Habibie dan Tekanan Para Tokoh Reformasi
25 Mei 1998
Situasi belum menentu terjadi seusai Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie. Posisi wakil presiden (wapres) yang selama tiga dekade sering dijuluki sebagai “ban serep”, sejak Mei 1998 harus mampu menggelinding di tengah medan yang terjal.
Untungnya para tokoh reformasi ketika itu berjalan kompak dan ikut mengawal masa peralihan. Padahal kalau mau dikait-kaitkan, Habibie ketika itu merupakan bagian dari rezim. Rakyat rupanya sudah cukup puas bahwa akhirnya Soeharto mundur dan sesuai dengan konstitusi memang wapres yang harus menggantikannya.
Baca juga: Masyarakat Kian Tak Sabar Ganti Presiden
Empat hari setelah BJ Habibie memegang kepemimpinan, Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang diketuai Amien Rais membuat pernyataan penting tentang pemerintahan peralihan. Mereka mendesak agar Presiden BJ Habibie menyatakan diri sebagai suatu pemerintahan transisional (peralihan) dalam beberapa hari ke depan, yang oleh harian Kompas, edisi Senin (25/5/1998), diangkat menjadi berita utama dengan judul "Majelis Amanat Rakyat Desak BJ Habibie, Nyatakan Pemerintahan dalam Peralihan".
Langkah tokoh-tokoh reformasi membuat suasana yang selama berminggu-minggu tegang menjadi cukup sejuk. Titik-titik terang kembali terlihat. Apalagi seperti dikutip oleh Amien Rais, presiden baru segera menyelenggarakan pemilihan umum. “Presiden sepakat menyatakan pemerintahannya ini sifatnya sementara, dan menjanjikan dalam waktu enam bulan sampai setahun ke depan akan mengadakan pemilihan umum,” tandas Amien Rais, demikian berita Kompas, Senin (25/5/1998).
Amien yang ketika itu adalah Ketua PP Muhammadiyah bersama sejumlah tokoh telah berbicara langsung dengan BJ Habibie, empat jam setelah resmi dia dilantik menggantikan Soeharto yang sudah 32 tahun memerintah. Hadir dalam pertemuan itu hadir sejumlah tokoh senior seperti Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Sudjana Sapi\'ie, dan Nucholish Madjid.
Habibie terbantu dengan dialog yang ditawarkan para tokoh reformasi. Ketika itu dibentuk sebuah Badan Penasihat Reformasi yang bersifat mandiri. Dengan badan ini presiden terbantu dalam menjalankan program reformasi yang boleh dikatakan dadakan.
Baca juga: Lengsernya Soeharto, Babak Baru Demokrasi Indonesia
Amien Rais memuji pertemuannya dengan Habibie. “Dalam pertemuan yang sangat terbuka, bernuansa demokratis serta lepas dari situasi patronage yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam pemerintahan Soeharto, Presiden Habibie menyatakan sepakat dan sependapat bahwa pemerintahannya itu adalah sebuah pemerintahan peralihan,” begitu antara lain Amien Rais menggambarkan pertemuannya dengan BJ Habibie.
Partai baru
Yang menarik, reformasi juga mengubah tatanan politik perpartaian. Masih dalam berita yang sama, pada awal pemerintahan baru mulai tercetus hasrat mendirikan partai baru di luar partai yang sudah ada sebelumnya. Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dianggap sudah kurang relevan dan sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat. Tuan rumah pertemuan MARA, Arifin Panigoro bahkan mengungkapkan, “Dalam pertemuan, sudah ada pembahasan mengenai hal itu. Bahkan sudah ada yang mengajukan nama, yaitu Partai Amanat Rakyat (PAR),” ungkap Panigoro.
Bahkan lebih jauh dari itu dalam pertemuan malam tanggal 23 Mei 1998 yang artinya hanya selang tiga hari setelah penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada BJ Habibie, sudah muncul sejumlah nama sebagai calon presiden dan wakil presiden. Berita utama Kompas sedikitnya menyebut lima nama yang dianggap pantas untuk posisi itu, namun dalam perjalanan waktu situasi berubah. Dari nama yang disebut, tak satu pun yang kemudian menjadi presiden atau wakil presiden sampai 20 tahun setelah reformasi. Yang terjadi justru Gus Dur, Megawati, kemudian Susilo Bambang Yudhoyono, dan sekarang Joko Widodo berada di tampuk pimpinan tertinggi RI.
