JAKARTA, KOMPAS - Salah satu organisasi kemasyarakatan Islam besar di Indonesia, Muhammadiyah, menilai, perlu adanya pembentukan lembaga untuk mengawasi penanganan kasus terorisme. Penanganan terorisme yang ada saat ini dinilai belum menunjukan keterbukaan dan keterlibatan publik, sehingga memunculkan sejumlah spekulasi di kalangan masyarakat terkait tindakan aparat penegak hukum.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menjelaskan, rekomendasi pembentukan lembaga ini telah disampaikan kepada DPR, Senin (20/05/2018). Saat ini, DPR juga sedang memproses RUU antiterorisme yang akan rampung Jumat pekan ini (25/05/2018). Rencananya, lembaga ini akan dinamakan Komite Pengawasan Penangan Terorisme.
“Kami menilai, saat ini sumber-sumber terkait penangan terorisme hanya berasal dari satu sumber dan terkesan membentuk ‘narasi monolog’. Masyarakat tidak bisa mendapatkan sumber lain terkait kasus penanganan terorisme.”, ujarnya dalam diskusi Quo Vadis Revisi UU antiterorisme di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (23/05/2018).
Dahnil menambahkan, ‘narasi monolog’ ini tampak saat penanganan tahanan terorisme di Mako Brimob beberapa pekan lalu. Menurut Dahnil, saat itu sumber yang bisa diperoleh dari masyarakat hanyalah dari pihak kepolisian. Hal ini dinilai mampu memunculkan sejumlah spekulasi di kalangan masyarakat.
Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi luar negeri, Bahtiar Effendy menjelaskan, seharusnya proses penangan terorisme bisa terbuka. “Dalam revisi UU ini ada persoalan terkait peibatan intel, penahanan, penyadapan, bahkan definisi terorisme . Kami berharap UU yang dihasilkan bisa lebih baik,” ucapnya.
Ketidakterbukaan aparat ini dinilai terjadi ketika proses penangkapan terduga terorisme. Selain itu, rentetan tewasnya terduga teroris yang terjadi selama kurun waktu tahun 2012-2015 menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah penanganan teroris telah sesuai dengan prinsip HAM.
“Kami pernah membentuk tim evaluasi penanganan teroris dari tahun 2012-2015. Berdasarkan laporan ada sekitar 120 terduga terorisme yang tewas selama proses penangkapan,” ucap mantan Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution.
Menurut Maneger, ketidakterbukaan terlihat dalam proses otopsi yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Ia menilai, perlu ada lembaga indpenden yang terdiri dari tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ormas, mantan polisi dan TNI. Nantinya lembaga ini bertugas untuk melakukan monitoring, evaluasi, penyelidikan, penerimaan pengaduan, dan memberikan rekomendasi terkait pelaksanaan pencegahan terorisme.
Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar menjelaskan, saat ini penaganan kasus terorisme dinilai belum professional. Selain itu, UU yang telah ada belum sepenuhnya mengu ke arah hukum.
“Seperti ada kepentingan politik. Ada ucapan sejumlah tokoh masyarakat yang mengatakan dalam penanganan terorisme harus mengesampingkan HAM demi kestabilan kemanan. Hal ini mengingatkan kita seperti di zaman orba, dimana kestabilan keamanan menjadi prioritas disbanding HAM,” ucapnya.
Selain pembentukan lembaga, PP Muhammadiyah merekomendasikan pencegahan terorisme perlu pelibatan secara terpadu dengan kementerian terkait. Untuk aspek pencegahan nantinya bisa menjadi tanggung jawab Kementerian Agma, Kementerian Pendidikan, Kementerian dalam Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian, untuk aspek pengananan korban bisa menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial.
Selain itu, perlu ada jaminan independensi keuangan dalam program pencegahan terorisme dengan menggunakan dana APBN. Hal ini bertujuan agar agenda pencegaham terorisme berjalan sesuai dengan kepentingan nasional bangsa Indonesia.