Media massa yang cenderung mengekspos kekerasan dan kekejaman teroris justru memberi "oksigen" bagi terorisme. Media harus memainkan peranan penting, jangan membuat berita terorisme apa adanya.
JAKARTA,KOMPAS — Begitu tindakan terorisme diberitakan secara marak, maka berita itu langsung diikuti dengan aksi-aksi terorisme lainnya. Fenomena inilah yang terjadi di Jakarta, Surabaya, dan Sidoarjo pekan lalu.
"Peristiwa di Mako Brimob (Rumah Tahanan Cabang Salemba Markas Komando Brigade Mobil Polri), Surabaya, dan Sidoarjo yang disiarkan terus-menerus menimbulkan kepanikan. Pelaku terorismenya memang sudah tewas, tetapi pesannya justru kita produksi terus-menerus secara berulang-ulang," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Rabu (23/5/2018) dalam diskusi terbatas "Pemberitaan Berlebihan Kejahatan Terorisme" di Gedung Dewan Pers, Jakarta.
Dalam diskusi ini, hadir pula tiga pembicara lain, yaitu Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigjen Hamli, dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Yuliandre Darwis.
Menurut Stanley, begitu teroris meledakkan bom di sebuah gereja di Surabaya, media-media arus utama, khususnya media online (daring) dan televisi langsung mengunggah begitu saja video-video dan foto-foto yang diambil dari media sosial dan mengundang pengamat untuk mengomentari kejadian-kejadian tersebut.
"Pertanyaan berikutnya adalah, apakah video-video dan foto-foto dari media sosial itu bisa langsung ditayangkan atau tidak tanpa direkam, tanpa diedit dan sebagainya? Padahal, di sana ada video dan foto-foto jenazah tersangka maupun korban. Sesuai Kode Etik Jurnalistik, gambar-gambar sadis seharusnya di-blur atau sama sekali tidak ditayangkan. Media harus memainkan peran penting, jangan membuat berita apa adanya yang justru menyampaikan pesan-pesan terorisme,"paparnya.
Membahayakan aparat
Dalam aksi terorisme pekan lalu, Dewan Pers memantau masih ada beberapa stasiun televisi yang sengaja membuat siaran langsung atau live dari jarak dekat.
Sesuai Pedoman Peliputan Terorisme yang disusun Dewan Pers, media penyiaran dalam membuat siaran langsung semestinya tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Sebab, siaran langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time sehingga membahayakan keselamatan aparat keamanan.
Siaran langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time sehingga membahayakan keselamatan aparat keamanan.
Belajar dari pengalaman di Mumbai, India, seorang jenderal polisi akhirnya tewas ditembak teroris hanya karena pemberitaan siaran langsung oleh stasiun televisi. Semenjak itu, tidak ada lagi siaran langsung di televisi India terkait terorisme.
Almarhum Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher Juli 1985 di Inggris telah memperingatkan, media massa yang cenderung mengekspos kekerasan dan kekejaman teroris justru memberikan "oksigen" bagi terorisme.
Setyo mengingatkan, keterbukaan bukan berarti apapun harus diberitakan secara "telanjang" karena ada rambu-rambu dan etika hukum yang perlu diperhatikan bersama. "Mari kita sama-sama menaatinya. Media juga ikut bertanggungjawab dengan perkembangan situasi yang terjadi di masyarakat,"ujarnya.
Fadhilah beranggapan perlu adanya kebersamaan dan pemahaman yang sama untuk mencegah dampak aksi terorisme. Sebab, yang terdampak dari terorisme bukan hanya para korban tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
"Di Thailand, ketika ada masalah teroris, berita yang muncul tidak akan berlama-lama diulas di media, paling hanya satu dua hari saja. Kalau pun masih muncul berita lanjutan, porsinya hanya kecil," ungkapnya.
KPI Pusat selaku pengawas konten siaran kewalahan mengontrol siaran langsung televisi. Menurut Yuliandre, tuntutan pemimpin redaksi dan produser peliputan kadang membuat jurnalis harus mencari sesuatu yang tidak biasa. Tak heran, apapun yang ada di lapangan akhirnya dilaporkan tanpa adanya penyaringan.