Ruang Interaksi untuk Melunturkan Segregasi
Kota Semarang, Jawa Tengah, dikenal sebagai ”laboratorium” kemajemukan. Di tengah tantangan segregasi sosial yang kian mengencang, masyarakat menjawabnya dengan menciptakan ruang bersama bagi perjumpaan identitas yang berbeda.
Agustin Indrawati, Kepala Sekolah Dasar Kuncup Melati, baru selesai memasak di dapur sekolah saat beberapa donatur datang membawa sumbangan untuk siswa sekolah gratis yang ada di Gang Lombok, Kawasan Pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Bantuan itu menambah tumpukan kardus di samping meja kerja Indrawati.
Di sana sudah ada sekardus kecap manis, satu kompor gas, serta satu kardus air mineral kemasan. Sekali sepekan, guru dan orangtua siswa bergiliran memasak makanan untuk disantap semua siswa dan guru. Bahan-bahan makanan disediakan donatur atau pengurus Yayasan Khong Kauw Hwee, yang mengelola taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan Sekolah Menengah Pertama Kuncup Melati.
”Nang, ini kasihkan ibumu, ya,” kata Indrawati, dalam bahasa Jawa yang kental dengan logat semarangan, sembari memberi bungkusan berisi tahu dan kelebihan bahan masakan kepada seorang siswa SD, akhir Februari lalu.
Yayasan Khong Kauw Hwee mulai mengelola sekolah gratis di pecinan sejak 1950. Diawali dengan kursus pemberantasan buta huruf, saat ini yayasan tersebut mengelola TK, SD, dan SMP. Kendati gratis, sekolah itu tetap berkualitas, tak kalah dengan sekolah-sekolah favorit di Kecamatan Semarang Tengah.
Tak cuma bebas biaya sekolah, siswanya pun kerap mendapat bantuan seragam sekolah, sepatu, alat tulis, bahkan ikat pinggang. Semuanya berasal dari donatur. Puluhan tahun, sekolah ini hidup dari donatur. Baru beberapa tahun terakhir, pengurus Yayasan Khong Kauw Hwee mau menerima dana bantuan sekolah dari pemerintah.
”Anak-anak tidak diajarkan soal siapa kamu dan aku, tetapi aku dan kamu sama, supaya anak-anak bisa lebih baik kehidupannya tanpa menghiraukan perbedaan,” kata Indrawati.
Tidak berlebihan jika Indrawati menyebut sekolah itu sebagai Indonesia kecil. Tiga kluster yang membentuk ekosistem sekolah—pengajar dan pengelola sekolah, siswa, dan donatur—berasal dari latar belakang yang beragam. Anak-anak dari suku dan agama apa pun diperbolehkan mengenyam pendidikan di sekolah itu, dengan catatan berasal dari keluarga tak mampu.
Sebagai ”ruang”, sekolah ini mempertemukan pihak-pihak dari identitas yang berbeda, baik di masing-masing kluster maupun silang kluster. Orang dengan agama, suku, dan kelas sosial yang berbeda dipertemukan dalam satu semangat untuk membukakan pintu bagi masa depan lebih baik bagi anak-anak yang berlatar belakang beragam, tetapi kekurangan biaya untuk mengenyam pendidikan.
Sebagai ”ruang”, sekolah ini mempertemukan pihak-pihak dari identitas yang berbeda, baik di masing-masing kluster maupun silang kluster. Orang dengan agama, suku, dan kelas sosial yang berbeda dipertemukan dalam satu semangat untuk membukakan pintu bagi masa depan lebih baik bagi anak-anak yang berlatar belakang beragam, tetapi kekurangan biaya untuk mengenyam pendidikan.
Ruang perjumpaan
Hanya beberapa ratus meter dari sekolah itu, di Gang Warung, sejak 2005, Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopi Semawis) menginisiasi Waroeng Semawis. Di penggalan jalan yang panjangnya tak sampai 1 kilometer itu muncul kedai-kedai makanan dan minuman serta aneka aksesori. Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu malam, Gang Warung jadi termpat kemeriahan baru, hasil rekayasa sosial masyarakat.
Selain menghidupkan kembali Pecinan Semarang yang berpuluh-puluh tahun ”senyap” pada malam hari, tempat untuk ciak alias makan itu menjadi ruang perjumpaan lintas identitas pula. Penggalan jalan itu menjadi ruang egaliter bagi orang-orang dari berbagai latar belakang. Pengunjung yang berbeda suku dan agama, baik tua maupun muda, semua menyantap makanan dari penjual yang latar belakangnya juga beragam.
”Tujuan kami memang untuk membentuk ruang interaksi. Maka, ketika melihat yang datang dari identitas berbeda-beda, kami senang sekali,” ujar Widya Widjajanti, arsitek asal Semarang yang juga salah satu penggagas Kopi Semawis.
Waroeng Semawis merupakan kesinambungan dari Pasar Imlek Semawis yang dimulai pada 2004. Kendati ada kritik, perhelatan itu diyakini sudah membantu membuka ruang komunikasi antara warga pecinan dan luar pecinan. Kemeriahan itu juga didorong untuk menjadi ”milik” orang Kota Semarang, bukan hanya warga pecinan.
