[caption id="attachment_5982578" align="alignnone" width="720"] Kawasan Karst Maros - Dusun Rammang Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/8/12), memiliki panorama unik karena berada di kawasan karst. Selain kaya oleh keanekaragaman hayati, kawasan karst di sini juga menyimpan jejak-jejak kehidupan pra sejarah. Kompas/Iwan Setiyawan[/caption]Seiring waktu, tanpa sadar, penyelamatan keanekaragaman hayati tinggal penyelamatan individu suatu spesies. Mereka tak lagi dipandang bagian dari ekosistem, jejaring kehidupan.
Laman Konvensi Keanekaragaman Hayati di akhir halaman utama menuliskan: See what’s happening in your country on 22 May 2018 (Lihat apa yang Terjadi di Negeri Anda 22 Mei 2018). Kita diminta beraktivitas dengan kegiatan individu melibatkan satwa atau fauna. Tepat tanggal sama, 25 tahun lalu, Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity-CBD) mulai diberlakukan.
Ironisnya, setelah 25 tahun konvensi berlaku, ancaman terhadap keanekaragaman hayati (kehati) makin menakutkan. Setelah laju deforestasi menurun, selain bencana alam, perubahan iklim, dan kebakaran hutan, kehati terancam perburuan yang meningkat. Gorila gunung di Taman National Virunga bahkan terancam karena milisi tinggal di habitat mereka. Konvensi itu menandai sejarah: untuk pertama kali dalam sejarah, konservasi kehati diakui sebagai ”kepentingan bersama”. Pernyataan ini perlu terus diuji.
Rosichon Ubaidillah, anggota Panel Ahli Multidisiplin dari The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services PBB perwakilan Asia Pasifik, mengatakan, 25 tahun terakhir sekitar 13 persen hutan di Asia Tenggara hilang dan 25 spesies endemik terancam punah.
”Apabila kerusakan ekosistem terus berlangsung, diprediksi 29 persen spesies burung dan 24 persen mamalia akan punah beberapa tahun ke depan, 45 persen kehati punah tahun 2050,” katanya.
Apabila kerusakan ekosistem terus berlangsung, diprediksi 29 persen spesies burung dan 24 persen mamalia akan punah beberapa tahun ke depan, 45 persen kehati punah tahun 2050.
Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengungkapkan, 42 persen (3.623 spesies) invertebrata (hewan tak bertulang belakang) darat dan 25 persen (1.306 spesies) di laut terancam punah. Sekitar 1.200 spesies dari 10.000 spesies burung di dunia terancam punah dan 190 spesies burung punah. Daftarnya masih amat panjang.
Banyak orang menangisi badak putih jantan (Northern white rhinoceros) terakhir di dunia yang mati pada 19 Maret lalu di Kenya. Kini tersisa dua ekor betinanya. Para pakar berharap spesies itu tetap bisa ”dihasilkan” (dilahirkan?) memakai ilmu bioteknologi dengan melibatkan sel punca atau secara konvensional menyuntik telur dengan sperma yang disimpan.
”Hanya genetik dipertahankan, itu tidak merupakan anggota populasi. Populasi yang harus hidup di habitatnya sebagai bagian dari ekosistem,” kata Rosichon. Bukan hanya itu, empat kera besar, yakni orangutan sumatera, orangutan borneo, eastern gorilla, dan western gorilla kini terancam punah.
Hanya genetik dipertahankan, itu tidak merupakan anggota populasi. Populasi yang harus hidup di habitatnya sebagai bagian dari ekosistem.
Keseluruhan kehidupan
Kata kehati telah lama kehilangan makna. Membahas kehati seolah sama artinya dengan membahas spesies atau individu makhluk hidup. Konservasi lantas dimaknai sebagai: mempertahankan kehidupan spesies, secara in situ (di habitatnya) dan ex situ (di luar habitatnya).
”Konservasi ex situ hanya salah satu alternatif, amat kecil perannya. Pakar dunia menekankan penyelamatan in situ. Itu mutlak harus dilakukan,” kata Rosichon. Kehati tak lagi dimaknai sebagai kehidupan dalam bingkai habitat dan ekosistemnya secara tak terpisahkan. Setiap spesies memiliki peran khas pada jejaring dalam habitatnya, dalam ekosistemnya.
Konservasi ex situ hanya salah satu alternatif, amat kecil perannya. Pakar dunia menekankan penyelamatan in situ. Itu mutlak harus dilakukan.
Peter Wuhlebben, ahli hutan, dalam bukunya The Hidden Life of Tree membahas, pohon memiliki perasaan dan kemampuan berkomunikasi. Ketika sebatang pohon kehilangan komunitas, dia tak akan bahagia. Dia tak akan tumbuh bagus, tidak subur. Saat dia dicabut dari habitatnya, itu ibarat manusia berpindah rumah atau berpindah lingkungan. Ia pun akan gamang dan stres.
Bagaimana dengan hewan? Bagaimana dengan Panda yang kini di Taman Safari di Cisarua? Dia tereduksi jadi sekadar tontonan, bukan bagian kehidupan yang juga menghidupi dalam suatu ekosistem.
Jika beragam spesies punah, di masa depan kita mungkin hanya bisa berwisata bak gambaran dalam film West World ketika ”ekosistem” dan makhluk hidup di dalamnya adalah hasil tekno-kriya belaka.
Menilik itu semua, pesan Sanjayan dari Conservation International menjadi relevan. ”Pemantauan keanekaragaman kehidupan ialah bagian fundamental dari semua upaya kita memahami perubahan di planet kita dan membantu untuk fokus pada upaya konservasi sehingga manusia dan alam bisa terus berkembang,” tuturnya.
Apabila kita gagal, rahasia alam dengan kekayaan kehatinya pun punah. Seperti kata Rosichon, ”Kehati \'bak lemari yang menyediakan semua kebutuhan manusia dan kehidupan.”
Kita lupa, kehidupan saat ini lahir dari proses panjang evolusi, 4 miliar tahun. Mesin deforestasi, mesin pemangkas gunung kapur, dan penghancur semua jenis ekosistem bekerja tanpa jeda atas nama kemajuan ekonomi demi kesejahteraan manusia. Manusia lupa bahwa ia sedang menghancurkan kehidupannya sendiri. Dia mempertaruhkan masa depannya.