Perkuat Sistem Kontraradikalisasi dan Deradikalisasi
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pencegahan terorisme yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Teroris dinilai belum efektif. Proses pencegahan ini terdiri dari sistem kontraradikalisasi dan deradikalisasi. Selain itu, dengan adanya UU Antiterorisme yang baru, perlu ada peraturan presiden yang mengatur keterlibatan TNI serta akuntabilitas kepolisian dalam penanganan terorisme.
Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, menjelaskan, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) masih belum efektif dalam melakukan sistem deradikalisasi dan kontraradikalisasi.
”Deradikalisasi ini dilakukan kepada orang yang sudah terpapar radikalisme. sedangkan kontraradikalisasi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada orang yang belum terpapar,” ucapnya dalam diskusi bertajuk ”Pemberantasan Terorisme, Legislasi, Tindakan Polisi, dan Deradikalisasi” di Jakarta, Sabtu (26/5/2018).
Menurut Solahudin, upaya polisi dalam memberantas terorisme telah efektif, tetapi belum menyelesaikan akar masalah terorisme. Upaya pencegahan perlu menjadi prioritas karena masifnya penyebaran ideologi radikal, khususnya melalui media sosial.
”Selain itu, BNPT belum mampu melakukan deradikalisasi terhadap napiter (narapidana terorisme) yang tidak kooperatif. Hanya napiter dan mantan napiter yang kooperatif yang dibina dalam program deradikalisasi,” lanjutnya.
Mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengatakan, kinerja BNPT dalam deradikalisasi dan kontraradikalisasi belum menjangkau masyarakat pada tataran yang lebih luas. Menurut dia, BNPT seharusnya bisa membentuk satgas dengan melibatkan sejumlah ormas atau lembaga terkait agar proses deradikalisasi dan kontraradikalisasi bisa efektif.
Pembentukan perpres
Sebelumnya, Jumat (25/5/2018), DPR telah menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). Saat ini, perlu pembentukan peraturan presiden (perpres) yang mengatur secara rinci terkait pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Ditektur Imparsial Al Araf menjelaskan, akuntabilitas pelibatan TNI harus jelas dengan menerapkan mekanisme peradilan umum.
”Hal ini bertujuan untuk mencegah pelanggaran HAM. Kita tidak tahu bagaimana sistem peradilannya jika nantinya TNI melakukan pelanggaran HAM dalam penanganan terorisme. Apakah melalui sistem peradilan umum atau peradilan militer?” ucapnya.
Menurut Al, sistem pelibatan TNI seharusnya hanya bersifat sementara dan baru diturunkan ketika eskalasi ancaman sudah memasuki darurat militer. Kemudian, dalam pelibatannya pun harus di bawah kendali operasi kepolisian dan harus berdasarkan operasi terpusat dari Presiden.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, dengan adanya UU baru ini, Polri bisa menetapkan seseorang menjadi terduga teroris dengan alat bukti yang cukup. Oleh sebab itu, kewenangan Polri menjadi diperkuat, tetapi berpotensi terjadi pelanggaran HAM.
”Dalam UU baru ini, rencananya DPR akan membentuk tim pengawas, tetapi sifatnya tidak independen. Perlu ada pengawas independen dari luar DPR agar akuntabilitas polisi bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Selain itu, menurut Hendardi, polisi harus membentuk prosedur standar operasi yang baru agar rakyat mampu memonitor kinerja pemberantasan teroris yang dilakukan.
”Setiap tindakan yang dilakukan polisi perlu dipertanggungjawabkan kepada rakyat, bentuknya bisa dengan buku putih operasi, misalnya,” ucapnya.