asal Juntinyuat.
Kemandirian ini buah program desa berdaya buruh migran yang digagas sejak 2016. Idenya muncul dari hasil kerja sama Pemerintah Desa Juntinyuat, Migrant Care, dan warga.
Salah satu implementasinya, pembentukan komunitas Gemar Karya Migran, beranggota awal 20 orang. Pada saat yang sama, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Indramayu membuat pelatihan pembuatan produk olahan buah mangga dan ikan.
”Kami sepakat memotong 10 persen biaya transportasi setiap pelatihan untuk modal bikin terasi. Hingga akhirnya terkumpul Rp 600.000,” ujar Raniti yang juga anggota komunitas Gemar Karya Migran.
Dari modal awal itu, komunitas mampu memproduksi 4 kilogram terasi. Terasi dipilih karena bahan bakunya, yakni rebon atau udang kecil, berasal dari nelayan setempat dan menjadi usaha warga turun-temurun. Harga rebon bervariasi, dari Rp 20.000 per kilogram hingga Rp 40.000 per kilogram.
Tahun ini, usaha itu makin berkembang. Anggotanya naik dua kali lipat, menjadi 40 orang. Dari Januari hingga awal Mei 2018, komunitas telah membuat 2 kuintal terasi. Setiap stoples dipatok Rp 20.000. Artinya, dalam empat bulan terakhir, usaha ini beromzet Rp 40 juta.
”Kami juga menerima bayaran saat produksi, Rp 6.000 per jam. Biasanya dari pukul 09.00 hingga pukul 18.00. Ini belum termasuk pembagian laba per bulan. Sekarang lebih baik di desa. Dekat keluarga, bisa kerja sambil kumpul dengan tetangga,” ujar ibu tiga anak ini.
Ketua komunitas Gemar Karya Migran, Diana, mengatakan, kini cukuplah terasi karya eks TKI yang ke ”pergi” ke luar negeri. Bulan lalu, misalnya, 20 kilogram terasi diterbangkan ke Taiwan untuk memenuhi order TKI asal Indramayu di sana.
Prospek bisnis komunitas juga masih akan berkembang. Komunitas juga membuat bakso goreng ikan dan kecap dalam kemasan. Pemerintah desa memfasilitasi pelatihan pembuatan kue dan aksesori untuk ibu-ibu purna-TKI setiap Jumat dan Sabtu pagi.
Diterjang abrasi
Munculnya unit usaha di Juntinyuat sangat penting karena daerah ini minim aset desa. Dari potensi pertanian, Juntinyuat hanya memiliki sawah seluas 150 hektar dari total luas lahan desa 277 hektar. Bahkan, pemerintah desa juga tidak punya sawah di Juntinyuat yang bisa disewakan kepada masyarakat. Apalagi, desa yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat perdagangan Indramayu itu menjadi daerah terakhir yang dipasok air irigasi.
”Dulu, sebelum kemerdekaan, kami punya 600 hektar, tetapi tinggal 277 hektar karena habis terkena abrasi pantai utara. Bahkan, balai desa sempat dipindah karena abrasi,” tutur Sekretaris Desa Juntinyuat Rendi Yudistira.
Desa ini memang tak bisa dilepaskan dari laut. Juntinyuat berasal dari kata pohon janti dan menyoat yang artinya menjorok ke laut. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Ki Gedeng Alang-Alang, tokoh masyarakat setempat, yang membangun permukiman di Cirebon pada abad ke-16.
Minimnya lahan pertanian dan lapangan kerja membuat banyak warganya memilih pergi. Tak hanya antardaerah, tetapi juga ke luar negeri. Pada 2011, sedikitnya 600 warga desa mengadu nasib merantau ke negeri orang. Sebagian besar bekerja di sektor informal.
Mencoba bangkit
Gerah dengan kondisi itu, Pemerintah Desa Juntinyuat mencoba bangkit. Kuwu (kepala desa) Juntinyuat Warno mengatakan, mulai 2016, sebanyak 20 persen dari total dana desa Rp 800 juta disisihkan untuk pemberdayaan warga. Selain mendukung kemandirian para mantan buruh migran, dana itu juga digunakan untuk membuka pelatihan mengelas dan menjahit. Harapannya, warga punya keahlian untuk mandiri di tanah sendiri.
Pemerintah Desa Juntinyuat juga mendirikan perpustakaan berisi aneka buku, 3 komputer, dan 10 laptop, lengkap dengan jaringan internet nirkabel. Ibu-ibu TKI belajar membuat produk melalui fasilitas itu dengan panduan tutor. Mereka biasa berlatih mengoperasikan beragam program melalui komputer dan internet pada Selasa dan Kamis malam.
Komputer itu tak hanya digunakan anggota komunitas. Setiap Senin hingga Sabtu sore, siswa dari SDN Juntinyuat I, II, dan III berlatih aplikasi Microsoft Office. Sementara Senin, Rabu, dan Jumat malam, giliran siswa SMP dan SMA yang berlatih Corel Draw.
Fasilitas itu gratis. Ketika ujian nasional berbasis komputer, SMP setempat dapat menyewa laptop itu. Lagi-lagi, hasilnya berbuah manis. Perpustakaan itu menjadi yang terbaik dalam PerpuSeru Award 2017, program pengembangan perpustakaan oleh Coca-Cola Foundation.
Perlindungan terhadap TKI juga digagas. Juntinyuat punya Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya Asal Desa Juntinyuat. Dalam peraturan desa itu, calon TKI harus memastikan perusahaan penyalur TKI yang diikuti legal. Mereka juga harus mendapat rekomendasi dari desa sebelum menjadi TKI.
”Dengan payung hukum itu juga, kami saat ini tengah mengurus tujuh kasus TKI asal Juntinyuat, seperti yang mengalami gangguan kejiwaan hingga penganiayaan. Kami berharap mereka bisa kembali beraktivitas,” ujar Rendi.
Desa juga punya rumah edukasi migran, yang tak lain program Desa Migrasi Produktif Kementerian Ketenagakerjaan. Di sana, purna-TKI mengikuti pelatihan sekaligus menjadi tempat belajar bagi anak-anak TKI.
”Sejauh ini hasilnya positif. Tahun lalu, jumlah TKI asal Juntinyuat tinggal sekitar 300 orang,” lanjut Rendi.
Dengan berbagai keterbatasannya saat ini, Juntinyuat menjadi contoh masyarakat dan pemerintah setempat yang tidak ingin menyerah dalam mengembangkan desa. Mereka mencoba berdaya sedari desa meski wilayahnya terus menciut dihantam abrasi.