Indonesia Bisa Jadi Mediator AS dan Korut
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dapat menjadi mediator antara Amerika Serikat dan Korea Utara. Posisi Indonesia yang netral dinilai bisa menjadi dasar pertimbangan kedua negara itu untuk melaksanakan kembali pertemuan yang telah dibatalkan sepihak oleh AS.
Presiden AS Donald Trump membatalkan pertemuan tingkat tinggi dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un, Kamis (24/5/2018), setelah dijadwalkan akan bertemu pada 12 Juni 2018 di Singapura. Namun, melalui surat resminya, Trump mengisyaratkan AS masih ingin berdialog dengan Jong Un.
Langkah Trump untuk membatalkan pertemuan membuat pembahasan perdamaian di Semenanjung Korea kembali mengambang. Padahal, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in sudah bertemu dengan Kim Jong Un pada 27 April 2018 guna mewujudkan perdamaian itu.
Beberapa jam sebelum Trump membatalkan pertemuan AS-Korut, Pyongyang telah meledakkan fasilitas uji nuklirnya di Punggye-ri sebagai bukti komitmennya membangun dunia yang damai dan tanpa nuklir.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, di Jakarta, Jumat (25/5/2018), menyatakan, batalnya pertemuan AS-Korut menunjukkan kedua negara membutuhkan mediator yang lebih proaktif.
”Kedua negara (AS dan Korut) sudah mempunyai niat mulia untuk berdialog di Singapura. Untuk mempertahankan niat itu, Indonesia harus hadir untuk menyampaikan pesan bahwa Indonesia menjunjung tinggi niat perdamaian itu dan bersedia memediasinya,” tutur Reza.
Komitmen untuk menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan amanat alinea keempat pada bagian pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. ”Indonesia bisa menjadi penengah,” ujar Reza.
Indonesia, lanjutnya, selama ini dinilai adil dan netral karena tidak pernah berpihak kepada AS atau Korut.
Menurut Reza, momentum sekarang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke kedua negara tersebut guna meyakinkan bahwa pertemuan masih dapat terselenggara.
Indonesia selama ini dinilai adil dan netral karena tidak pernah berpihak kepada AS atau Korut.
”Indonesia harus meyakinkan bahwa kita memiliki niat mulia untuk menciptakan perdamaian. Paling tidak, kedua negara itu tidak akan menolak,” ucapnya.
Reza mengusulkan dua nama penting yang dinilai memiliki pengaruh besar, baik di AS maupun Korut, yaitu presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua mantan presiden itu dapat berperan menjadi pemimpin delegasi tingkat tinggi untuk mendekatkan AS-Korut.
Megawati akan diterima dengan baik di Korut karena ayahnya, presiden pertama Indonesia, Soekarno, memiliki hubungan baik dengan kakek Kim Jong Un, yaitu Pemimpin Besar dan Presiden Abadi Korut Kim Il Sung. Yudhoyono juga dekat dengan AS sehingga pasti diterima baik oleh Trump.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga dihormati oleh AS karena ide pembangunan untuk kesejahteraannya dinilai moderat.
Indonesia, kata Reza, juga memiliki posisi yang lebih netral dari Singapura. Ia menceritakan, Duta Besar Korut pernah mengungkapkan kepadanya hampir dua minggu lalu bahwa Pyonyang belum memiliki keputusan resmi terkait lokasi pertemuan Jong Un dengan Trump.
”Singapura memiliki aliansi militer dengan AS. Indonesia sementara itu menolak aliansi militer dengan negara mana pun. Indonesia juga merupakan pendiri GNB (Gerakan Non-Blok) dan berpartisipasi dalam misi perdamaian (peacekeeping operations) yang digelar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa),” ujar Reza.
Secara terpisah, Evi Fitriani, dosen senior Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, menambahkan, ketegangan antara AS dan Korut ini merupakan bagian dari proses tawar-menawar yang wajar di antara kedua negara.
”Kedua pihak sedang mencari tahu seberapa jauh mereka bisa saling menekankan kekuatannya. Biarkanlah proses ini berjalan. Indonesia bisa mendukung dengan memberikan atmosfer yang menyejukkan,” ucapnya.
