Presiden: Jangan Persulit Masyarakat
JAKARTA, KOMPAS— Negara menjamin hak dasar masyarakat, khususnya hak mendapat layanan kesehatan. Karena itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan semua penyedia layanan kesehatan untuk tidak mempersulit warga mengakses layanan kesehatan.
Instruksi itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam silaturahim Presiden dengan ratusan penerima manfaat Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5/2018). Acara itu juga dihadiri Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fachmi Idris.
Negara punya kewajiban konstitusional, yakni memberi jaminan bagi warga mendapat layanan kesehatan yang baik. ”Hal terpenting bagi saya ada dua, yakni rakyat kalau mau mendapat pelayanan kesehatan jangan dihambat. Kedua, rakyat yang ingin mendapat layanan kesehatan jangan dipersulit,” kata Presiden.
Hal terpenting bagi saya ada dua, yakni rakyat kalau mau mendapat pelayanan kesehatan jangan dihambat. Kedua, rakyat yang ingin mendapat layanan kesehatan jangan dipersulit.
Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan kebijakan untuk membantu warga mengakses layanan kesehatan. Sejak awal, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menerapkan program JKN-KIS. Sejauh ini, pemerintah sudah menyerahkan kartu KIS kepada 92,2 juta warga dari target 96,8 juta kartu KIS. Karena itu, pemerintah akan kembali menelusuri warga yang butuh JKN-KIS.
Namun, program itu tak akan berarti jika penyedia layanan kesehatan mempersulit pemegang KIS berobat. Presiden mempertanyakan penyedia layanan kesehatan, baik rumah sakit, puskesmas, maupun klinik, yang mempersulit pemegang KIS berobat. ”Pasti saya kejar kenapa dipersulit, kenapa dihambat. Saya cari pasti,” kata Joko Widodo.
Pasti saya kejar kenapa dipersulit, kenapa dihambat. Saya cari pasti.
Dalam acara itu, sejumlah penerima manfaat JKN-KIS menyampaikan terima kasih kepada Presiden Jokowi. Nurlia, penderita tumor ganas dari Makassar, misalnya, mengaku bisa berobat berkat adanya KIS. Dia berharap pemerintah memperluas jangkauan JKN- KIS ke seluruh pelosok Tanah Air.
Menurut Fachmi, di sisi suplai layanan kesehatan, banyak pemangku kepentingan utama, mulai dari Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, hingga badan usaha milik negara, yang perlu berperan lebih optimal. Hingga kini, jumlah, mutu, serta distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan masih jadi persoalan.
Komitmen kepala daerah
Di tempat terpisah, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengingatkan semua kepala daerah agar lebih serius mendukung JKN-KIS sebagai program strategis nasional. Kepala daerah yang tak mendukung program itu bisa dijatuhi sanksi.
Menurut Tjahjo, seusai memberi penghargaan bagi daerah dengan kepesertaan JKN-KIS 95 persen atau lebih, kemarin, saat berkampanye, tiap kepala daerah menjanjikan perbaikan sektor kesehatan dan pendidikan. Di sektor kesehatan, hal yang harus dilakukan kepala daerah ialah mendukung JKN-KIS agar bisa dijangkau semua warga.
Tjahjo mengingatkan kepala daerah terkait Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2017 tentang Optimalisasi Program JKN-KIS, khususnya instruksi kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Jadi, sejumlah kementerian dan lembaga, termasuk pemerintah daerah, diminta lebih optimal menjalankan JKN-KIS.
Dalam inpres itu, bupati atau wali kota diinstruksikan mengalokasikan anggaran JKN, memastikan semua warganya terdaftar JKN-KIS. Kepala daerah diminta menyediakan sarana dan prasarana layanan kesehatan sesuai standar dengan sumber daya manusia bermutu, memastikan badan usaha milik daerah mendaftarkan pekerjanya, memberi data lengkap, dan rutin membayarkan iurannya.
Selain itu, pemda diinstruksikan memberi sanksi administratif, yakni tak memberi layanan publik tertentu bagi pemberi kerja yang tak mendaftarkan pekerja ke dalam JKN-KIS dan membayar iurannya.
Kemendagri juga mengirim surat edaran berisi antara lain meminta gubernur, bupati, dan wali kota mengintegrasikan jaminan kesehatan daerahnya dalam JKN-KIS. Kepala daerah diminta mendorong semua warganya agar mendaftar sebagai peserta JKN-KIS. ”Ada sanksi bagi mereka yang tak mendukung. Bisa diingatkan lewat tangan orang lain, Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan,” ujarnya.
Dari 514 kabupaten atau kota di Indonesia, ada 494 kabupaten atau kota yang memiliki jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Per 1 Mei 2018, daerah yang mengintegrasikan jamkesdanya dengan JKN-KIS mencapai 28 kota, 92 kabupaten, dan 4 provinsi. Adapun pesertanya mencapai 25,1 juta jiwa.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan, pencapaian cakupan kepesertaan di atas 95 persen oleh daerah memiliki makna bahwa pencapaian cakupan kepesertaan 95 persen secara nasional seperti ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 akan semakin mudah dicapai.
Dalam memperluas cakupan kepesertaan, menurut Fachmi, BPJS Kesehatan tidak bisa sendirian. Perlu ada koordiansi yang kuat dengan sektor dan lembaga lain. Pemberian penghargaan kepada sejumlah daerah diharapkan bisa memacu kesadaran daerah lain untuk mencapai hal yang sama.
Pencapaian cakupan kepesertaan 95 persen oleh sebagian daerah belum berarti bahwa mutu layanan di daerah itu sudah bagus. Cakupan kepesertaan hanya satu dari tiga dimensi dari jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/ UHC). Dua dimensi lainnya adalah pelayanan kesehatan dan perlindungan finansial. “Kami ditugaskan untuk memastikan masyarakat tidak punya kendala finansial dalam mengakses layanan kesehatan,” kata Fachmi.
Sementara di sisi suplai layanan kesehatan, ada banyak pemangku kepentingan utama yang berperan mulai dari Kementerian Kesehatan, pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di sisi suplai ini, kuantitas, kualitas, dan distribusi fasilitas kesehatan serta tenaga medis menjadi persoalan klasik.
Oleh karena itu, Fachmi berharap para pemangku kepentingan utama dalam penyediaan layanan kesehatan dapat berperan lebih optimal bersama BPJS Kesehatan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang baik.