Pemilu Secepatnya Jadi Solusi atas Krisis
26 Mei 1998
Krisis yang terjadi sejak tahun 1997, yang berujung pada keputusan Presiden Soeharto untuk berhenti pada 21 Mei 1998, bukan hanya krisis ekonomi. Krisis yang paling berat menerpa Indonesia adalah krisis kepercayaan kepada pemerintah, khususnya kepada pemimpin Orde Baru. Oleh karena itu, penggantian kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada BJ Habibie, yang sebelumnya adalah wakil presiden, belum sepenuhnya menjawab tuntutan rakyat.
Rakyat ingin adanya pemerintahan baru yang menggantikan pemerintahan Orde Baru, yang saat itu masih tetap berkuasa. Setelah Soeharto berhenti, pemerintahan seperti hanya berganti kepala negara/kepala pemerintahan. Mereka yang selama ini diyakini sebagai kroni Soeharto, yang sebagian meninggalkan pemimpin Orde Baru itu saat dukungan rakyat kepadanya melemah, masih menjabat di pemerintahan, termasuk di lembaga legislatif.
Oleh sebab itu, pemilu menjadi jalan yang terbaik untuk menghasilkan pemerintahan baru. Pemilu yang boleh diikuti partai politik baru tidak hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang selama lebih dari 20 tahun terakhir diakui Orde Baru. Bahkan, ada desakan dari masyarakat pula agar Golkar, yang selama ini menjadi kendaraan politik rezim Orde Baru, tak boleh ikut serta jika pemilu secepatnya digelar.
Selain dari mahasiswa, desakan diadakan pemilu secepatnya itu, antara lain, datang dari Majelis Amanat Rakyat (Mara) yang beranggotakan sejumlah aktivis pro-reformasi dan sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII yang ditinggalkan Soeharto.
Desakan itu menjadi berita utama harian Kompas edisi 26 Mei 1998, dengan judul ”Pemilu Secepatnya: Ginandjar Menolak Istilah Pemerintahan Transisi”. Ginandjar, yang masih menjabat Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri dalam kabinet yang dipimpin Presiden BJ Habibie, menolak menyebut pemerintahan saat itu sebagai pemerintahan transisi sebab akan mengantar rakyat dan bangsa Indonesia ke era baru.
”Pak Habibie juga bersikap sama, bahwa kabinet ini memang tugasnya adalah mengantar bangsa ini ke arah era baru. Era baru tentunya membutuhkan pemerintahan baru yang dibentuk atas dasar kaidah-kaidah yang diinginkan reformasi.... Jadi, tidak ada perbedaan pendapat antara saya dan Pak Habibie,” kata Ginandjar di ruang sidang kabinet Bina Graha (Kompas, 26/5/1998).
Pemilu 1999
Pemerintahan BJ Habibie menyetujui untuk menggelar pemilu lebih cepat dari rencana. Pemerintahan terakhir rezim Orde Baru, yang dipimpin Soeharto dan BJ Habibie, sebenarnya adalah hasil Pemilu 1997. Jika Habibie melanjutkan kepemimpinan Soeharto, ia seharusnya menjadi presiden hingga tahun 2002. Namun, sesuai dengan desakan masyarakat, pemilu secepatnya pun digelar tahun 1999, tepatnya pada bulan Juni.
Pemerintahan BJ Habibie menyetujui untuk menggelar pemilu lebih cepat dari rencana.
Pemilu yang digelar selepas Soeharto berhenti itu diikuti 48 partai politik. Padahal, selama pemerintahan Orde Baru, kecuali pemilu tahun 1971 yang diikuti 10 partai, hanya PPP, PDI, dan Golkar-lah peserta tetap pemilu, dan bisa dipastikan Golkar yang selalu memenanginya. Peserta Pemilu 1971, kecuali Golkar, difusikan menjadi PPP dan PDI.
Terkait penyelenggaraan pemilu secepatnya itu, Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung, yang juga menjabat dalam kabinet terakhir yang dipimpin Soeharto, menyatakan, ”Presiden secara terbuka, arif, dan bijaksana menerima pikiran-pikiran itu. Bahkan lebih dari itu, Presiden mengatakan, bilamana aspirasi yang telah disampaikan para tokoh itu memang sudah dapat diformalkan secara konstitusional, maka Presiden juga menyatakan siap segera melaksanakan pemilihan umum,” ujarnya (Kompas, 26/5/1998).
Pemerintah siap melaksanakan pemilu dalam waktu yang secepat-cepatnya, sejauh perangkat perundang-undangan untuk itu telah disepakati, atau telah disetujui secara konstitusional.
Pemilu 1999 memang bisa dilaksanakan dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak luar biasa di negeri ini. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan wakil pemerintah dan partai tak mampu menyelesaikan tugasnya, dengan menyepakati hasil pemilu.
Sebanyak 27 parpol menolak menandatangani hasil pemilu itu. Partai ini umumnya tak memperoleh suara, dukungan rakyat, yang signifikan. Presiden BJ Habibie akhirnya pada 20 Juli 1999 menandatangani keputusan yang mengesahkan hasil pemilu itu.
Keputusan Presiden itu menjadi rujukan KPU untuk menetapkan pembagian kursi di DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dan menguasai 33,74 persen keanggotaan di DPR, yang saat itu berjumlah 462 kursi.
Golkar, yang sempat ditolak untuk ikut serta pemilu, masih mampu menjadi peraih suara terbanyak kedua meskipun jumlahnya menurun dibandingkan pemilu tahun 1997.
Golkar, yang sempat ditolak untuk ikut serta pemilu, masih mampu menjadi peraih suara terbanyak kedua meskipun jumlahnya menurun dibandingkan pemilu tahun 1997. Golkar yang dipimpin Akbar Tandjung masih bisa menempatkan 120 kadernya di DPR, atau menguasai 22,44 persen kursi parlemen.
Penurunan suara juga dialami PPP dan PDI dibandingkan perolehan suaranya saat Pemilu 1997. Bahkan, PDI tinggal menempatkan dua kadernya di DPR (0,43 persen) dan PPP hanya mendapatkan 58 kursi (12,55 persen).
Sejumlah partai baru meraih dukungan suara yang signifikan, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dibidani Amien Rais. Sejumlah partai lama, yang pernah mengikuti pemilu tahun 1971, tak meraih suara yang cukup untuk mendudukkan kadernya di DPR.
Sejumlah partai baru meraih dukungan suara yang signifikan, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dibidani Amien Rais.
Sekalipun memenangi Pemilu 1999, PDI-P gagal menempatkan Megawati sebagai presiden dan menempatkan kadernya untuk memimpin lembaga legislatif. Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR, Akbar Tandjung menjadi Ketua DPR, dan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden, sebagai hasil pilihan MPR. Megawati awalnya menjadi Wakil Presiden.