Perry Warjiyo (59) bukan merupakan sosok yang baru di lingkungan Bank Indonesia. Ia memulai kariernya sebagai staf Bank Indonesia Desk Penyelamatan Kredit pada tahun 1984-1986. Kariernya pun menanjak perlahan pada divisi yang berbeda-beda
Ia pernah menjadi kepala seksi bagian analisis dan penelitian devisa, kepala bagian statistik dan analisis neraca pembayaran, deputi direktur departemen riset dan kebijakan moneter, direktur pusat pendidikan dan studi kebanksentralan, serta direktur eksekutif departemen riset ekonomi dan kebijakan moneter.
Terakhir, ia menjabat sebagai asisten gubernur untuk perumusan kebijakan moneter, makroprudensial, dan internasional tahun 2013 serta deputi gubernur bidang kebijakan moneter, internasional, statistik, pengelolaan devisa, pendalaman pasar keuangan, ekonomi dan keuangan syariah, BI Institute, dan kantor perwakilan luar negeri periode 2013-2018.
Kariernya semakin cemerlang ketika menjadi calon tunggal yang diajukan Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur BI yang baru untuk menggantikan Gubernur Bank Indonesia periode 2013-2018, Agus DW Martowardojo. Ia pun lulus uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) pada 28 Maret 2018 lalu.
Tanggal 24 Mei 2018, Perry dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia di Mahkamah Agung, Jakarta. ”Alhamdulillah, hari ini saya sudah mengambil sumpah sebagai Gubernur Bank Indonesia periode 2018-2023,” katanya, seusai pelantikan.
Perjuangan Perry hingga menjadi orang nomor satu di BI memiliki cerita yang panjang. Ia sempat menceritakan, dirinya berasal dari keluarga petani. Keluarganya termasuk golongan tidak mampu.
Lahir pada 25 Februari 1959, Perry bersekolah di SD Negeri Gawok, Sukoharjo, tahun 1965-1970. Ia kemudian melanjutkan di SMP Negeri Gatak, Sukoharjo, dan SMA Negeri 3 Surakarta.
Perry akhirnya melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1977-1982. Ia pun masuk ke Department of Economics, Iowa State University, AS, tahun 1986-1989 untuk meraih gelar S-2.
Pada tahun 1989-1991, Perry meraih gelar PhD di Department of Economics, program Monetary and International Economics, masih di Iowa State University, AS.
Sebagai gubernur BI yang baru, Perry memiliki beberapa agenda untuk mendukung stabilisasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”BI akan independen dalam menjalankan mandat. Namun, kami juga memahami konteks interdependensi, di mana kebijakan BI adalah bagian dari kebijakan ekonomi nasional,” kata Perry.
Salah satu agenda utama Perry adalah menstabilkan nilai tukar rupiah. Saat ini, nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) masih melemah terhadap dollar AS selama beberapa hari terakhir.
Pada 24 Mei 2018, nilai tukar rupiah Rp 14.205 per dollar AS, melemah dibandingkan pada 23 Mei 2018 yang sebesar Rp 14.192 per dollar AS dan 22 Mei 2018 pada Rp 14.178 per dollar AS.
Ia berkomitmen akan mengombinasikan kebijakan suku bunga acuan dan intervensi ganda.
Sebelumnya, BI menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,50 persen, suku bunga penempatan dana rupiah atau deposit facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah atau lending facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen per 18 Mei 2018.
Perry mengatakan, BI akan lebih mengantisipasi dan maju dalam kebijakan suku bunga yang berikutnya. Apalagi, The Fed, bank sentral AS, kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan AS sebanyak empat kali pada tahun ini.
Selain itu, intervensi ganda juga akan dilakukan melalui penambahan pasokan valuta asing dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar sekunder. ”Kami sudah membeli hampir Rp 50 triliun SBN yang dijual asing pada tahun 2018,” ujarnya.
Perry juga berkomitmen, sebagai gubernur BI yang baru, ia akan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, pelaku perbankan, dan pelaku dunia usaha. Komitmen itu ia buat untuk menjaga stabilitas ekonomi, tetapi pada saat yang bersamaan tetap meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, secara terpisah, mengingatkan, agenda utama BI adalah meningkatkan inklusi keuangan.
”Kebijakan bank sentral bukan hanya untuk stabilitas, yang lebih tepat adalah untuk mendorong pertumbuhan,” kata Enny. Hal itu karena inklusi keuangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika perekonomian bertumbuh, secara otomatis stabilitas ekonomi akan terjadi.
Enny menilai kebijakan moneter saat ini masih bermasalah di hulu, seperti di sektor pembiayaan. Kebijakan dinilai terlalu ketat dan tidak memberikan insentif sehingga investor menilai lebih aman untuk menyimpan dana di deposito. Ditambah lagi, koordinasi antarkebijakan fiskal dan moneter masih terkesan tidak bersinergi.
”Yang penting, BI tetap independen,” ucapnya. BI tidak boleh terpengaruh dengan kepentingan, tetapi tetap harus mengutamakan kepentingan negara dengan membuat kebijakan yang menguntungkan perekonomian bangsa.