Saab, Kisah Kemandirian dan Keunikan Swedia
Jumlah penduduk Swedia sedikit, sekitar 10 juta jiwa. Wilayahnya (450.295 kilometer persegi) lebih kecil dari Sumatera (473.481 km persegi). Sumber daya alamnya tak banyak. Namun, yang menjadikan Swedia besar adalah kemauannya untuk mandiri lewat solusi dan teknologi unik. Kita dapat melihat hal tersebut dari perjalanan industri pesawat terbang negeri itu.
Gedung lima lantai berdinding batu di jantung Kota Stockholm itu punya pemandangan yang indah. Berdiri di tepi selat kecil dan di seberangnya terlihat bagian belakang Istana Kerajaan Swedia di Pulau Stadsholmen. Juga Gedung Parlemen di pulau yang lebih kecil, Helgeandsholmen. Musim panas sebentar lagi menjelang, tetapi suhu di dalam bangunan di Jalan Rosenbad 4 tersebut sudah terasa sedikit lebih panas.
Rabu, 9 Mei 2018, hari itu, sebuah kabar sampai ke telinga pejabat tertinggi di gedung tersebut, Stefan Lofven, Perdana Menteri Swedia. Agaknya, kabar tersebut itu tak bisa membuat lelaki setinggi 175 sentimeter tersebut menampilkan tipikal wajah ramahnya, bibir dan mata yang tersenyum lebar.
Brasil tetap akan melengkapi angkatan udaranya dengan paling sedikit 36 unit Gripen NG.
Kabar tersebut datang dari Pengadilan Distrik Stockholm. Hakim meminta Lofven hadir sebulan mendatang di pengadilan. Dia dijadikan sebagai saksi atas kasus korupsi di sebuah negeri, jauh di seberang Samudra Atlantik, Brasil. Sejumlah terdakwa dalam kasus tersebut adalah warga Brasil, termasuk mantan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva (2003-2011).
Meski Lofven sama sekali tak disangka melakukan kesalahan apapun, kasus di Negeri Samba tersebut sangat terkait erat dengan reputasi negeri itu: pembelian pesawat tempur tercanggih Swedia, Saab JAS 39 Gripen NG. Dua tahun silam, kejaksaan Brasil resmi mendakwa Lula sang mantan presiden menyalahgunakan pengaruhnya terhadap pemerintahan yang baru untuk memilih Gripen.
Gripen memenangi persaingan dalam tender yang juga diikuti pesawat tempur buatan Boeing, F-18 Super Hornet, dari AS; dan Rafale produksi Dassault Aviation Perancis.
Bagaimanapun, kasus tersebut sama sekali tak berpengaruh terhadap keputusan Brasil yang diambil pada 2015 tersebut. Brasil tetap akan melengkapi angkatan udaranya dengan paling sedikit 36 unit Gripen NG. Gripen NG yang kemudian diwujudkan dalam seri E merupakan varian lebih canggih dari seri sebelumnya, Gripen C/D.
Antara lain, seri baru ini punya tubuh yang sedikit lebih besar. Penciuman elektroniknya pun lebih tajam lewat kehadiran radar berteknologi AESA (Active Electronically Scanned Array). Radar canggih ini dapat memindai banyak sasaran di lokasi-lokasi yang berbeda karena cakram antenanya disusun dari banyak antena kecil—bukan antena tunggal yang besar seperti dalam generasi radar pulse doppler sebelumnya.
Dengan radar dimatikan agar tak dapat dijejak lawan, Seri E juga masih tetap dapat memindai keberadaan musuh berkat sistem elektro optik berbasis cahaya infra merah IRST (infra-red search and track) yang ditanam di bagian atas moncong pesawat.
Telah mengglobal
Dari sudut pandang yang lain, kasus hukum domestik di Brasil itu seolah menegaskan bahwa kehadiran pesawat tempur produksi Swedia telah mengglobal. Swedia telah memasuki babak baru dalam industri pesawat militernya.
