Memahami Perilaku Merapi
Merapi relatif sepi sejak meletus 2010 lalu. Aktivitasnya mulai terindikasi Jumat (11/5/2018) pagi pekan lalu, yang ditandai dengan kenaikan suhu kawah. Sekitar 1,5 kemudian yaitu sekitar pukul 07.32 WIB tiba-tiba meletus dalam durasi hanya lima menit.
Letusan yang berlangsung singkat itu disertai suara gemuruh dari dalam kawah akibat peningkatan tekanan berskala sedang hingga kuat. Letusan itu disebut Freatik. Material yang disemburkan itu berupa abu vulkanik, pasir dan material piroklatik yang terdiri dari gas panas, abu dan bebatuan tefra.
Kecepatan aliran material ke udara dari kawah bisa mencapai 700 kilometer per jam. Gas yang keluar suhunya diperkirakan di atas 1000 derajat celsius. Dari letusan itu terlontar material dari lubang kawah hingga mencapai 5.500 meter di atas puncak kawah.
Dengan bangkitnya Merapi Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi Karbani, menetapkan status Merapi level 1 dengan radius berbahaya 3 kilometer. “Jenis letusan ini relatif tidak berbahaya dan hanya berlangsung sesaat.” Erupsi freatik ini muncul setelah sekitar 4 tahun istirahat, ulas Kepala Seksi Gunung Api Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Agus Budi Santoso.
Status gunung berapi di DIY-Jateng, pada Senin (21/5/2018) naik dari Level I (Normal) menjadi Level II (Waspada). Agus melaporkan terdengar suara gemuruh bersamaan dengan erupsi freatik sebanyak tiga kali dalam waktu 18 jam. Erupsi freatik yang terjadi pada tanggal 21 Mei 2018 terhitung intensif.
Sebelumnya, pada hari minggu, kegempaan Gunung Merapi tercatat 1 kali gempa vulkanik, 12 kali gempa multifase, 1 kali gempa tremor, 12 kali gempa guguran, 3 kali gempa letusan, dan 5 kali gempa tektonik. Gempa guguran yang terjadi pada tanggal 20 Mei 2018 pukul 21.30 WIB tergolong besar dan sempat terdengar oleh penduduk.
Sehubungan telah terjadi peningkatan aktivitas letusan freatik dan diikuti dengan kejadian gempa vulkanik dan gempa Tremor maka disimpulkan bahwa aktivitas vulkanik G. Merapi mengalami peningkatan. Peningkatan aktivitas Merapi itulah yang mendasari peningkatan statusnya menjadi waspada terhitung mulai tanggal 21 Mei 2018 pukul 21.00 WIB.
Dalam waktu sepekan, aktivitas Merapi memang terus meningkat. Pada dini hari Kamis (24/5/2018) kembali terjadi letusan. Namun kali ini tidak lagi murni freatik karena material pijar sudah mulai keluar. “Letusan ultra vulcanian sepertinya hanya istirahat beberapa hari dan dilanjutkan letusan vulcanian atau telah disertai material magmatik,” kata Mirzam Abdurrachman pakar vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Letusan ultra vulcanian sepertinya hanya istirahat beberapa hari dan dilanjutkan letusan vulcanian atau telah disertai material magmatik.
Letusan magmatik
Kecenderungan peningkatan letusan dari jenis freatik menjadi magmatik pada Merapi sudah diperkirakan kejadiannya oleh pakar vulkanologi. Namun berdasarkan sejarah pemantauan yang panjang sejak jaman kolonial Belanda peningkatan aktivitas Merapi yang tergolong gunung berapi paling aktif di Indonesia, mengikuti dua pola yaitu pola letusan tahun 1872 dan 1934.
Pada pola tahun 1872, setelah meletus terjadi beberapa kali letusan freatik kemudian diikuti letusan magmatik. Antara letusan magmatik ke letusan magmatik berikutnya rentang waktunya 30 – 50 tahun. Pada pola 1934 rentang waktu antar leltusan lebih singkat sekitar 8 tahun, urai Yulianto pengamat Merapi di BPPTKG Yogyakarta.
Letusan Merapi saat ini berbeda dengan aktivitasnya pada tahun 2010, ujar Yulianto. Pada tahun 2010 saluran magma tertutup atau tersumbat. Saat ini terbuka setelah letusan sehingga tidak ada akumulasi gas sehingga beberapa kali terjadi freatik.
Untuk letusan tahun 2010 belum dapat ditetapkan polanya. Apakah mengikuti pola rentang panjang tahun 1872 atau pola rentangan pendek tahun 1934, Kejadian letusan freatik pada tahun 2018, menurut Yulianto, merupakan kejadian tahun ke-11. “Periode panjang dan pendek ini tergantung suplai magma dari perut bumi naik ke lubang magma” ujarnya.
Sementara Mirzam berpendapat sebelum letusan 2010 letusan besar memang selalu didahului oleh pembentukan sumbat lava pada puncak merapi. Setelah 2010 polanya berubah tak lagi didahului pembentukan kubah atau sumbat lava.
Menurut Agus, untuk melihat kecenderungan peningkatan peningkatan ke fase magmatik atau naiknya magma ke permukaan harus dilakukan analisis data. Apakah ada suplai magmatik dari dapur magma.
Dua pola yang terjadi di Merapi, menurut Agus, merupakan efek morfologi kawah yang terbuka dan sumbat magma yang keluar lebih tipis. Ketika terjadi level krisis hingga berakhir dengan letusan tahun 2010 di puncak merapi masih ada kubah. Sekarang telah menjadi kawah atau terbuka.
Ketika material magma terangkat ke permukaan dan menyumbat maka letusan besar akan kembali mengancam. Kejadian letusan 2010 itu diikuti dengan letusan freatik sejak tahun 2006.
Letusan besar tahun 2010 itu mengikuti pola pengulangan tahun 1930. Saat ini aktivitas merapi masuk waspada level 2. Kemungkinan untuk naik atau turun status berimbang 50:50. Potensi bahaya letusan relatif kecil karena kubah yang terbentuk kecil di tengah kawah dengan volume sekitar 130 meter kubik. Pada letusan freatik pada tahun 2013 kubah itu terbelah.
Bahaya lain yang muncul adalah longsoran kubah lava. Pada kejadian letusan 2010 muncul kubah lava di bagian sisi. Pasca letusan masih tersisa sebagian kubah itu. Bila terjadi gempa yang mengganggu kestabilan maka akan dapat menimbulkan longsoran kubah lava tersebut. Ini perlu diantisipasi.
Kubah lava pada tahun-tahun berikutnya berpotensi akan terus terbentuk hingga membentuk kubah yang utuh. Fase berikutnya akan hancur bila terjadi letusan besar.