Merapi Berstatus Waspada, Warga Belum Perlu Mengungsi
Oleh
HRS/NCA/RWN/EGI/SEM/CHE
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS Meski status Gunung Merapi naik dari Normal menjadi Waspada, warga yang tinggal di lereng Merapi belum perlu mengungsi. Penduduk yang sempat mengungsi kini sudah kembali ke rumah masing-masing. Warga mempunyai kesadaran tinggi tentang bahaya Merapi sehingga sudah mempersiapkan pengungsian.
”Sesuai rekomendasi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), warga belum perlu mengungsi,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta Biwara Yuswantana, Selasa (22/5/2018), di Yogyakarta.
Senin pukul 23.00, BPPTKG menaikkan status aktivitas Gunung Merapi di perbatasan DIY dan Jawa Tengah dari Normal menjadi Waspada. ”Hal itu diputuskan setelah ada peningkatan jumlah letusan freatik diikuti gempa vulkanik dan gempa tremor,” kata Kepala BPPTKG Hanik Humaida.
Senin, terjadi tiga kali letusan freatik, pukul 01.25, 09.38, dan 17.50. Pada Selasa terjadi sekali letusan freatik pukul 01.47.
Biwara menjelaskan, di lereng Gunung Merapi wilayah Sleman, permukiman warga terdekat dengan Merapi berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak. Artinya, mereka tinggal di kawasan rawan bencana (KRB) III dan belum perlu mengungsi.
Berdasarkan data BPBD DIY, 1.522 orang mengungsi ke sembilan lokasi pada Senin malam karena takut terkena dampak letusan freatik Gunung Merapi. Selasa pagi, mereka berangsur-angsur kembali ke rumah.
Sebanyak 362 warga Dusun Stabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, yang mengungsi juga telah kembali ke rumah. Aktivitas warga normal kembali. Sebagian warga tampak memanen sayuran, seperti bunga kol dan sawi putih dari kebun.
Kepala Pelaksana BPBD Boyolali Bambang Sinungharjo mengatakan, Dusun Stabelan berjarak sekitar 3,5 kilometer serta Dusun Takeran, Desa Tlogolele, masuk KRB III.
Di Klaten, Jawa Tengah, sekitar 400 warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, yang mengungsi ke Balai Desa Balerante juga telah kembali ke rumah. Kepala Pelaksana BPBD Klaten Bambang Giyanto menyatakan, di Klaten ada tiga desa yang masuk KRB III, yakni Balerante, Tegalmulyo, dan Sidorejo, dengan jumlah warga 11.500 orang. Di daerah itu tersedia tiga lokasi pengungsian yang bisa digunakan setiap saat.
Gimun (43), warga Stabelan, mengatakan, telah mengemasi pakaian serta surat berharga ke tas. Jika kondisi Merapi memburuk, ia sudah siap mengungsi. ”Kendaraan pun sudah parkir menghadap ke jalan. Jadi bisa langsung tancap gas,” katanya.
Kepala Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DIY, Suyatmi mengatakan, warga desanya mulai mengungsi pukul 02.00. Namun, tidak semua masuk ke balai desa. ”Hanya sekitar 20 orang yang masuk ke dalam. Yang lain berjaga. Warga terkejut karena suara letusan Merapi cukup keras,” kata Suyatmi.
Ketua Kampung Siaga Bencana Desa Umbulharjo Sriyono Hadi Susilo mengatakan, perasaan tidak aman muncul kemungkinan karena warga masih trauma letusan tahun 2010.
Berita bohong
Di Kabupaten Magelang, berita bohong tentang peningkatan aktivitas Merapi sempat memicu kecemasan dan kepanikan warga. Heru Purwoko, petugas pengamat gunung Merapi di pos pengamatan Ngepos di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, menuturkan, puluhan warga datang ke pos pengamatan Ngepos untuk menanyakan kebenaran informasi yang mereka terima. Warga menunjukkan berita dan foto letusan gunung yang ternyata foto erupsi Gunung Sinabung.
Pejabat Bupati Magelang Tavip Supriyanto meminta warga Kabupaten Magelang tetap tenang. ”Hingga Selasa ini, kawasan penambangan masih dibuka dan warga masih diizinkan menambang pasir dan batu di sana,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Magelang masih menunggu perkembangan informasi dari BPPTKG. Jika aktivitas vulkanik dinilai membahayakan, kawasan penambang akan segera ditutup.
Sementara itu, warga Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, sejak Senin, memutuskan menutup kawasan penambangan. Hal ini agar jalan desa lebih lengang sehingga memudahkan evakuasi warga jika Merapi berstatus Siaga.
Di Bandung, ahli kegunungapian Surono mengingatkan, penerapan langkah mitigasi bencana gunung api harus mengutamakan kondisi dan kebutuhan masyarakat untuk menentukan langkah selanjutnya. Apabila para ahli terjebak pada kajian ilmiah, dikhawatirkan bakal membingungkan masyarakat.
”Subyek mitigasi adalah manusia. Karena itu, masyarakat berhak mengetahui langkah yang akan dilakukan untuk meminimalkan potensi bencana. Semua pihak harus jujur terkait potensi bencana yang terjadi,” katanya, Selasa.
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani yakin, Merapi hanya meletus freatik dan belum mengarah pada letusan yang lebih besar. Karena itu, masyarakat diminta tetap tenang. ”Masyarakat diminta mengosongkan wilayah dengan radius 3 kilometer dari puncak. Rekomendasi itu sebaiknya ditaati,” kata Kasbani di Bandung.