Pesawat tempur Swedia tidak lagi hanya melulu untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dalam negeri seperti sebelumnya—dan paling-paling , digunakan segelintir negeri tetangga.
Gripen yang pengembangan awalnya dimulai pada 1980—produk operasional mengudara sejak akhir 1997—memang baru “laku” di beberapa negara. Namun, inilah pesawat tempur Swedia yang mengangkasa di empat benua.
Ini terobosan besar bagi Swedia yang ekspor pesawat tempurnya di kawasan ini selalu kalah dari sesama produsen Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis.
Di Eropa, dua negara eks kubu Pakta Warsawa yang kini memperkuat Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO: Republik Ceko dan Hongaria telah menggunakan penempur tersebut. Sejumlah Gripen juga dibeli oleh Inggris sebagai platform jet supersonik maju di sekolah pilot pengujinya (Empire Test Pilots’ School).
Di Asia, Kerajaan Thailand adalah pengguna pertama Gripen dan satu-satunya hingga sejauh ini. Ini terobosan besar bagi Swedia yang ekspor pesawat tempurnya di kawasan ini selalu kalah dari sesama produsen Eropa Barat seperti Inggris dan Perancis.
Sukses di Thailand menjadi monumental karena sebelum-sebelumnya—pasca Perang Dunia II, Thailand adalah pengguna fanatik pesawat tempur pabrikan AS. Daftar pesawat tempur utama (air superiority) negeri yang selalu netral—tetapi cenderung merapat ke blok kekuatan yang besar—itu, antara lain Republic F-86 Thunderjet (1950-an hingga 1960-an), North American F-86 Sabre (1960-an sampai 1970-an) Northrop F-5 (dari seri A/B Freedom Fighter hingga seri E/F Tiger II, sejak 1970-an), dan General Dynamic F-16 Fighting Falcon sejak 1990-an
Di Afrika, Saab memasok Gripen yang juga bermakna singa bersayap elang (griffin) ke Afrika Selatan. Sukses ini menjadi tonggak kembalinya pesawat tempur Swedia di benua hitam sejak angkatan udara Etiopia membeli 16 pembom ringan bermesin baling-baling tunggal Saab 17A pada 1947.
Brasil adalah sukses bisnis yang lebih jauh lagi. Negeri itu diharapkan bakal menjadi basis penyebaran Gripen di bumi belahan Selatan, setidaknya di Amerika Latin. Pada hari yang sama dengan pengumuman dari Pengadilan Distrik Stockholm, situs resmi Saab merilis berita strategis.
Yaitu, pabrik pembuatan dan perakitan badan pesawat (aerostructure) Gripen NG telah siap beroperasi di Brasil. Pabrik yang dijalankan oleh Saab Aeronáutica Montagens (SAM) ini seluas 5.000 meter persegi, terletak di Kota Sao Bernardo do Campo, Negara Bagian Sao Paulo.
Sesuai kesepakatan, pabrik inilah yang nantinya merakit sebagian Gripen pesanan Brasil hingga jadi. Namun, tidak tertutup kemungkinan, pabrik di Sao Paulo itu menjadi pangkalan bagi ambisi Swedia untuk menjual hingga 120-an Gripen di kawasan Amerika Latin.
Bomber metal tercepat
Gripen memanglah produk pertama Swedia yang berada di baris terdepan pasar pesawat tempur canggih dunia. Pesawat yang memiliki kemampuan supercruise (mampu melesat dalam kecepatan supersonik dalam tempo relatif lama tanpa menggunakan afterburner), itu, saat ini bersaing memperebutkan pembeli dengan sejumlah penempur utama berteknologi canggih lainnya, seperti F/A-18 Super Hornet dari AS, Rafale dari Perancis dan Eurofighter Typhoon buatan konsorsium Eropa.