Nasib Soeharto
Isu penting setelah pergantian kepemimpinan tentu saja menyangkut nasib Soeharto sebagai tokoh utama tuntutan rakyat ketika itu. Dan hal ini, kata Amien Rais, permintaan pertanggungjawaban dimungkinkan. Namun dia tampak hati-hati dengan mengatakan, “Soal Soeharto bakal diadili di pengadilan, hal itu dapat saja terjadi di negara hukum ini. Tetapi untuk saat ini hendaknya hal itu tidak dilakukan dulu, karena akan menjadi preseden buruk. Setelah keadaan sudah kembali normal, kondisi itu bisa terjadi.”
Baca juga: Habibie Butuh Rakyat setelah Hari-hari Kelam
Dalam perjalanannya kemudian sampai mantan presiden itu berpulang pada 27 Januari 2008, di Jakarta, semua persoalan ditutup Begitu pula putra-putrinya yang pada masa Orde Baru sering dikaitkan dengan tradisi KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), hidup bebas bersama keluarga mereka.
Dalam pemerintahan transisi Habibie mengambil keputusan cukup signifikan terkait tahanan politik. Sebagaimana berita “Habibie akan Bebaskan Bintang dan Pamungkas (Kompas, Senin (25/5/1998), selaku presiden, dia menyatakan akan membebaskan Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan. Bintang yang memimpin Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Pakpahan yang waktu itu adalah Ketua Umum Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), semasa pemerintahan Soeharto terjerat pasal subversi.
Di luar kedua orang ini Habibie juga merencanakan membebaskan tahanan politik lainnya secara bertahap. Menteri Kehakiman Muladi mengatakan, bersama Bintang dan Pakpahan, sedikitnya ada 10 tahanan politik akan dibebaskan. Langkah cepat ini nyaris tak dipercaya. “Hampir seluruh duta besar termasuk Amerika Serikat, telah mempertanyakan apakah benar langkah tersebut akan diambil pemerintah Indonesia?” ungkap Menkeh Muladi terkait pembebasan tapol tersebut.
Baca juga: Prabowo Subianto Dicopot
Tapol yang dibebaskan minta pemerintah melakukan itu tanpa syarat, Mereka menolak jika pembebasan dilakukan atas dasar amnesti.
Tuntutan SI
Di antara sekian banyak masalah, dalam masa peralihan muncul desakan adanya Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dari sebuah diskusi terbuka yang diselenggarakan di Universitas dr Soetomo Surabaya, sejumlah tokoh menyuarakan pentingnya SI sebelum pemerintah melakukan pembenahan di segala bidang. Pembicara acara ini adalah dua mantan menteri, yakni Sarwono Kusumaatmadja dan Siswono Yudohusodo, serta ilmuwan dari Universitas Airlangga Daniel Sparingga dan Soewoto. Pembantu dekan Universitas dr Soetomo, Sam Abede Pareno ketika itu bertindak sebagai moderator diskusi.
SI perlu digelar juga untuk mengukuhkan Habibie. “Jadi turunnya Soeharto dan naiknya Habibie hanya sebagai de facto saja. Sedangkan de jure, Presiden RI masih Soeharto,” begitu antara lain pendapat dari Soewoto. Dari soal SI, diskusi juga berkembang pembahasan tentang sistem pemilihan umum, antara sistem proporsional dan sistem distrik.
Baca juga: Setelah 17 Jam, Pengganti Prabowo Diganti
Pers yang cukup lama tertekan, mendadak mendapat angin segar. Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menegaskan niatnya untuk tidak (lagi) mengecewakan dunia pers. Hal ini terutama terkait dengan ketentuan SIUPP atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang sebelumnya memang menjadi ganjalan besar bagi media. Nasib media sangat ditentukan oleh SIUPP yang dikeluarkan pemerintah.
Yunus Yosfiah berjanji akan membantu media massa sehingga bisa melaksanakan tugas sebaik mungkin, Begitu juga dia menyatakan akan berusaha mendekatkan kembali media dengan Deppen.
“Jangan sampai Deppen menjadi seolah-olah seperti ada sesuatu dengan media massa,” katanya sebagaimana dimuat Kompas, 25 Mei 1998. Di masa pemerintahan Gus Dur, Deppen akhirnya ditiadakan.