Pelabuhan Ampenan, Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/4/2018) pagi, ramai dikunjungi warga dari anak-anak, remaja, dan orang tua. Ada yang menyusuri pantai, bersenam di area terbuka, dan mandi di laut. Puluhan pengunjung juga nongkrong di anjung-anjung, sarapan nasi bungkus, minum kopi, dan teh sambil menikmati panorama Pantai Ampenan yang berhadapan dengan Selat Lombok.
Suasana itu kontras dengan riwayat Pantai Ampenan sebagai jaringan perdagangan global, yang maju pesat akhir abad ke-16 dan ke-17. Masa itu adalah ketika Kerajaan Mataram dan Kerajaan Karangasem Sasak (etnis Lombok) berkuasa tahun 1740-1894. Pasalnya, Pelabuhan Ampenan (yang berarti \'tempat singgah\') ini ramai dihampiri pelaut dan kapal niaga yang melintasi rute panjang New South Wales (Australia)-Singapura-Benggala (India), dan New South Wales-Manila (Filipina)-Kanton (China).
Perdagangan musiman dilakukan oleh pedagang Bugis dan China dengan rute Makassar-Jawa-Riau-Kalimantan-Maluku-Singapura. Pelabuhan Ampenan dan Selat Lombok menjadi pilihan karena relatif aman, terhindar dari embusan angin yang datang dari timur-tenggara. Namun, pada musim angin barat biasanya kapal-kapal berlabuh di Labuhan Tereng (kini Pelabuhan Lembar, Lombok Barat), selain Pelabuhan Pijot (Lombok Timur) yang relatif aman setiap musim.
Ampenan saat itu menjadi buah bibir sebab dari pelabuhan itulah komoditas pertanian dan perkebunan di Pulau Lombok dijual dan diekspor dengan merek dagang ”ampenan”. Misalnya, beras ampenan, kedelai ampenan, kacang tanah ampenan, sapi ampenan, selain kayu sapan (sepang). Menurut Ahmad JD, pemerhati budaya Lombok, kayu sapan tumbuh di kawasan hutan Desa Pelambik, Lombok Tengah, dan seputar hutan Mentareng, Desa Belanting, Lombok Timur.
Pedagang di sejumlah penjuru Nusantara, selain berbisnis juga menetap di Ampenan. Nama permukimannya diambil berdasarkan tempat asalnya seperti Kampung Melayu, Kampung Banjar, Kampung Bugis, bahkan ada Kampung Arab. Dengan demikian, wilayah Ampenan yang semula kampung nelayan kecil yang meliputi Otak Desa dan Kebon Roek meluas dan tumbuh permukiman baru, seperti permukiman etnis Bali, Kampung Sukaraja, Kampung Karang Ujung, Kampung Gatep, Lendang Dawan, dan Karang Panas yang berada di garis pantai Ampenan ke selatan (Fathurrahman Zakaria, 1998).
Aktivitas ekonomi Pulau Lombok semakin menggeliat setelah semakin banyak kapal dari Eropa (Perancis dan Inggris) yang berlabuh di Pelabuhan Ampenan. Pada 1836 tercatat ada 18 kapal dari Eropa yang mampir di sana kemudian pada 1855-1856 ada 55 kapal lagi yang bersandar di Ampenan. Jumlahnya meningkat lagi pada 1858 sebanyak 85 kapal. Kapal-kapal itu datang dari Makassar, Surabaya, Ambon, dan dari luar negeri, seperti Singapura, Australia, Filipina, dan China yang meramaikan perdagangan di Lombok (I Gede Parimartha, 2002).
Semakin hidup
Perdagangan di Lombok semakin hidup berkat peran pedagang Mads Johansen Lange, warga negara Denmark, yang datang ke Lombok pada 1834, lalu George Pockock King dari Inggris. Keduanya memiliki hubungan dengan penguasa saat itu. Lange memiliki kedekatan dengan Kerajaan Karangasem Sasak dan King dengan Kerajaan Mataram.
Lewat hubungan baiknya dengan Raja Karangasem Sasak saat itu, Lange mendapat izin berdagang dan memasarkan komoditas dari Lombok, termasuk komoditas dari Indonesia timur, ke Singapura, Hong Kong, dan Canton, China. Di Lombok, Lange dan John Burd, seorang kapten kapal, selain membentuk perusahaan, juga menjadi agen sebuah pelayaran yang berpusat di Canton. GP King, agen sebuah perusahaan yang berpusat di Canton (1835-1837) juga mengekspor beras ke China menggunakan kapal perusahaan itu. Dari China, King dan Lange memasukkan tekstil, sutra, candu (opium), dan uang kepeng.
Beras menjadi komoditas penting ekspor dari Lombok. Laporan Majoor Wetters yang datang ke Lombok pada tahun 1838, menyebutkan, ekspor beras Lombok sebanyak 5.000-6.000 koyang (1 koyang = 2 ton) setiap tahun.
JW Boers (1839) menaksir ekspor beras Lombok sebanyak 12.000 ton setahun. Kemudian Zollinger menyebut Lombok mengekspor beras sebanyak 16.000 ton setahun pada 1846 (I Gede Parimartha, 2002).
Meredup
Konflik politik antarkerajaan di Lombok membuka celah bagi pemerintah hindia Belanda menguasai Lombok, yang puncaknya terjadi pada Perang Lombok 1894. Lewat Staadblad, 31 Agustus 1895, Lombok ditetapkan sebagai wilayah administratif atau afdelingvan Lombok yang dipimpin seorang asisten residen dan Ampenan dijadikan ibu kota afdeling Lombok.
Ampenan pun menjadi pusat pemerintahan dan niaga ditandai dengan pembangunan sejumlah kantor dan rumah jabatan Asisten Residen menghadap ke Lapangan Malomba sekarang, kantor pos dan telepon. Di seputar pelabuhan dibangun pasar dan pertokoan, di antaranya Rumah Candu (Vihara Bodhi Dharma Po Hwa Kong), yang menjadi tempat orang China madat dengan syarat membayar pajak/cukai yang mahal. Secara bertahap dibangun pula pabrik rokok, kecap, sabun, minyak kelapa, pengolahan tembakau, kerajinan sepatu, dan lain-lain (Fathurrahman Zakaria, 1988).
Ketika Provinsi Nusa Tenggara Barat dibentuk pada 17 Desember 1958, Pelabuhan Ampenan mulai meredup, terlebih lagi pada 1970-an aktivitas bongkar-muat dipindahkan ke Pelabuhan Lembar. Kini riwayat masa lampau Ampenan hanya sejumlah deretan pertokoan dan bangunan tua yang umumnya dihuni keturunan China dan Arab.
Bangunan yang tertinggal itu menjadi penanda Pelabuhan dan Kota Tua Ampenan, yang belakangan masuk jaringan Kota Pusaka Warisan di Indonesia, turut mengukir riwayat sejarah maritim di Nusantara.