Meski demikian, sesungguhnya, kemampuan dan kualitas pesawat tempur Swedia tidak pernah tertinggal. Sesuai masanya, pesawat-pesawat tempur negeri itu selalu berada di baris terdepan penggunaan teknologi tercanggih.
Industri pesawat terbang Swedia lahir saat Eropa memanas pada 1930-an. Saat itu, pemerintah negeri di Semenanjung Skandinavia itu sadar, ketegangan terus menekan Eropa. Pemerintah fasis dan kelompok ultranasionalis menguat di Italia dan Jerman.
Uni Soviet pun terus mengganggu tetangga mungilnya, Finlandia, dengan menuntut beberapa pulau kecil di perbatasan. Perang besar diperkirakan bakal meledak.
Pemerintah ingin negerinya memiliki kekuatan udara yang memadai guna menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional.
Dalam situasi seperti itu, Swedia tetap ingin netral dan menjaga kedamaian negeri yang telah berlangsung lebih dari 100 tahun. Untuk itu, pemerintah ingin negerinya memiliki kekuatan udara yang memadai guna menegakkan kedaulatan dan keamanan nasional.
Sebuah industri pesawat terbang pun, Svenska Aeroplan Aktiebolaget (SAAB) didirikan pada 2 April 1937. Dua tahun kemudian, perusahaan ini mengakuisisi industri sejenis yang lebih dulu ada, ASJA, yang merupakan anak usaha industri kereta api Swedia dan telah berpengalaman membuat pesawat kecil.
Dalam lima tahun, Saab mampu memproduksi massal dua pesawat militer rancangan sendiri. Desain pertama Saab 17 dan 18. Saab 17 yang terbang perdana pada 1940 (sejak didesain dua tahun sebelumnya) adalah pesawat dengan dua awak dalam posisi tandem bermesin baling-baling tunggal yang diletakkan di moncong.
Dengan tiga versi mesin buatan AS (Pratt & Whitney), Inggris (Bristol), dan Italia (Piaggio), pesawat pengintai dan pembom tukik (dive bomber) ini terbukti bukanlah produk tergesa-gesa yang asal ada. Saab 17 mampu bertahan memperkuat angkatan udara Swedia hingga 1950-an. Selain itu, dua tahun setelah Perang Dunia II berakhir, 16 buah diantaranya diekspor ke Ethiopia.
Di tahun yang sama ketika desain Saab 17 dibuat, Swedia diberi izin lisensi membuat pesawat pembom Jeman Junkers Ju 86. Ini pesawat pembom dengan dua mesin baling-baling di sayap, dua roda utama yang dapat dilipat, punya ekor tegak ganda.
Agaknya, Swedia memilih pertimbangan teknologi di atas politik. Jerman, meski semakin dicurigai oleh banyak negara Eropa karena politik garis keras dan rasialis rejim Nazi Hitlernya, teknologi rancang bangun pesawatnya telah melompat lebih maju.
Pada era Perang Dunia I, konstruksi pesawat banyak menggunakan bahan kayu—balsa, spruce, atau kayu lapis—yang ringan, relatif kuat dan lentur, serta mudah dibentuk. Namun sejak 1930-an, militer semakin memerlukan pesawat yang lebih besar, mampu mengangkut beban lebih berat, mengusung mesin yang lebih bertenaga, dan terbang lebih cepat.
Disimpulkan, berbagai kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pesawat dengan konstruksi dan kulit berbahan logam. Jerman menjelang Perang Dunia II adalah negara yang paling menguasai teknologi pengolahan logam—termasuk aluminum alloy—sehingga paling menguasai rancang bangun pesawat dengan konstruksi yang sepenuhnya mengandalkan logam.
Berbeda dari Jerman, Inggris yang saat itu juga terdepan dalam bidang rancang bangun pesawat tak sepenuhnya bisa meninggakan budaya penggunaan kayu. Bahkan ketika perang akbar telah berkecamuk, banyak pesawat militer Inggris masih mengandalkan kayu untuk beberapa bagian rangkanya.
