Andai reformasi itu cuma menumbangkan Presiden Soeharto, tujuan itu sudah tercapai sejak 20 tahun silam. Gelombang reformasi yang dipelopori mahasiswa menjadi puncak kemarahan rakyat terhadap cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Orde Baru yang berkuasa sampai 32 tahun. Sebuah wajah kekuasaan yang tampak dingin, sangar, angker. Kekuasaan berada di satu tangan. Semua institusi demokrasi dijadikan alat kekuasaan. Tentara -- ABRI -- menjadi alat pementung. Partai penguasa -- Golkar -- adalah organ kekuasaan yang akarnya menjalar dan mencekik ke mana-mana mirip lambang mereka: pohon beringin.
Di zaman Orde Baru, kontrol penguasa begitu ketat. Kebebasan berpolitik menjadi barang langka. Suara-suara kritik dibungkam, sehingga semua terdiam. Mereka yang berteriak dengan cepat tersedak. Partisipasi disulap menjadi mobilisasi. Oposisi tersisih. Kekuasaan begitu menakutkan, membuat rakyat membisu karena dibayangi ketakutan. Maka, reformasi menjadi luapan harapan yang tak terbendung lagi. Tahun ini 20 tahun berlalu, apakah reformasi mewujudkan harapan yang indah-indah itu? Reformasi telah membawa artikulasi suara begitu nyaring hingga melengking. Di era sekarang, suara tak bisa dibungkam lagi. Ini zaman kebebasan bung! Tetapi terlalu berisik sehingga suara pun tak lagi penuh makna alias asal bunyi (asbun).
Sekadar mengingat kembali, agenda reformasi pada 1998: 1) mengadili Soeharto dan kroninya; 2) amandemen UUD 1945; 3) menghapuskan dwifungsi ABRI; 4) berantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); 5) otonomi daerah seluas-luasnya; dan 6) menegakkan supremasi hukum. Setelah 20 tahun reformasi, apa kabar dengan agenda tersebut?
Reformasi memang bukan politik balas dendam. Tidak seperti ketika terjadi perubahan politik pasca tragedi 1965 tatkala semua pihak yang berbeda (berhaluan atau dicap "kiri") diburu sampai ke lubang-lubang persembunyian. Gerakan reformasi tahun 1998, tidak seperti itu. Rakyat cukup gembira ketika menumbangkan Soeharto, dan tak perlu memburunya sampai ke pengadilan. Gerakan reformasi juga tidak mengejar kroni-kroni Soeharto yang menikmati previlese selama Orde Baru. Bahkan anasir-anasir Orde Baru tetap bercokol kokoh. Partai Golkar, misalnya, ikut melompat ke gerbong reformasi sampai hari ini. Itulah reformasi yang bukan politik balas dendam.
Reformasi konstitusi lewat amandemen UUD 1945 boleh dikata dapat dijalankan. Sejak 1999, UUD 1945 telah diamandemen empat kali. Apakah amandemen UUD 1945 sudah sesuai dengan tuntutan reformasi yang bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar menyangkut tatanan negara, kedaulatan rakyat, perlindungan hak asasi manusia, pola pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokratis? Amandemen harus diletakkan untuk kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, bukan kepentingan politik.
Reformasi yang menghapus dwifungsi ABRI (kini TNI) menjadi catatan paling positif. Di zaman Orde Baru, ABRI adalah mesin paling mengerikan. Walaupun ABRI lahir dari kandungan rakyat, tetapi justru sering mengarahkan moncong senjata ke rakyat. Peran ABRI sangat dominan. Bahkan menguasai panggung politik. Di zaman Orde Baru, yang namanya jabatan bupati, wali kota, hingga gubernur adalah jatah tentara. Tetapi, begitu reformasi, militer justru paling meyakinkan. Tentara berhasil kembali ke barak, mengurusi pertahanan. TNI boleh dikata institusi paling sukses menjalankan reformasi. Hanya saja, akhir-akhir ini ada gelagat yang mencoba menarik-narik kembali TNI ke panggung politik. Ini memang godaan yang bisa membuat terlena. Tetapi, asal TNI setia pada Sapta Marga dan tetap berkomitmen pada bangsa dan negara, godaan seperti itu bukan sulit untuk ditepis.
Reformasi juga telah memberi ruang begitu bebas utuk rakyat menentukan diri sendiri. Otonomi telah membawa daerah-daerah memiliki keputusan yang mandiri. Tidak lagi di atur-atur oleh pemerintah pusat. Tetapi, ironinya otonomi melewati jalan paradoks. Otonomi dijadikan komoditas politik, bukan kepentingan daerah. Pemekaran daerah dan pilkada, misalnya, justru makin terjebak dalam politik identitas dan munculnya ego lokal atau etnisitas. Menjauh dari karakter negara kesatuan.
Reformasi yang terus menerus dilakukan adalah penegakan hukum. Hukum harus menjadi panglima di negeri ini. Seperti halnya juga membersihkan negeri dari penyakit korupsi. Sebab, selama 20 tahun ini, korupsi tidak lenyap dari bumi Indonesia, malah tumbuh subur, menciptakan gen-gen baru. Betapa menyakitkan ketika para elite di negeri tidak mampu membebaskan diri dari belitan korupsi. Para pejabat (eksekutif, legislatif, yudikatif) banyak yang terjerat korupsi. Setiap saat, terkhusus menjelang pesta pilkada, tidak sedikit elite ditangkapi KPK. Mereka itulah yang mengkhianati reformasi dan sekaligus membawa kehancurkan negeri ini. Apalagi banyak penunggang-penunggang reformasi. Setelah 20 tahun, barangkali krusial untuk mereformasi reformasi. Karena, reformasi sejatinya adalah perubahan jiwa agar bangsa tetap hidup, bukan bangsa yang sekarat.