Hasil Riset Memperkaya Bukti untuk Pengendalian Rokok
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Pengambilan kebijakan pengendalian tembakau membutuhkan riset sebagai bukti pendukung. Namun, riset terkait rokok di Indonesia masih minim.
JAKARTA, KOMPAS Para peneliti dari berbagai lembaga riset dan akademik diharapkan memperkaya bukti ilmiah pengendalian tembakau sebagai dasar kebijakan. Itu perlu dilakukan melalui riset di daerah dan nasional.
Associate Scientist Institute for Global Tobacco Control, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Stephen Tamplin, memaparkan itu, seusai “Seminar Hasil Penelitian Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia”, di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Dalam penyusunan kebijakan pengendalian tembakau, para pengambil kebijakan di banyak negara memertanyakan bukti pendukung dari dalam negeri untuk jadi dasar kebijakan. Pegiat pengendalian tembakau kerap memakai hasil riset di luar negeri dalam memerkuat advokasinya. Karena itu riset yang memperkaya bukti ilmiah pengendalian tembakau perlu diperbanyak.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, Jumat (25/5/2018), di Jakarta, mengatakan, merokok meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Seiring tingginya prevalensi perokok, biaya penanganan penyakit terkait rokok amat besar.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mencatat, tahun 2016 biaya kesehatan untuk penyakit jantung Rp 74 triliun. Itu berarti lebih dari 10 persen total iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat Rp 67,4 triliun.
Menurut Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Kardioserebrovaskular Anwar Santoso, penyakit kardiovaskular jadi penyebab utama kematian di Indonesia dan merokok ialah faktor risiko utama penyakit kardiovaskular. “Negara berpendapatan menengah ke bawah seperti Indonesia menyumbang 80 persen kematian akibat penyakit kardiovaskular global,” katanya.
Di Inggris, pada 1980-an kematian penduduk berusia di bawah 70 tahun 16 persen. Itu mencerminkan rendahnya mutu kesehatan masyarakat. Mayoritas warga meninggal karena penyakit terkait rokok. Setelah ada pengendalian produk tembakau dan promosi kesehatan, pada 2010 kematian warga usia di bawah 70 tahun 4 persen.
Hasil penelitian
Pada Seminar "Hasil Penelitian Pengendalian Konsumsi Rokok di Indonesia”, di Jakarta, Kamis (24/5/2018), ada enam hasil riset yang dipaparkan. Enam penelitian itu ialah tentang cukai rokok, dinamika masyarakat sipil dalam advokasi pengendalian tembakau, beban penyakit akibat rokok, rokok elektrik, evaluasi pelarangan iklan rokok, dan studi peringatan kesehatan bergambar.
Kurnia Dwi Artanti, dosen dari Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, memaparkan riset beban penyakit akibat rokok di Kabupaten Blitar. Hasilnya, penyakit terkait rokok dominan pada responden ialah stroke. Kerugian akibat penyakit terkait rokok 200 responden Rp 1,3 miliar setahun.
Sementara peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, yang meneliti soal cukai rokok menyampaikan, tarif cukai rokok di Indonesia masih jauh lebih rendah dari tingkat cukai optimal yang berdampak pada menurunnya prevalensi merokok. Akibatnya, cukai tidak efektif sebagai instrumen pengendalian harga rokok.