Bahkan, pembom-tempur ringan Inggris De Havilland Mosquito adalah contoh pesawat yang hampir seluruh konstruksinya bergantung pada kayu—dan kain di beberapa bagian kulit seperti kendali tegak atau rudder—tetapi sukses bertahan cukup lama setelah Perang Dunia II berakhir.
Ju 86 yang dipilih Swedia adalah bomber yang seluruhnya terbuat dari logam (all metal bomber). Tak lama merakit Junkers, Saab merancang sendiri pesawat pembomnya, Saab 18. Seperti JU 86, Saab 18 juga bermesin dua di sayap, ekor tegak (vertical stabilizer) ganda di ujung sirip horisontal. Persamaan penting lainnya, Saab mampu membuat pesawat yang seluruhnya berkonstruksi logam.
Hanya saja, Swedia tidak berhenti sebagai negara yang mampu mengejar, meniru, dan menyamai teknologi dirgantara negara lain. Negeri itu sanggup mengunggulinya.
Saab 18 seri B adalah bukti. Ditenagai mesin Daimler Benz buatan Jerman, Saab 18B tercatat sebagai all metal bomber tercepat di dunia pada masanya. Dengan kecepatan maksimal 570 kilometer per jam, Saab 18 jauh mengungguli JU 86 (360 km/jam). bahkan pembom legendaris Jerman Heinkel He 111 (435 km/jam) dan pembom andalan AS Boeing B 17 Flying Fortress (460 km/jam) yang menguasai langit Eropa di penghujung Perang Dunia II tetap kalah cepat.
Populasi, sumber daya alam, dan keuangan Swedia tidaklah sebanyak Jerman, Inggris, atau AS. Dengan kekayaan mereka, tiga negara penguasa teknologi kedirgantaraan yang terlibat perang dunia, itu, punya banyak industri penerbangan yang masing-masing fokus di satu bidang.
Di Jerman misalnya, Messerscmitt berfokus memproduksi pesawat tempur, Heinkel di pesawat pembom, dan Junkers di pesawat angkut. Begitu pula dengan AS (Boeing di pengebom, North American di pemburu) dan Inggris (Handley Page dan Avro di pengebom, Hawker dan Supermarine di pemburu).
Kreatif dan inovatif
Swedia tak punya kemewahan itu. Saab adalah satu-satunya industri yang harus mampu membuat semua macam pesawat militer. Dampak yang mengejutkan dari beban itu, Saab menjadi industri yang kreatif dan inovatif. Pada 1943, Saab merancang pesawat pemburu pertamanya, Saab 21.
Seperti umumnya pesawat pemburu masa itu, Saab 21 haruslah berukuran kecil dan bermesin tunggal. Perbedaannya, Saab memilih mesin pusher propeller, baling-baling yang menghadap ke belakang dengan arah gerak mendorong (push) pesawat.
Sesungguhnya, pusher propeller adalah penggerak pertama yang dimiliki pesawat terbang. Pesawat terbang bermesin pertama yang dibuat oleh Orville dan Wilbur Wright pada 1903 menggunakan penggerak seperti itu.
Sejak sekitaran masa Perang Dunia I, mesin pusher propeller juga cukup populer digunakan. Namun, penggunanya terbatas pada pesawat amfibi.
Umumnya, mesin pusher propeller berada dalam sebuah gondola yang dipasang tinggi di atas tubuh pesawat (fuselage) seperti pesawat-pesawat amfibi produksi Savoia-Marchetti (Italia), Scan 20 (Perancis, 1941), dan Kawasaki Army Type 87 (Jepang, 1931. Menggunakan sekaligus pusher dan puller propeller). Bagi pesawat amfibi, baling-baling menghadap ke belakang memiliki keuntungan karena terhindar dari cipratan air secara langsung.
Namun, penggerak ini tak populer dalam desain pesawat jenis lain. Pasalnya, pesawat berbasis darat era itu umumnya dirancang dengan dua roda utama di pangkal sayap dan satu di ekor yang membuat kapal terbang itu tampak mendongak saat bergerak di landasan.
Pusher propeller itu sistem penggerak yang rumit untuk diterapkan saat itu. Namun, Saab melihat kelebihannya.
Mesin pusher propeller di sayap hanya bikin masalah karena harus dipasang sangat tinggi—atau roda utama dibuat jauh lebih panjang—agar baling-baling tidak menghantam tanah saat dihidupkan.
Pusher propeller juga memerlukan sistem pendingin mesin yang baru. Dengan puller propeller (gaya yang dihasilkan menarik pesawat) yang baling-balingnya menghadap depan, panas mesin dibantu pendinginannya lewat aliran udara yang dihasilkan baling-baling.
Singkat kata, pusher propeller itu sistem penggerak yang rumit untuk diterapkan saat itu. Namun, Saab melihat kelebihannya. Penggerak jenis itu secara aerodinamis membuat fin (sirip tegak) dan sirip horisontal menjadi lebih stabil.
Dengan begitu, bagian itu dapat dibikin lebih kecil yang berdampak pada pengurangan berat. Artinya, tenaga yang diperlukan pun tak harus besar yang ujung-ujungnya membuat biaya operasi jadi lebih murah.
Pesawat pemburu bermesin tunggal konvensional mengisi ruang di moncong pesawat—depan kokpit—dengan mesin. Jika meriam atau kanon juga diletakkan di sana, moncong tersebut dijejali mesin, kanon, dan kotak peluru yang membuat jumlah peluru yang diangkut terbatas.
Belum lagi harus dipikirkan pemakaian mekanisme penembakan yang membuat peluru yang melesat tidak menabrak baling-baling. Untuk menghindari persoalan-persoalan tersebut, kanon ditempatkan di sayap. Namun ini berdampak pada berkurangnya luasan tangki bahan bakar di sayap.
Pusher propeller pada rancangan Saab 21—mesin dan baling-baling diletakkan di belakang kokpit pada fuselage—membuat ruang di moncong pesawat terbuka luas untuk menampung lebih dari satu kanon berbagai ukuran laras plus peluru dalam jumlah yang banyak.
Urusan sistem pendingin mesin agaknya bukan persoalan besar. Pesawat ini dirancang untuk kebutuhan Swedia, negeri di Eropa Utara yang temperaturnya selalu lebih dingin dibanding bagian Eropa lainnya.
Persoalan batas putaran baling-baling dari tanah (ground clearance) saat bergerak di landasan diatasi dengan menggunakan roda depan, bukan di ekor pesawat. Adapun solusi ground clearance saat pesawat membentuk sudut terhadap permukaan untuk mengangkasa dan mendarat dengan menerapkan desain double tail boom.
Ruang di moncong pesawat terbuka luas untuk menampung lebih dari satu kanon berbagai ukuran laras plus peluru dalam jumlah yang banyak.
Double boom, pipa panjang yang menghubungkan sayap dengan bagian ekor sesungguhnya merupakan desain yang sudah ada di dasawarsa pertama kehadiran pesawat bermesin. Desain itu lumrah karena saat itu pesawat belum lazim memiliki fuselage dan tempat pilot duduk berada di tengah sayap.
Pada generasi pesawat di sekitaran era Perang Dunia II, rancangan double boom terutama digunakan untuk mengakomodasi penggunaan mesin bertenaga besar. Karena saat itu mesin pesawat masih memakai mesin piston berpembakaran internal seperti mesin mobil, banyak silinder diperlukan untuk menghasilkan tenaga yang besar.
Selain itu, tak semua pesawat menggunakan mesin model terbaru yang susunan silindernya melingkari batang baling-baling (radial engine). Maka, double tail boom menjadi jalan keluar. Selongsong bagian depannya bisa menjadi rumah bagi mesin dengan dimensi panjang karena masih menerapkan teknologi silinder linier (in line cylinders).
