JAKARTA, KOMPAS — Pembatalan pertemuan tingkat tinggi antara Amerika Serikat dan Korea Utara dapat kembali meresahkan perekonomian global. Indonesia dapat mengantisipasi gejolak perekonomian global dengan melakukan diversifikasi pasar ekspor dan impor.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, di Jakarta, Jumat (25/5/2018), mengatakan, pertemuan AS dan Korut sebenarnya dapat menjadi jalan bagi pertumbuhan ekonomi global. ”Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh stabilitas geopolitik,” ujarnya.
Maxensius khawatir, situasi geopolitik yang tegang dapat memicu ketakutan negara lain sehingga memengaruhi perekonomian global. Kestabilan geopolitik suatu kawasan dapat membangun optimisme dari pelaku ekonomi, termasuk dalam menentukan arus perdagangan dan investasi.
Contoh terakhir terpengaruhnya ekonomi dunia akibat masalah politik adalah naiknya harga minyak pada tahun ini ketika AS dan Iran bersitegang terkait kesepakatan nuklir.
Situasi geopolitik yang tegang dapat memicu ketakutan negara lain sehingga memengaruhi perekonomian global.
Ekonomi AS pun terpengaruh. Pembatalan rencana pertemuan pemimpin AS dan Korut serta ancaman pemberian tarif impor kendaraan membuat bursa Wall Street turun, Kamis (24/5/2018).
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 0,3 persen di level 24.811,76, sedangkan indeks S&P 500 turun 0,2 persen di level 2.727,76. Adapun indeks Nasdaq Composite ditutup turun 1,53 poin di level 7.424,43.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menambahkan, kendati hubungan Korea Utara dan Korea Selatan membaik, pembatalan pertemuan AS dan Korut dapat mengancam perdamaian karena Korsel dekat dengan AS.
Menurut dia, ketegangan di Semenanjung Korea dapat memengaruhi pasar ekspor dan impor ke Korsel, Jepang, dan China. Apalagi, AS dan China sedang dirundung isu perang dagang. ”Hal ini membuat peta geopolitik susah diprediksi,” lanjutnya.
Indonesia perlu mengantisipasi potensi ketegangan tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pangsa ekspor nonmigas terbesar Indonesia pada Januari-April 2018 berada di China (15,24 persen), Amerika Serikat (10,94 persen), dan Jepang (10,23 persen). Sementara pangsa impor nonmigas terbesar Indonesia berada di ASEAN (20,5 persen), China (27,28 persen), dan Jepang (11,72 persen).
”Indonesia jangan terpaku kepada negara tujuan ekspor yang sensitif dengan isu geopolitik,” kata Bhima. Indonesia harus menciptakan mitra dagang baru di Amerika Latin, Afrika, dan Timur Tengah.
Pemerintah dapat memberikan insentif biaya ekspor pada pelaku usaha dan membuat perjanjian dagang dengan negara-negara di kawasan tersebut. Dengan demikian, transaksi ekspor dan impor lebih stabil tanpa dipengaruhi kondisi politik negara-negara lain.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump membatalkan pertemuan tingkat tinggi dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un pada Kamis (24/5/2018). Mereka dijadwalkan bertemu pada 12 Juni 2018 di Singapura.
Melalui surat resmi dari Gedung Putih, Trump menilai sikap Korut masih terkesan bermusuhan. Trump bahkan mengancam dengan menyebutkan nuklir AS. Kendati demikian, ia mengisyaratkan AS masih ingin berdialog.
Keputusan AS untuk membatalkan pertemuan di Singapura membuat pembahasan perdamaian di Semenanjung Korea kembali mengambang. Padahal, Presiden Korsel Moon Jae-in sudah bertemu dengan Kim Jong Un pada 27 April 2018 guna melanggengkan penyelenggaraan pertemuan itu.
Tunjukkan komitmen
Meski demikian, dunia tetap memerlukan sinyal dari AS bahwa negara itu akan menjaga perekonomian global tetap stabil. Apalagi, AS adalah salah satu negara adidaya dengan ekonomi terbesar di dunia.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, mengatakan, United States Chamber of Commerce atau kelompok lobi bisnis asal AS seharusnya membentuk tim khusus.
Tim itu bertugas untuk berkunjung ke negara mitra dagang guna meyakinkan AS tidak akan membuat keputusan yang membuat dunia resah. ”Hubungan AS tidak baik dengan Korut, China, dan Rusia, serta sedang tidak mesra dengan Uni Eropa,” ujarnya.
Namun, hal itu juga sulit dilakukan. Trump dinilai memiliki kecenderungan untuk membuat keputusan secara unilateral atau sepihak. (AFP)