JAKARTA, KOMPAS — Ujian Nasional sebagai salah satu metode pemetaan mutu pendidikan memerlukan tindak lanjut yang komprehensif. Diperlukan keaktifan pemerintah daerah dan musyawarah guru mata pelajaran untuk memberi intervensi sesuai spesifikasi masalah.
"Ujian Nasional (UN) merupakan alat mendiagnosa masalah secara cepat dan massal. Akan tetapi, lebih penting lagi merancang dan menerapkan tindak lanjutnya," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno di Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Hasil UN tahun 2018 menunjukkan permasalahan bahwa siswa-siswa belum sepenuhnya memahami konsep di setiap mata pelajaran. "Pada mata pelajaran bahasa indonesia dan bahasa inggris siswa mengalami kesulitan membaca dan memahami teks. Artinya pembelajaran di sekolah kurang membiasakan siswa membaca teks-teks panjang," ujar Totok.
Pada mata pelajaran matematika misalnya, siswa bingung memahami informasi yang sama tetapi disampaikan dengan dua cara berbeda. Contohnya, siswa bisa mencari nilai rata-rata dari soal yang berbentuk tabel. Akan tetapi, ketika soal mencari rata-rata berbentuk cerita, banyak yang tidak bisa menjawab. Hal ini menunjukkan siswa tidak memahami konsep mencari nilai rata-rata.
Rapor sekolah
Totok mengungkapkan, Kemendikbud memiliki rapor hasil UN untuk setiap sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. Rapor tersebut berbentuk cakram padat yang diserahkan kepada dinas pendidikan untuk disebar ke sekolah-sekolah. Di dalamnya terdapat detail permasalahan spesifik yang dialami setiap sekolah.
Menurut dia, permasalahan terbesar ialah pembelajaran di kelas yang bersifat persiapan UN. Bentuk ulangan harian menggunakan soal-soal pilihan ganda dengan sistem drilling (mengerjakan soal-soal serupa terus-menerus). Hal ini justru meminimalisir kemampuan siswa memahami konsep pelajaran dan mengembangkan analisa.
Untuk itu, beberapa intervensi telah dilakukan. Direktorat Pembinaan SMA Kemendikbud sudah melakukan pelatihan untuk guru-guru Sosiologi dari 63 sekolah dengan nilai UN Sosiologi terburuk. "Hendaknya Musyawarah Guru Mata Pelajaran di tiap-tiap daerah bisa merancang sistem pelatihan ataupun perbaikan cara guru mengajar berdasarkan rapor UN kabupaten/kota," kata Totok.
Sementara itu, Dinas Pendidikan Yogyakarta bekerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di provinsi tersebut dalam meningkatkan mutu pembelajaran. Bentuknya antara lain adalah mengizinkan guru mengikuti perkuliahan, dosen turun untuk mengajar di sekolah, dan mengembangkan penelitian untuk menganalisa masalah di sekolah provinsi tersebut.
Komprehensif
Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Najeela Shihab ketika dihubungi secara terpisah mengungkapkan, pemetaan mutu harus bersifat komprehensif. Selain UN, sistem akreditasi dan kinerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan di daerah-daerah juga harus maksimal.
"Kalau hanya menggunakan UN, semua beban ditekankan kepada siswa. Ini tidak adil bagi mereka, sementara pendidikan dipengaruhi berbagai faktor," ucapnya. Keberhasilan siswa hendaknya dilihat dari capaian dia selama mengikuti sekolah, bukan hanya pada waktu UN.
Najeela menturkan, mutu sekolah tidak ditentukan oleh siswa semata, tetapi juga mutu guru dalam mendidik dan sistem persekolahan dalam memberi suasana belajar yang kondusif. Faktor-faktor lain seperti permasalahan ekonomi, sosial, dan politik juga harus dipikirkan.
"Keragaman situasi pendidikan membutuhkan pemetaan yang lebih kompleks karena tidak bisa ditangkap hanya dari UN," tuturnya. Terdapat wilayah di Indonesia yang tidak bisa menjalankan proses pendidikan secara optimal karena faktor di luar sekolah. Evaluasi terhadap wilayah tersebut idealnya berbeda dengan standar UN. (DNE)