JAKARTA, KOMPAS- Hakim Agung Artidjo Alkostar memasuki masa purnatugas, 22 Mei lalu. Hakim yang dikenal memberikan hukuman berat kepada koruptor itu berharap Mahkamah Agung menjadi rumah pencari keadilan. Ia menegaskan pentingnya penegak hukum mengasah kompetensi yang tak hanya soal pengetahuan, dan kemampuan teknis hukum, tetapi juga integritas moral.
Berdasarkan catatan MA, sejak menjadi hakim agung tahun 2000, ia memeriksa dan memutus 19.708 perkara pidana. Dari kasus-kasus yang ditangani, sebagian di antaranya menarik perhatian pulik karena merugikan negara dalam jumlah besar dan melibatkan tokoh-tokoh politik. Artidjo pernah menangani perkara korupsi bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, bekas politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh, pengacara senior Otto Cornelis Kaligis, bahkan mantan Presiden Soeharto.
Dalam putusannya, Artidjo cenderung memperberat vonis. Dalam kasus Anas, misalnya, hukumannya naik dari 8 tahun jadi 14 tahun penjara. Hak politiknya juga dicabut. Hal serupa dialami Angelina yang divonis 12 tahun di tingkat kasasi, atau lebih tinggi daripada vonis sebelumnya yang 4 tahun 6 bulan penjara. Vonis Luthfi yang semula 16 tahun jadi 18 tahun . Begitu pula pengacara OC Kaligis jadi 10 tahun dari 7 tahun di tingkat banding. Belakangan, vonisnya diturunkan jadi 7 tahun penjara saat putusan peninjauan kembali.
Kuat argumentasi hukum
Menurut Artidjo, kepada pers di Gedung MA, Jakarta, Jumat (25/5/2018), penjatuhan vonis yang lebih berat didasari argumentasi hukum kuat. Acap kali ditemui penerapan pasal yang berbeda antara pengadilan banding dan tingkat pertama dengan kasasi.
Dalam perkara korupsi, pasal yang kerap dipakai adalah Pasal 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun setelah diperiksa majelis kasasi, penerapan pasal yang tepat adalah Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor. Dalam UU ini, ada perbedaan ancaman hukuman. Dalam pasal 2, diancam hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, sementara dalam pasal 3 diancam minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. ”Jadi, kadang-kadang pasalnya berbeda, dan harus ada alasan untuk mengubahnya, tak boleh sembarangan ditambah (vonis). Umumnya, di pengadilan tingkat pertama dan banding, dikenakan pasal 3, sementara kerugian negara sekian miliar. Ini, kan, tak benar,” katanya.
Di kamar pidana, MA juga ada kesepahaman soal penerapan dua pasal yang dinilai sulit dibedakan. Dua pasal itu sulit dipahami karena unsur-unsurnya beririsan. Untuk itu, dikeluarkan pedoman yang disepakati kamar pidana. Patokannya, bila ada kerugian di atas Rp 100 juta, dikenai pasal 2 sehingga vonisnya lebih berat. ”Segala ketidakjelasan tafsir UU itu direspons lewat kesepakatan kamar pidana. Jadi, selalu saya katakan, hakim harus lebih pintar daripada pembuat UU. Hakim juga harus selalu lebih pintar daripada koruptor. Alangkah malangnya republik ini kalau penegak hukum kalah pintar dari koruptor,” ujarnya.
Kini, usai purnatugas, kedudukannya diganti hakim lain. Pemilihan ketua baru kamar pidana jadi hak prerogatif Ketua MA Hatta Ali. Ia berharap penggantinya ”tahan banting”, karena tugasnya cukup berat.
Diharap jadi rujukan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada , Oce Madril, mengatakan, Artidjo adalah hakim dengan pendekatan berbeda. ”Artidjo berani ambil putusan berbeda sama sekali dengan putusan hakim di bawah. Tak hanya menghukum berat, tetapi juga mencabut hak politik. Putusan itu harus jadi rujukan hakim-hakim lainnya saat vonis korupsi,” ujarnya.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif berharap komitmen para hakim agung menjaga MA tak berubah setelah Artidjo pensiun. Penggantinya diharapkan meneruskan keteguhannya. ”Saya kenal Pak Artidjo bahkan sebelum saya di KPK. Pak Artidjo hakim yang baik dan teguh, dipercaya masyarakat,” kata Laode.