JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengawasi kepatuhan PT Freeport Indonesia terhadap sanksi paksaan pemerintah yang diberikan sejak Oktober 2017. Perusahaan tambang emas kontroversial di Papua itu mengaku telah menjalankan 39 dari 47 poin paksaaan pemerintah.
Sanksi itu diberikan KLHK setelah Badan Pemeriksa Keuangan menemukaan potensi kerugian negara akibat kerusakan dan pencemaran dari operasional PT Freeport Indonesia (PT FI) yang mencapai Rp 185,018 triliun. Hasil audit BPK juga menemukan PT FI menggunakan kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional seluas minimal 4.535,93 hektar tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan.
Sanksi diberikan KLHK setelah Badan Pemeriksa Keuangan menemukan potensi kerugian negara akibat kerusakan dan pencemaran dari operasional PT Freeport Indonesia yang mencapai Rp 185,018 triliun.
Kerugian itu antara lain berasal dari kegiatan penambangan bawah tanah (deep mill level zone) serta pembangunan tanggul timur dan tanggul barat tanpa mengubah izin lingkungan. Hal ini mengubah luas ModADA (Modified Ajkwa Deposition Area atau Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi) dari 230 menjadi 450 kilometer persegi serta menghilangkan titik penaatan karena tertimbun tailling.
Syaikhul Islam, Wakil Ketua Komisi VII DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa - Jatim-1, mengingatkan agar pemerintah mencermati kerugian lingkungan ini dengan rencana divestasi PT FI. Intinya jangan sampai pemerintah melakukan divestasi pada perusahaan yang nantinya diberi sanksi dan membawa beban bagi negara.
“Sebenarnya dengan kerugian seperti itu, kita mau denda Freeport atau tidak. Kalau mau denda ya sekarang sebelum kita ambil. Jadi Rp 183 triliun dibayar Freeport jadi bisa ambil Freeport ini,” kata dia, Selasa (22/5/2018), saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR dengan Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dan Dirjen Pengelolaan Sampah, Bahan Beracun Berbahaya, dan Limbah KLHK Rosa Vivien Ratnawati.
Cek kepatuhan
Rapat tersebut tidak secara spesifik membahas sanksi pemerintah atas PT FI terkait pelanggaran kerusakan dan pencemaran lingkungan. Namun sebagian anggota meminta kejelasan dari KLHK terkait perkembangan sanksi tersebut.
Rasio Ridho Sani mengatakan timnya selama 10 hari kemarin mengecek kepatuhan PT FI atas sanksi administratif paksaan pemerintah yang dilayangkan pada Oktober 2017. Hasilnya, ia belum mengetahui secara pasti.
Namun diakui ada perbaikan yang telah dilakukan PT FI. Dicontohkan, PT FI menghentikan perpanjangan tanggul sungai yang menjadi lokasi pembuangan tailing.
Sudah ada perbaikan yang telah dilakukan PT Freeport Indonesia. Dicontohkan, PT Freeport Indonesia menghentikan perpanjangan tanggul sungai yang menjadi lokasi pembuangan tailing.
Selain itu, sejak April 2018, KLHK mencabut Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 431/2008 yang menjadi dasar PT FI untuk membuang limbah ke sungai. Menteri LHK menggantinya dengan SK 172 terkait penguatan sanksi administratif dan SK 175 terkait pengelolaan tailing.
SK 172/Men-LHK/Setjen/PLA.4/2018 tanggal 5 April 2018 tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan lingkungan PT Freeport Indonesia. Adapun SK 175/Men-LHK/Setjen/PLB.3/4/2018 tanggal 9 April 2018 tentang pengelolaan tailing PT FI di daerah penimbunan Ajkwa atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) di Kabupaten Mimika, Papua.
Rasio mengatakan PT FI diberi waktu 6 bulan sejak April 2018 untuk menjalankan paksaan pemerintah. Pihaknya menyiapkan langkah sanksi lainnya bila poin-poin paksaan pemerintah tak dijalankan.
Secara terpisah, Riza Pratama, Juru Bicara PT FI mengatakan Freeport telah mengerjakan 39 dari 47 poin paksaan pemerintah. "Yang belum dikerjakan itu karena makan waktu sehingga tidak bisa langsung dikerjakan," kata dia.
Contohnya, izin penambangan bawah tanah yang berasal dari pemerintah. Ia mengatakan pihaknya mematuhi setiap regulasi hukum.
Sementara terkait SK baru dari Menteri LHK, ia mengatakan hal itu sedang didiskusikan dengan KLHK. Ia beralasan apabila SK itu dipaksakan bakal membuat PT FI berhenti beroperasi.
"Itu bukan masalah ketemu dan tidak ketemu (pembicaraannya). Tidak bisa implementasikan karena kalau diimpelementasikan tambang kita tutup," kata dia.
Ia mencontohkan salah satunya terkait pembuangan tailing. PT FI diperintahkan membuat area retensi (pengendapan) yang 95 persen berada di darat dan 5 persen berada di laut. "Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan metode tambang kami sekarang," kata dia.