Menurut dia, Indonesia tidak perlu terlibat dalam ketegangan antara AS dan Korut. ”Persoalan ini adalah panggung negara lain. Lebih relevan apabila Korsel atau China ikut berperan. Kita cukup memberikan dukungan dengan cara menyampaikan statement, bahwa kita mendukung pertemuan kedua pihak agar bisa menemukan solusi yang terbaik,” tutur Evi.
Sementara itu, pengamat ekonomi menilai, memburuknya hubungan AS dan Korut dapat memengaruhi perekonomian global.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, secara terpisah menyatakan, pertemuan AS dan Korut sebenarnya menjadi jalan bagi pertumbuhan ekonomi global. ”Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh stabilitas geopolitik,” ujarnya.
Kestabilan geopolitik suatu kawasan dapat membangun optimisme dari pelaku ekonomi, termasuk dalam menentukan arus perdagangan dan investasi.
Kestabilan geopolitik kawasan dapat membangun optimisme pelaku ekonomi, termasuk penentuan arus perdagangan dan investasi.
Pembatalan pertemuan pemimpin AS dan Korut serta ancaman pemberian tarif impor kendaraan membuat bursa Wall Street turun pada Kamis (24/5/2018), seperti dilaporkan kantor berita Agence France-Presse.
Indeks Dow Jones Industrial Average turun 0,3 persen di level 24.811,76, sementara indeks S&P 500 turun 0,2 persen di level 2.727,76. Adapun indeks Nasdaq Composite ditutup turun 1,53 poin di level 7.424,43.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, menambahkan, saat ini dampak pembatalan pertemuan AS dan Korut belum terlihat di Indonesia. ”IHSG dan nilai tukar Indonesia belum terpengaruh,” ujarnya.
Waspada
Reza menilai, dunia harus waspada dengan kecenderungan Trump untuk membuat keputusan secara unilateral atau satu pihak. Kecenderungan ini muncul akibat ketidakmampuan Trump untuk berdiplomasi dengan negara lain.
”Ia juga cenderung membuat kesepakatan yang baru dan membatalkan yang lama,” katanya.
Sebelum pertemuan dibatalkan, Wakil Presiden AS Mike Pence dikabarkan mengancam Korut untuk tidak mempermainkan Trump. Pence bahkan menyebutkan, Korut bisa bernasib seperti Libya jika pertemuan itu tidak meraih kesepakatan.
Menurut Reza, Trump seharusnya meralat perkataan Pence. Kim Jong Un sebagai pemimpin muda Korut masih membutuhkan rasa hormat dari seluruh dunia. Rasa hormat itu belum ia peroleh dari Trump. Trump masih memiliki stigma terkait Korut.
”Padahal, Korut sudah menunjukkan kebesaran hatinya,” lanjut Reza. Korut mengakui telah meledakkan fasilitas situs uji nuklir Korut di Punggye-ri yang terletak di kawasan pegunungan di Provinsi North Hamgyon. Peledakan itu disaksikan sejumlah wartawan asing.
Independen
Reza menekankan, Korsel harus lebih tegas menunjukkan independensinya dari AS. ”Korut tidak menyukai provokasi AS melalui latihan militer di wilayah utara,” ujarnya.
Ia berharap, Korsel tidak melakukan tindakan gegabah sejak pembatalan pertemuan AS dan Korut. Korsel dinilai cukup berkonsentrasi untuk melanjutkan kerja sama di antara kedua Korea yang telah disetujui sebelumnya.
Hubungan antara AS dan Korut ini menyebabkan rasa ketidakpastian kepada negara lain karena mereka menganggap Korut masih bisa melakukan peluncuran nuklir kapan pun. Menurut Reza, Korut tidak bisa melakukan proses denuklirisasi secara cepat karena ia juga perlu mempertahankan keamanannya.
Evi menambahkan, penggunaan nuklir untuk menjamin keamanan negara adalah hal yang wajar dan bisa dipertimbangkan dengan negara lain. Namun, apabila nuklir itu digunakan untuk melakukan ancaman kepada dunia internasional, dunia akan menekankan pembongkaran nuklir itu.
”Melalui NPT (Non-Proliferation Treaty), ada kesepakatan nuklir itu dikuasai oleh negara besar atau pihak yang memenuhi syarat tertentu. Negara lain seperti Pakistan dan India memiliki senjata nuklir, tetapi Korut yang paling dipermasalahkan karena ia mengancam masyarakat internasional,” tutur Evi.