JAKARTA,KOMPAS – Seluruh fraksi di DPR menyepakati definisi terorisme di Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Definisi yang disepakati itu, disepakati pula oleh pemerintah. Dengan demikian, tak ada lagi ganjalan dalam pembahasan regulasi tersebut.
Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme DPR dan pemerintah dalam rapat kerja, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/5/2018) malam, pun, akhirnya menyepakati untuk mengambil keputusan tingkat I RUU tersebut.
Selanjutnya, RUU akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR, Jumat (25/5), untuk disetujui disahkan menjadi undang-undang.
Rapat kerja pansus dan pemerintah itu, dipimpin oleh Ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme DPR dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Syafii. Sementara dari pemerintah, tampak hadir diantaranya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius.
Definisi yang disepakati itu berbunyi, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi atau gangguan keamanan.
Tiga fraksi, PDI-P, Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa, yang semula tak menginginkan adanya frasa “motif politik, ideologi atau gangguan keamanan”, berubah sikap saat rapat.
Anggota Pansus dari Fraksi PDI-P Risa Mariska mengatakan fraksinya berubah sikap dengan mempertimbangkan tiga hal.
Pertama, pemberantasan terorisme harus memperhatikan upaya terpadu, sistemik serta masif. Kedua, memperkuat dukungan pada pemerintah untuk menindak dan memberantas terorisme, bahkan seluruh aparatur negara harus digunakan untuk melawan teror. Ketiga, pertimbangan bahwa sejumlah agenda internasional, seperti Asian Games, yang akan digelar di Tanah Air.
Sementara Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar Bobby Adhitya Rizaldi mengatakan fraksinya dapat memahami sekaligus meyakini rumusan definisi itu tak mengurangi akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam proses pemidanaan kelak.
Adapun Anggota Pansus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Muhammad Toha mengatakan fraksinya berubah sikap sebagai wujud musyawarah dan mufakat dan didasarkan pada kepentingan agar undang-undang segera berlaku demi bangsa dan negara.
Sementara tujuh fraksi lainnya tetap pada sikapnya karena definisi itu dapat membedakan tindak pidana terorisme dengan tindak pidana umum lainnya. Ini seperti disampaikan oleh Anggota Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani.
“Jadi, aparat penegak hukum ke depan dapat menerapkan undang-undang tersebut secara tepat dan terukur,” katanya.
Dengan adanya definisi itu, Anggota Pansus dari Gerindra Wenny Warouw pun berharap tak ada lagi kejadian salah tangkap dalam upaya pemberantasan teroris oleh aparat penegak hukum.
Di luar persoalan definisi, sejumlah anggota pansus meminta agar pemerintah segera menyelesaikan peraturan pelaksana dari undang-undang itu. “Ini penting agar RUU setelah disahkan, dapat segera difungsikan secara maksimal,” ujar Anggota Pansus dari Fraksi Partai Nasdem Akbar Faisal.
Salah satu yang diharapkan segera diselesaikan adalah peraturan Presiden yang mengatur soal pelibatan TNI.
Menurut Anggota Pansus dari Fraksi Partai Demokrat Darizal Basir, di banyak negara maju, peran dan keterlibatan militer bukan sesuatu yang dilarang. Begitu pula pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Tanah Air. “Yang penting pelibatan tersebut diselenggaran secara bertanggung jawab, akuntabel, transparan, dan tetap dalam koridor penegakan hukum dan tidak melanggar HAM,” tambahnya.