Siswa Diakrabkan dengan Bahan Bacaan
JAKARTA, KOMPAS — Mengatasi rendahnya kemampuan literasi bangsa, sejumlah sekolah membuat terobosan. Meski sederhana, cara itu membawa perubahan positif pada perilaku siswa.
Mereka memanfaatkan komitmen masyarakat sekitar sekolah untuk turut membangun literasi tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga di lingkungan sekitar.
"Siswa tak akrab dengan buku pelajaran. Jadi, setiap pagi selama 30 menit sebelum pelajaran, mereka diajak membaca bacaan ringan," kata Kuruna Sujati Pitaya Niawati, Kepala Sekolah SDN Karangmojo II Gunung Kidul, Yogyakarta, ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/5/2108).
Bacaan ringan tersebut berupa cerita rakyat, kisah para nabi ataupun kisah-kisah rohani lainnya, dan biografi orang terkenal. Khusus untuk siswa kelas I dan II, mereka membaca komik dan cerita bergambar.
Kuruna mengungkapkan, metode ini bertujuan mengakrabkan siswa dengan teks. Mayoritas siswa di SD tersebut berasan dari keluarga yang tidak memiliki kebiasaan membaca. Apabila pengalaman membaca pertama mereka langsung ke buku pelajaran, siswa akan trauma dan menganggap membaca tidak menyenangkan.
Setiap hari, seusai membaca, siswa wajib menuliskan poin-poin penting bacaan ke dalam buku literasi. Poin-poin itu berfungsi sebagai kerangka karangan mingguan mengenai kesimpulan siswa atas setiap topik bacaan yang selalu dikumpulkan pada hari Sabtu. Setiap Sabtu pula siswa bergiliran menyampaikan isi bacaan di depan kelas.
"Literasi tidak hanya bisa membaca dan menulis, tapi mengomunikasikan topik secara lisan," kata Kuruna.
SDN Karangmojo II memiliki paguyuban literasi yang rutin mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa. Kuruna menjelaskan, orangtua setiap hari diminta menanyakan kepada anak-anak mereka mengenai hal-hal yang sudah dibaca. Cara ini membuat anak berpikir membaca bukan kegiatan yang terbatas di sekolah. Orangtua juga diminta membeli satu buku setiap tahun untuk dipinjamkan ke perpustakaan sekolah.
Menurut Kuruna, perubahan siswa mulai terlihat. Masyarakat Gunung Kidul umumnya masih berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Bagi siswa, kesempatan berbicara memakai Bahasa Indonesia hanya di sekolah sehingga kemampuan berbahasa nasional relatif lambat berkembang.
"Sejak satu tahun terakhir dengan adanya program literasi, siswa mulai bisa berbicara memakai Bahasa Indonesia yang tertata baik," ujarnya. Pola jajan siswa juga berubah. Hang yang biasanya digunakan untuk membeli mainan kini digunakan untuk membeli buku cerita.
Kerja sama perguruan tinggi
Sementara itu, di SMPN 12 Mataram, Nusa Tenggara Barat, dilaksanakan kerja sama dengan program studi Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana Universitas Mataram. "Mulai tahun ajaran 2018/2019 akan ada program pengembangan literasi dengan memperkenalkan karya sastra kepada siswa," kata Kepala Sekolah SMPN 12 Mataram Mustajib.
Karya sastra, lanjut Mustajib, selain mengasah kemampuan siswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, juga membantu menumbuhkan budi pekerti. Selama ini, tim literasi SMPN 12 Mataram mengkrabkan siswa dengan membaca artikel surat kabar dan biografi tokoh lokal, nasional, dan internasional. Materi umumnya diunduh dari internet.
"Setiap kata, frasa, dan kalimat harus memiliki makna. Tugas siswa ialah mencari makna dan membuat kalimat bermakna," tutur Mustajib.
Hal serupa juga diterapkan dengan teks-teks berbahasa Inggris. Siswa diperbanyak membaca teks dalam bahasa tersebut meskipun topiknya mengenai kehidupan sehari-hari. Menurut Mustajib, walaupun lambat, mulai tampak kemajuan siswa bisa berpikir runtun dalam Bahasa Inggris.
Ruang ekspresi
Guru Besar Bahasa Indonesia Universitas Negeri Padang Atma Zaki menjelaskan, siswa sedini mungkin harus diberi ruang untuk mengutarakan pendapat karena melatih mereka berpikir sistematis, kritis, dan mengumpulkan kosakata yang tepat. Oleh sebab itu, metode pembelajaran dan pengujian materi pelajaran di sekolah selain banyak membaca hendaknya juga banyak menulis uraian.
"Mayoritas mahasiswa mengalami kesulitan menulis makalah dan mempresentasikannya karena keterbatasan kosakata. Apabila sejak bangku SD anak dimotivasi agar rajin membaca dan menulis, ketika dewasa ia tatanan berpikir yang tertib," paparnya.
Zaki mengungkapkan, ketika anak masih bayi hingga berusia lima tahun, setiap mempelajari kata baru, orangtua selalu menyemangati dan memuji. Akan tetapi, memasuki bangku sekolah, imajinasi dan ekspresi anak justru dibendung. Akibatnya, anak tidak berkembang kemampuan literasinya.
"Pola pendidikan harus diubah dengan memerdekakan pikiran anak untuk menjelajah berbagai topik dan mendiskusikannya dengan guru dan teman," tuturnya. (DNE)