Pengorbanan Besar dari Mereka yang Dipandang Kecil
”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” – Yohanes 15:13
Kalimat itu diulang beberapa kali oleh RD Alexius Kurdo Irianto saat khotbah misa arwah dan pelepasan jenazah korban teror bom Aloysius Bayu Rendra Wardhana, Rabu (23/5/2018), di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB), Surabaya.
Bayu merupakan petugas di Gereja Katolik di Jalan Ngagel Madya itu. Lelaki kelahiran 20 Juli 1980 itu tewas mengenaskan dalam horor berdarah di gerbang selatan bait ibadah itu, Minggu (13/5/2018) pukul 07.10 WIB. Teror bom bunuh diri dilakukan dua lelaki remaja dengan sepeda motor, yakni Yusuf Fadil (18) dan Firman Halim (16), warga Wonorejo, Rungkut, Surabaya. Insiden mengerikan tersebut turut menewaskan lima anggota jemaat serta melukai 24 orang, termasuk dua anggota Kepolisian Sektor Gubeng.
Ayat Ke-13 Bab 15 Injil Yohanes itu, dalam penilaian Kurdo yang merupakan Pastor Kepala Paroki SMTB, menjadi hidup dalam peristiwa naas sepuluh hari yang lalu. Dari kesaksian umat dan olah tempat kejadian, Bayu mencegah pelaku teror bom menerobos ke pintu utama gereja saat umat berdatangan untuk misa pukul 07.30.
Jika pembuat teror tidak dicegah oleh ayah dua anak itu, dampak horor berdarah bisa lebih menakutkan dari sisi jumlah korban dan kerusakan.
”Bayu mengorbankan jiwanya agar sahabat-sahabatnya, kita, umat, dapat selamat dan terus beribadah,” lanjut Kurdo yang mempersembahkan ekaristi peringatan martir bersama delapan pater dari paroki lain dalam Keuskupan Surabaya.
Kepergian Bayu, suami Monique Dewi Andini, guru Kelompok Bermain Katolik Santa Clara, lembaga pendidikan anak usia dini di samping gereja, untuk selamanya merupakan akhir perjalanan pengorbanan yang ditempuhnya. Bayu, juru foto, melayani gereja dengan terlibat di wilayah yang mungkin disepelekan dan diremehkan, yakni mengatur parkir kendaraan umat.
Bayu mengorbankan jiwanya agar sahabat-sahabatnya, kita, umat, dapat selamat dan terus beribadah.
Kurdo mengatakan, teror bom bisa dilihat sebagai peristiwa iman bagi umat Gereja SMTB dan umat Katolik yang menjadi korban. Pada 13 Mei 1981, Paus Yohanes Paulus II, pemimpin Gereja Katolik, ditembak oleh Mehmet Ali Agca, pembunuh bayaran dari Turki, di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, dalam wilayah Roma, Italia.
Paus yang selamat dari penembakan itu memaafkan, mengampuni, dan mendoakan Mehmet. Pada 13 Mei 1917, umat Katolik mengenangnya sebagai peristiwa penampakan Santa Maria kepada tiga anak gembala dari Fatima, Portugal, yakni Lucia dos Santos serta dua sepupunya, Francisco Marto dan Jacinta Marto.
Peristiwa itu menginspirasi Gereja Katolik menjadikan Mei sebagai bulan rosario. Bagi Gereja SMTB, kemuliaan di Fatima itu diabadikan menjadi nama tempat ibadah mereka. ”Inti dari peristiwa itu adalah menghargai martabat manusia. Siapa yang tak menghormati martabat manusia berarti tak menghormati Allah,” ujarnya.
Mungkin, pesan almarhum pada Jumat (23/3/2018) pukul 23.00 di grup Whatsapp pengurus gereja menjadi saksi keunggulan iman Bayu, lulusan Ilmu Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, Surabaya.
”… kita bukan tukang parkir, tapi kita petugas yg melayani umat & Gereja di lingkup parkir. Dimana kita seharusnya bangga bisa melayani Tuhan dgn situasi yg berat, berjam-jam, panas kepanasan, hujan kehujanan, dllnya yg banyak lagi. … supaya Misa berjalan lancar & kalian2 bisa beribadah dengan tenang, meski saya & team keamanan dgn muka kumus2 & baju berkeringat, bahkan seringkali tidak sempat ikut Misa bareng keluarga ataupun sendiri. Tapi tidak apa2, semuanya demi Gereja yg kita cintai, mau orang lain meremehkan kita atau apa, tidak penting…”.
Hendro Siswanto Soegijo, ayahanda, dengan berusaha tegar, seusai misa arwah, memberikan kesaksian sebelum mengantarkan ananda beristirahat kekal ke Taman Pemakaman Umum Keputih, Surabaya. Ia berterima kasih kepada seluruh umat lintas agama yang hadir untuk memberikan penghormatan kepada Bayu.
Ia mendoakan semua orang mendapat balasan dari Allah. ”Pergilah dalam damai Tuhan. Songsonglah Kerajaan Surga. Kami percaya Tuhan punya rencana bagi Bayu. Terima kasih Bayu. Imanmu begitu agung. Selamat siang anakku dan selamat jalan,” ujarnya dengan nada berat.
Pengorbanan besar juga ditunjukkan Daniel Agung Putra Kusuma (15) yang tewas mengenaskan saat menghalangi mobil yang dinaiki Dita Oeprianto (48), pelaku teror bom bunuh diri di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), Jalan Arjuno, Minggu (13/5/2018) pukul 07.53.
Dita, ayah dari Yusuf dan Firman yang meledakkan diri di Gereja SMTB, menghantamkan mobil ke deretan puluhan sepeda motor jemaat, lalu ke pintu masuk gereja ,dan meledakkan diri. Daniel merupakan putra dari petugas gereja yang setiap Minggu membantu ayahnya mengatur parkir kendaraan jemaat.
Horor di GPPS itu menewaskan tujuh orang, termasuk juru parkir Warsiman dan petugas keamanan Giri Catur Sungkowo yang juga berusaha mencegah insiden mengerikan itu. Warsiman dan Giri dikebumikan di Makam Islam dekat kediaman mereka.
”Cak Man dan Pak Giri beragama Islam dan telah bertahun-tahun bekerja membantu gereja. Kami amat berduka kehilangan mereka dan jemaat yang turut meninggal dunia,” kata Pemimpin Tim Gembala GPPS Pendeta Yonathan Biantoro Wahono dalam kesempatan terpisah saat memberikan kesaksian tentang peristiwa berdarah itu.
Anggota Presidium Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), Bingky Irawan, yang hadir dalam misa arwah menyampaikan duka mendalam bagi seluruh korban teror bom. Baginya, Bayu layak disebut pahlawan atau martir bagi pelayanan umat gereja secara total dan tuntas.
”Kami amat berharap, dari tragedi kemanusiaan ini tiada lagi dendam atau diskriminasi antarkelompok masyarakat,” ujarnya.