Perilaku manusia sangat dipengaruhi lingkungan. Situasi itu turut mengubah cara manusia Indonesia meluapkan ekspresi. Sebelum Reformasi, masyarakat dipaksa memikirkan apapun yang akan diungkapkannya. Kini, hal apa pun bisa disampaikan secara emosional tanpa pikirkan dampaknya pada diri, apalagi orang lain.
Reformasi memang menciptakan lingkungan politik yang mendukung bagi siapapun untuk mengekspresikan sikap dan pandangannya secara setara. Tak hanya bebas mengritik pemerintah, menyebar fitnah, memaki, hingga menebar keresahan pada orang lain, dianggap bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.
Euforia itu berkembang seiring menguat dan menyebarnya internet dan media sosial yang bisa mewadahi hal apapun yang ingin diekspresikan. Tak heran jika akhirnya banyak hal tabu, aib, berbagai persoalan privat hingga kabar atau berita bohong bebas dikonsumsi publik tanpa mereka mampu menyaringnya.
"Kebebasan yang kita miliki saat ini membuat apa yang kita ekspresikan menjadi makin tidak rasional,” kata Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta Rizki Edmi Edison di Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Pada dasarnya, manusia memang lebih suka memerhatikan dan mengabarkan hal buruk. Ekspresi itu akan ditangkap orang lain dengan rasa jijik atau terkejut/terpesona. Saat kedua rasa itu muncul, sistem limbik di otak manusia yang mengolah emosi jadi lebih dominan dan mematikan bagian otak yang mengolah rasionalitas, yaitu otak bagian depan.
Kondisi itu membuat berita bohong, gosip, dan rumor lebih cepat menyebar. Kondisi itu sejalan dengan studi Soroush Vasoughi dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan rekan yang dipublikasikan di jurnal Science, 9 Maret 2018 yang menunjukkan penyebaran berita bohong itu lebih banyak dilakukan oleh manusia, bukan robot. Namun, berita benar yang mengklarifikasi kabar bohong itu tetap sulit menyebar.
Kendali diri
Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi Manado Taufiq Pasiak menambahkan kebebasan tak berbatas yang dimiliki membuat manusia Indonesia kehilangan sensitivitas dan kendali diri. "Masyarakat merasa berhak mengekspresikan tanpa peduli respon dan dampaknya pada orang lain," katanya.
Hilangnya kendali diri membuat fungsi eksekutif otak untuk mengendalikan impuls atau dorongan emosi yang cenderung destruktif tak ada. Akhirnya, emosi terluapkan tanpa melihat waktu, tempat, orang atau situasi yang sesuai. Dampak lanjutannya, masyarakat makin reaktif, mudah marah, menuduh dan menghakimi tanpa klarifikasi.
Repotnya, lanjut Taufiq, ketidakcakapan masyarakat mengelola emosi itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu demi memenuhi ambisinya. Masyarakat seolah didorong untuk eksplosif atau melampiaskan amarahnya dengan berbagai narasi, termasuk agama dan ras. Jika kemarahan itu jadi kolektif, maka terjadinya konflik atau kerusuhan sulit dihindarkan.
Besarnya risiko dari kebebasan berekspresi yang tanpa kendali itu membuat kebebasan perlu dibatasi. Tujuannya, untuk mengambalikan fungsi kendali diri manusia karena salah satu sifat dasar manusia adalah ingin meluapkan secara berlebihan apapun keinginannya.
Menurut Taufiq, hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan merekayasa kondisi lingkungan. Rekayasa itu, salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mengendalikan media sosial sebagai salah satu wahana ekspresi kebebasan masyarakat yang minim tanggung jawab.
Pengendalian itu harus dilakukan karena kemampuan masyarakat merasionalkan berbagai hal dalam kehidupannya masih rendah. Di sisi lain, dogmatisme agama yang menumpulkan nalar makin menguat.
Di sisi lain, lanjut Edmi, kebebasan berekspresi tanpa tanggung jawab selama ini telah memunculkan kenyamanan sosial. Mereka yang menyebarkan berita bohong sulit ditindak secara hukum dengan alasan kebebasan berekspresi. Situasi itu turut membuat masyarakat makin sulit berlaku rasional hingga abai terhadap dampak dari setiap tindakannya bagi diri dan orang lain.