Pemerintah-DPR Setujui Pengesahan RUU Antiterorisme
JAKARTA, KOMPAS — DPR memberikan persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.
Persetujuan diberikan dalam rapat paripurna ke-26 DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2017-2018 di Jakarta, Jumat (25/5/2018). Turut hadir dalam rapat paripurna itu, wakil dari pemerintah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.
RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu telah dibahas pemerintah dan DPR, sejak 27 April 2016. Setelah disetujui dan disahkan oleh DPR kini RUU tersebut masuk tahapan pengundangan oleh pemerintah.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme DPR Muhammad Syafii meyakini RUU telah mengatur secara komprehensif. Ini tidak hanya mengatur hal-hal yang terkait dengan pemberantasan terorisme tetapi juga pencegahan, penanggulangan, pemulihan korban, kelembagaan, dan pengawasan.
Dengan demikian, setelah RUU diundangkan kelak, aturan di dalamnya dapat memperkuat aparat penegak hukum dan instansi pemerintah lainnya dalam mencegah dan memberantas terorisme.
Kemudian untuk memastikan pencegahan dan pemberantasan terorisme oleh aparat penegak hukum dan pemerintah tidak melenceng dari aturan yang ada, RUU mengamanahkan kepada DPR untuk membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
Selain itu, aturan di RUU juga memberikan perlindungan yang lebih komprehensif bagi korban aksi terorisme. Jika di UU No 15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi, kini di RUU mengatur pula pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal, pemberian restitusi, dan kompensasi.
Bahkan, para korban terorisme sebelum RUU ini disahkan akan ikut diberikan perlindungan yang sama dari pemerintah. ”Jadi, korban terorisme sejak Bom Bali I tahun 2002 harus mendapatkan perhatian dan pelayanan dari pemerintah,” katanya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun menilai RUU setelah diundangkan kelak akan menjadi instrumen hukum yang sangat penting dalam mencegah dan memberantas terorisme.
”Kami mewakili Presiden menyatakan setuju RUU ini disahkan menjadi undang-undang,” katanya.
Untuk mengetahui lebih lanjut soal RUU tersebut, berikut adalah sejumlah poin penting di RUU itu:
- Pasal 12A Ayat 1: setiap orang yang dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan tindak pidana terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
- Pasal 12A Ayat 2: setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun
- Pasal 12B Ayat 1: setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan tindak pidana terorisme dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
- Pasal 12B Ayat 2: setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun.
- Pasal 12B Ayat 3: setiap orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik, untuk digunakan dalam pelatihan seperti disebut di Ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
- Pasal 13A: setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau tampilan, dengan tujuan menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
- Pasal 16 A: setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga
- Pasal 31: berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang membuka, memeriksa, menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa dan menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme
- Pasal 35A: korban merupakan tanggung jawab negara. Korban meliputi korban langsung atau tidak langsung. Bentuk tanggung jawab negara berupa bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia, dan kompensasi
- Pasal 43A: pemerintah wajib melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. Pencegahan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi
- Pasal 43E: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.
- Pasal 43I: tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme oleh TNI diatur dengan peraturan presiden.
- Pasal 43J: DPR membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
- Pasal 43L: korban langsung yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme sebelum undang-undang ini berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis atau rehabilitasi psikososial dan psikologis. Yang dimaksud korban langsung itu adalah korban yang diakibatkan tindak pidana terorisme yang terjadi sejak berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.