Anthony Lee, Agnes Theodora, Nicolaus Harbowo dan Rini Kustiasi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Berlarutnya penuntasan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia telah menjadi beban sejarah bagi bangsa Indonesia. Selain menyebabkan impunitas, kondisi ini juga membuat Indonesia tak punya pengalaman untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Akibat selanjutnya, visi terhadap HAM menjadi sulit dibangun hingga rentan digunakan untuk kepentingan yang sempit.
Wacana dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, selalu muncul saat peringatan reformasi. Ada tiga kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di seputar pergantian dari Orde Baru ke Reformasi, yang sampai kini belum tuntas penyelesaiannya. Kasus itu adalah kerusuhan Mei 1998; penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998; serta kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Selama ini, DPR, Kejaksaan Agung, dan pemerintah terkesan saling menunggu untuk menyelesaikan kasus-kasus itu. Di sisi lain, sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM terus mempertanyakan janji penyelesaian, yang antara lain dilakukan dengan aksi berdiri di depan Istana Merdeka, Jakarta. Aksi yang digelar tiap hari Kamis ini, sudah dilakukan sejak 18 Januari 2007.
Pengajar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Setyo Wibowo, Selasa (22/5/2018) di Jakarta menuturkan, ada dua kata kunci dalam merefleksikan perjalanan reformasi dan penuntasan pelanggaran kasus HAM di Indonesia, yakni terlalu sedikit dan terlalu banyak.
Menurut Setyo, terlalu sedikit kasus pelanggaran HAM yang ditangani oleh pemerintah, kendati sejak reformasi Indonesia sudah memiliki lima presiden. “Jika tidak selesai, saya khawatir ini menjadi kebiasaan rezim. Seolah-olah korban pelanggaran HAM itu hanya menjadi tumbal untuk perubahan rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, kemudian dari Orde Baru ke masa reformasi. Padahal, bicara HAM, manusia harus dihargai, tak boleh dianggap tumbal,” katanya.
Di sisi lain, tutur Setyo, kata kunci kedua, yaitu terlalu banyak juga membuat miris. Saat ini semua pihak terlalu takut dengan HAM karena sedikit-sedikit dianggap melanggar HAM. Penegak hukum kemudian menjadi rikuh, sedangkan politisi jadi gampang menyalahkan pihak lain. Karena bangsa Indonesia tak pernah menangani kasus pelanggaran HAM dengan jelas, membuat visi mengenai HAM jadi terlalu longgar. Semua orang dibiarkan berbicara sampai pada tahap penyampaian ide-ide yang bisa menggerogoti negara, karena dianggap bagian dari kebebasan berpendapat dan hak asasi.
Tidak jelasnya penyelesaian HAM, membuat orang-orang memaknai HAM sesuai dengan kepentingan sempit sendiri, lantas melupakan sila kedua Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab.
Beban
Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia Susanto Zuhdi, belum tuntasnya penanganan pelanggaran HAM telah membebani Indonesia. Langkah bangsa ini ke depan akan terus diiringi dengan ingatan pada beban pelanggaran HAM. Oleh karena itu, persoalan pelanggaran HAM perlu segera diselesaikan. Dia menilai bangsa Indonesia juga perlu belajar dari pengalaman masa lalu.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet mengingatkan, tanpa membayar “utang sejarah” pelanggaran HAM, semua bangunan demokrasi dan politik Indonesia masih memiliki catat etis. Pasalnya, dalam sistem demokrasi itu bangsa Indonesia membiarkan adanya impunitas, sehingga seolah membiarkan potensi berulangnya kejadian pelanggaran serupa.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik, menuturkan, komisinya telah selesai menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan telah melaporkan hasilnya ke Kejaksaan Agung.
Menurut Taufan, ada beberapa cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, seperti lewat pengadilan atau rekonsiliasi.
Wakil Ketua Komisi III Mulfachri Harahap mengatakan, , komitmen dan kehendak politik dari dari pemerintah menjadi kunci untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu..