Pemenuhan HAM Perempuan Korban Konflik Belum Optimal
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai konflik yang terjadi di Tanah Air menempatkan posisi perempuan yang sangat rentan sebagai korban kekerasan. Selama dua puluh tahun reformasi, selain masih ada sejumlah kebijakan yang menghambat penyelesaian konflik, cara pemerintah menyikapi dan menyelesaikan konflik juga belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan hak asasi manusia perempuan yang menjadi korban konflik.
Hal ini terungkap dalam Laporan Kajian Perkembangan Kebijakan Penyikapan Konflik Selama 20 Tahun Reformasi untuk Pemajuan dan Pemenuhan HAM Perempuan serta Pembangunan Perdamaian di Indonesia yang diluncurkan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Rabu (23/5/2018), di Jakarta.
“Isu konflik tidak dapat dipisahkan dari persoalan kekerasan terhadap perempuan karena konflik secara khusus menyasar dan membuat posisi perempuan rentan menjadi korban, tetapi juga sebagai agen perdamaian,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu, dalam sambutannya saat peluncuran kajian tersebut.
Isu konflik tidak dapat dipisahkan dari persoalan kekerasan terhadap perempuan
Menurut Azriana, hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan dan diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi di sejumlah wilayah dan konteks konflik sepanjang 20 tahun menunjukkan hirarki jender telah menempatkan perempuan rentan mengalami kekerasan seksual pada masa konflik, dan dipinggirkan pada proses dan masa perdamaian.
Konflik berulang
Meski mengakui ada sejumlah kemajuan yang dicapai bangsa Indonesia selama 20 tahun reformasi Indonesia, Komnas Perempuan menilai ada sejumlah tantangan dalam penanganan konflik-konflik di Tanah Air. Tantangan paling signifikan adalah konflik kekerasan yang terus berulang mewarnai dua dekade perjalanan reformasi, meskipun telah diselesaikan melalui perjanjian damai, seperti di Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Poso, dan Maluku.
“Berulangnya konflik kekerasan pascaperjanjian damai, merupakan fenomena global,” kata Azriana.
Dalam Kajian Komnas Perempuan, sudah banyak kebijakan dan terobosan pemerintah dalam menyikapi berbagai konflik di Tanah Air. Selain ada yang menyasar pada akar konflik dan model penyelesaian konflik di berbagai dimensi, selama dua dekade juga semakin banyak kebijakan yang merujuk pada prinsip-prinsip HAM dan mengutamakan partisipasi masyarakat.
Namun, masih ada sejumlah kebijakan yang dinilai belum memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan hak asasi manusia perempuan, bahkan masih ada sejumlah celah hukum yang memungkinkan konflik tidak tertangani dengan baik.
“Kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak-hak perempuan korban,” ujar Indriyati Suparno, komisioner Komnas Perempuan.
Cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian, juga dinilai masih bersifat pragmatis sehingga menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghadirkan konflik baru dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, komitmen politik dan kapasitas penyelenggara negara juga masih terbatas, serta cara kerja aparat masih terfrakmentasi dan parsial. Akibatnya, program penanganan konflik dan dampaknya menjadi tidak efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik.
Karena itulah, Komnas Perempuan merekomendasikan agar kebijakan negara dalam menyikapi konflik harus diintegrasikan ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020 -2025). Selain untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, juga harus ada program prioriras yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk kerentanan baru dan mencegah konflik berulang.
“Perlu disusun langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi. Selain itu perlu memastikan akses dan kemudahan bagi perempuan, terutama korban konflik, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inkusif, partisipatif dan representatif di semua tingkatan,” kata Yuniyanti Chuzaifah.
Perlu disusun langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik
Peluncuran kajian Komnas Perempuan tersebut juga dihadiri perwakilan dari kementerian/lembaga yang terkait, yang memberikan tanggapan, yakni Widodo Sigit Pudjianto (Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri), Harpan L Gaol (Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial), Helmy Basalamah (Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Komisaris Jenderal (Pol) Ari Dono Sukmanto (Kepala Bareskrim Polri), dan Aresi (Kabid Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Prioritas nasional
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Diani Sadia Wati yang mewakili Menteri PPN/Bappenas mengungkapkan, penanganan konflik dan kekerasan terhadap perempuan menjadi prioritas nasional.
“Sebab upaya pencegahan, penghentian konflik, serta pemulihan bagi perempuan korban harus dilaksanakan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa. Upaya tersebut perlu dilakukan baik sebelum, pada saat maupun sesudah terjadi konflik dan kekerasan,” kata Diani.
Sebab upaya pencegahan, penghentian konflik serta pemulihan bagi perempuan korban harus dilaksanakan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa
Pemerintah, telah menyusun Proyek Rencana Aksi Tim Terpadu Pelaksanaan Penanganan Konflik Sosial yang dikoordinasikan dengan Kementerian Dalam Negeri dan kementerian/lembaga yang masuk tim terpadu. Selain itu, penanganan kekerasan terhadap perempuan juga dilakukan dalam sistem peradilan terpadu-penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diuji coba di lima provinsi (Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Maluku).
“Kompleksnya penanganan konflik dan kekerasan terhadap perempuan yang bersifat lintas sektor, maka penyelesaiannya perlu dilakukan melalui sistem terpadu melibatkan instansi yang berwenang,” katanya.