Singkat cerita, Saab 21 masuk dalam jejeran pelopor dalam sejarah. Inilah pesawat tempur pusher propeller pertama dan satu-satunya yang diproduksi massal dalam sejarah. Dalam tempo dua tahun sejak didesain, pesawat ini telah masuk dalam tahap produksi pada 1945.
Inggris mencoba menerapkan desain yang sama pada Heston A2/45. Dirancang pada 1945 dan terbang perdana 1947, pesawat ini terhenti pada tahap prototipe dan tak pernah masuk ke tahap produksi.
Saab 21 sekaligus tercatat sebagai pelopor penerapan pusher propeller di era pesawat modern. Piaggio yang kita kenal karena produk skuternya, adalah produsen pesawat yang setia mengembangkan pesawat pusher propeller sejak 1976 (P. 166) hingga kini dengan seri Avanti.
Produsen pesawat kecil AS, Rutan, juga setia mengembangkan pesawat berbaling-baling menghadap belakang. Namun pesawat-pesawat Rutan dan Piaggio masuk dalam jenis pesawat penumpang, bukan pemburu.
Baling-baling yang tepat berada di belakang kokpit tidak memungkinkan pilot keluar dan melompat untuk terjun dengan parasut (bailout) dalam keadaan darurat. Masalah ini justru membuat Saab kembali menjadi yang terdepan. Saab 21 pun menjadi pesawat kedua dalam sejarah yang dilengkapi kursi lontar setelah Heinkel He 219 Uhu, Jerman (operasional 1943).
Saab 21 juga pesawat pemburu operasional kedua—di era modern--yang memakai double boom setelah Lockheed P 38 Lightning yang bermesin dua. Indonesia pernah akrab dengan pesawat berdesain seperti ini ketika TNI AU memiliki pesawat serang darat dan intai Rockwell OV 10 Bronco (1976-2011).
Ketika angkatan udara mulai berpaling pada mesin jet, Swedia tak perlu tergesa-gesa merancang pesawat baru. Desain Saab 21 sudah cocok dengan itu. Mesin propeler lisensi dari Daimler Benz-nya dicopot, diganti dengan turbojet De Havilland Goblin, dan fuselage sedikit modifikasi untuk lubang masuk udara bagi mesin jet, jadilah varian Saab 21R pada Maret 1947.
Dengan pesawat tersebut, Swedia menjadi negara ketiga di dunia—tidak termasuk Jerman Nazi—yang angkatan udaranya dilengkapi armada pesawat jet. Swedia hanya kalah dari AS yang lebih dulu memiliki pemburu Lokheed P 80 Shooting Star (operasional Oktober 1944) dan Inggris.
Inggris adalah negeri kedua setelah Jerman yang punya pesawat tempur Jet dengan Gloster Meteor (operasional Juli 1944). Namun dibanding jet pemburu kedua Inggris de Havilland Vampire yang juga berkonvigurasi doube boom, Saab 21R hanya lebih muda setahun.
Tak tertinggal di subsonik
Mesin jet yang hadir di era 1940-an menawarkan tenaga yang lebih besar dan menjanjikan pesawat yang melesat lebih cepat. Para insinyur dan industri penerbangan—terutama militer—pun berlomba membuat pesawat yang kecepatannya mendekati kecepatan suara atau subsonik.
Jika kecepatan suara sekitar 1.200 kilometer per jam—disimbolkan sebagai Mach 1, pesawat subsonik punya kecepatan kurang dari itu.
Hanya saja, para ilmuwan dan insinyur terbentur dengan persoalan besar. Di laboratorium, desain yang sudah ada—dengan sayap lurus, straight wing--bakal membuat pesawat meluncur jatuh atau sayap hancur berantakan ketika aliran udara dipaksa mendekati kecepatan subsonik.