”Dulu, orang di pecinan itu jarang bisa berkomunikasi horizontal dengan kelompok di luar pecinan. Ini karena dalam sejarahnya Pecinan Semarang dibentuk Belanda dengan jumlah populasi yang cukup besar untuk membuat penghuninya merasa cukup berada dalam kelompoknya saja,” kata Widya.
Tantangan besar
Rekayasa sosial untuk membentuk ruang perjumpaan bagi identitas yang berbeda itu menjadi semacam oase di tengah kian berkurangnya ruang publik bersama akibat tekanan ekonomi. Kepentingan ekonomi membuat ruang publik seperti taman kian habis, berganti ruang komersial. Atas nama ekonomi pula, sarana pendidikan, terutama swasta, menghasilkan segregasi sosial. Perumahan-perumahan baru muncul dengan kecenderungan penghuni beridentitas sama.
Media sosial yang diharapkan menghasilkan ruang publik baru
juga punya dampak negatif menghasilkan ”kepompong informasi” atau ”ghetto” siber, tempat orang berinteraksi dengan orang lain yang punya pandangan sama.
Media sosial yang diharapkan menghasilkan ruang publik barujuga punya dampak negatif menghasilkan ”kepompong informasi” atau ”ghetto” siber, tempat orang berinteraksi dengan orang lain yang punya pandangan sama
Di tengah kondisi itu, akhirnya berkembang cara pandang yang lebih konservatif dalam melihat perbedaan. Namun, ada pula kelompok warga yang tak mau berdiam diri menghadapi perkembangan itu. Yunantyo Adi, Presidium Jaringan Gusdurian Jawa Tengah, mengatakan, anak muda lintas agama di Kota Semarang beberapa tahun terakhir mencoba menciptakan ruang-ruang pertemuan antaragama. Dalam ruang pertemuan ini muncul inisiatif aktivitas bersama memupuk toleransi dalam jangka panjang lewat srawung (pertemuan) lintas agama untuk anak usia 6-10 tahun. Tak hanya itu, muncul pula inisiatif lebih ”keras” untuk menghadapi aktivitas yang mengganggu toleransi di Semarang.
”Harus ada penciptaan ruang sedini mungkin untuk anak-anak agar mereka ada bekal berupa memori yang akan tertanam hingga tua,” kata Yunantyo.
Kendati menghadapi tantangan segregasi sosial, Kota Semarang diyakini bisa bertahan sebagai laboratorium keberagaman, sepanjang ruang interaksi terus berkembang. Menurut Tedi Kholiludin, peneliti Pusat Kajian Agama dan Perdamaian Universitas Wahid Hasyim Semarang, ada 3 faktor yang membuat Semarang bisa merawat keberagaman dan minus konflik akibat perbedaan.
Kendati menghadapi tantangan segregasi sosial, Kota Semarang diyakini bisa bertahan sebagai laboratorium keberagaman, sepanjang ruang interaksi terus berkembang.
Pertama, Semarang menjadi ruang kultural yang memungkinkan orang dengan latar belakang berbeda bisa berinteraksi dengan cair. Tradisi dugderan menjelang Ramadhan, berupa pasar rakyat di Kauman, yang berdekatan dengan pecinan, menjadi ruang perjumpaan yang menyejukkan. Kegiatan yang mula-mula beridentitas agama itu bertransformasi menjadi momentum kebudayaan yang dinikmati semua lapisan masyarakat.
Faktor kedua, kata Tedi, Semarang secara historis merupakan pasar yang menjadi tempat perjumpaan penjual dan pembeli sehingga membuat relasi antarwarga menjadi setara dan toleran. Terakhir, di Semarang tidak ada pihak yang mengklaim diri sebagai tuan rumah kebudayaan sehingga tidak ada satu kebudayaan yang menyubordinasi kebudayaan lain. Hal ini, misalnya, terlihat dari simbol-simbol kultural, semacam Warak Ngendog, hewan legenda yang menunjukkan perpaduan budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa.
Kunci untuk mempertahankan kemajemukan itu, bagi Tedi, sangat bergantung pada kesediaan semua pihak merawat ingatan kolektif atas nilai, ruang, dan tempat yang menunjukkan Semarang sebagai daerah yang multikultural. Oleh karena itu, dia mendorong keseriusan pemerintah merawat tata ruang di sekitar Kota Lama Semarang yang menjadi bukti hidup multikulturalisme Semarang; posisi Gereja Blenduk Kristen Protestan yang berdekatan dengan Gereja Gedangan umat Katolik, lalu Masjid Kauman yang tak jauh dari Kelenteng Tay Kak Sie di Pecinan Semarang.
”Itu bisa menjadi memori kultural orang Semarang, bagaimana hidup bersama dalam perbedaan,” kata Tedi.
Sudahkah ruang dan memori bersama itu dijaga bersama?