Dua dekade setelah reformasi bergulir, sejumlah tantangan masih tersisa. Salah satunya adalah pengusutan kasus kekerasan selama reformasi 1998. Penanganan kasus tersebut kini mencoreng capaian positif yang justru telah terwujud selama 20 tahun reformasi, terutama dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Dalam bincang ”Satu Meja” di Kompas TV, Senin (21/5/2018) malam, bertajuk ”Membaca Ulang Reformasi”, Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, yang memandu acara tersebut, menunjukkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas bahwa beberapa tuntutan reformasi, hingga kini, di atas angka 50 persen belum terpenuhi.
Selain mantan jurnalis Kompas di Istana, Joseph Osdar, bincang ”Satu Meja” juga menghadirkan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, tokoh Muhammadiyah Abdul Malik Fadjar, mantan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Fahri Hamzah, mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi Andi Arief, juga Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta Prasetyantoko. Hadir pula mantan aktivis mahasiswa 1998 Savic Ali dan mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti Julianto Hendro Cahyono.
Dari jajak pendapat yang melibatkan 560 responden berusia minimal 17 tahun di 16 kota besar di Indonesia, Budiman menyatakan, sebanyak 62,1 persen responden menilai pengusutan korban tewas dan diculik selama 1998 belum tercapai. Selain itu, 58 persen responden menyatakan amanat harga bahan kebutuhan pokok yang terjangkau masyarakat belum terpenuhi. Bahkan, tuntutan reformasi dalam hal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sebanyak 56,2 persen juga belum dipenuhi, termasuk belum hilangnya pengaruh Soeharto dan kroni-kroninya dari politik Indonesia.
Hingga kini, persoalan pelik yang masih mengganjal adalah pengusutan korban tewas dan diculik saat reformasi 1998. Walaupun bertahun-tahun menuntut hal itu, hingga lima jabatan presiden RI berganti pasca-jatuhnya Presiden Soeharto, keluarga korban belum mendapat jawaban memuaskan.
Sumarsih (68), ibunda Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang menjadi korban tragedi Semanggi, hingga kini masih berharap pemerintah menuntaskan kekerasan terhadap anaknya. Upayanya menagih utang pemerintah ditunjukkan dengan Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Tagih janji
Dari perjalanannya mengikuti Presiden Soeharto ke Mesir hingga menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998, kesaksian Osdar meneguhkan bahwa kekuasaan Soeharto bakal berakhir di tahun ke-32. Hal ini diperkuat penuturan tokoh Muhammadiyah, Abdul Malik Fadjar, salah satu dari sembilan tokoh yang diundang Presiden Soeharto ke Istana Merdeka sebelum Soeharto menyatakan berhenti.
Desakan publik saat itu memang tidak bisa dibendung lagi. Tuntutan tidak hanya dari mahasiswa, tetapi juga dari berbagai kalangan, termasuk kaum profesional, agar Presiden Soeharto mundur. Persoalan ekonomi yang memburuk mendorong situasi politik juga semakin chaos.
Sejumlah mahasiswa tewas saat mengikuti aksi penentangan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Setelah empat hari pendudukan Gedung DPR/MPR, Soeharto akhirnya menyatakan berhenti sebagai presiden. Savic Ali, yang ada di Gedung DPR/ MPR saat itu, tidak menyangka Soeharto turun begitu cepat. Meski demikian, diakui perjuangan mewujudkan tuntutan reformasi masih panjang.
Fahri Hamzah, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR mengatakan, tuntutan reformasi sebenarnya dapat dipenuhi. Namun, hal itu tergantung kapasitas kepemimpinan. Jika pemimpin mau memakai seluruh energi dan mandatnya, bukan tak mungkin masalah pelik dapat diselesaikan. Hal ini memungkinkan karena mesin demokrasi mengalami perbaikan, apalagi adanya empat kali amandemen UUD 1945.
Kematian empat rekannya mahasiswa Universitas Trisakti, juga ditagih Julianto Hendro Cahyono, mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti saat reformasi 1998. “Hingga kini, kami menunggu janji pemerintah meluruskan kasus itu,” ujarnya.
Pendidikan politik
Selain meneruskan cita-cita reformasi, aktivis 1998 kini menghadapi tantangan yang tak kalah seriusnya, yaitu sistem demokrasi yang lebih adil. Setelah kebebasan berekspresi terwujud, justru sebagian kelompok sipil lainnya belum siap menghadapi. Sebagian dari mereka tak siap berbeda pendapat hingga kemudian memaksakan pandangan dan ideologinya sehingga melahirkan kekerasan sipil terhadap warga sipil lainnya.
Savic Ali menilai hal ini terjadi karena selama Orde Baru masyarakat tak biasa berbeda pendapat. Pemerintah diharapkan menggandeng banyak pihak untuk melakukan pendidikan politik. “Tantangannya adalah menghidupkan edukasi politik yang tak jalan. Edukasi harus diiiringi regulasi, penegakan hukum dan aparat yang baik,” tuturnya.
Adapun Andi Arief menangkap gejala penyempitan ruang gerak berpolitik yang mengarah pada sistem bipolar, dua kutup kekuatan politik. Fenomena ini, tak sejalan dengan amanat reformasi karena dapat membahayakan demokrasi. Polarisasi yang tajam kerap memicu ketegangan sosial dan konflik.
Namun, di tengah peliknya menuntaskan amanat reformasi, capaian positif di bidang ekonomi juga harus dapat dimanfaatkan momentumnya. Menurut Prasetyantoko, inilah kesempatan yang harusnya dipakai pemerintah untuk menata kembali perekonomian nasional dengan lebih baik.