Akhirnya mereka menemukan jawaban. Sayap yang semula lurus membentuk sudut 90 derajat terhadap panjang fuselage—jika dilihat dari atas--diserongkan ke belakang menjadi sayap sayung atau swept wing.
Sayap sayung membagi aliran udara di atas airfoil. Sebagian tetap chordwise flow, dari depan ke belakang. Sebagian lainnya menyusuri bagian depan sayap (leading edge) ke ujung luar. Alhasil, tekanan pada airfoil pun berkurang meski pesawat dipacu mendekati subsonik.
Negara-negara maju pemenang Perang Dunia II pun berpacu membangun pesawat bersayap sayung. Namun hanya tiga yang berhasil menjadi yang pertama menjadikannya sebagai pesawat tempur operasional. Mereka adalah AS sebagai pemenang pertama, Uni Soviet sebagai runner up, dan Swedia yang berdiri di podium medali perunggu.
AS sukses menjadi pemenang lewat pemburu North American F-86 Sabre. Pesawat ini terbang perdana (pada tahap purwarupa) pada 4 Oktober 1947 dan mulai operasional penuh pada 20 Mei 1948.
Uni Soviet tertinggal dalam hitungan bulan. Prototipe pesawat swept wing pertamanya, MiG-15 terbang perdana 30 Desember 1947. Adapun pesawat skala produksi mulai beroperasi di awal 1948, tak jauh berbeda dari rivalnya, F-86 Sabre.
Bentuk kedua penempur itu pun mirip. Fuselage seperti cerutu dengan air intake di depan membuat moncong pesawat terpapas rata tanpa hidung.
Swedia hadir dalam kompetisi pesawat subsonik lewat Saab 29 yang purwarupanya terbang pertama kali pada 1 September 1948. Meski produksi operasional mundur jauh hingga 1950, Swedia tetaplah menjadi negara di Eropa Barat yang memiliki pesawat pemburu berteknologi sayap sayung. Swedia mengalahkan Inggris dan Perancis yang juga jagoan teknologi pesawat terbang.
Dibanding Sabre dan Fagot (julukan MiG-15 oleh AS), bentuk Saab 29 paling aneh. Fuselage-nya bulat tambun dengan bagian ekor lebih panjang dari lubang pancar gas. Tak heran pesawat pemburu ini dijuluki gentong terbang, thunnan.
Meski demikian, kinerja Tunnan tidaklah kalah. Kecepatan maksimalnya 1.060 kilometer perjam, kalah tipis dari Fagot yang 1.075 km/jam dan Sabre (seri F) yang 1.105 km/jam. Namun, untuk urusan jarak jelajah Tunnan-lah pemenangnya. Radius jelajah Thunnan sejauh 2.700 km, sementara Sabre 1.485 km dan Fagot 1.860 km.
Sayap unik di supersonik
Kecepatan subsonik tak lagi mencukupi bagi pesawat pemburu utama (air superiority), maka negara-negara maju berpacu menciptakan petempur berkecepatan supersonik sejak paruh akhir 1950-an. Sayap sayung tak lagi memadai dan desain baru pun diraih, yaitu sayap delta.
AS mengandalkan pesawat-pesawat produksi Convair, F-102 Delta Dagger (1956) dan F-106 Delta Dart (1959). Uni Soviet tak mau ketinggalan, membuat MiG-21 Fishbed yang purwarupanya terbang perdana pada 1955.
Pada era itu pula Swedia menginginkan kehadiran pesawat pencegat (interceptor) supersonik yang jika perlu, mampu tinggal landas dan mendarat di jalan raya yang panjangnya lebih pendek dari landas pacu pangkalan udara. Persoalannya, pesawat bersayap delta memerlukan landasan yang panjang untuk mengangkasa dan mendarat.
Selain itu, pesawat bersayap delta punya karakter tidak stabil dalam kecepatan rendah. Uni Soviet mengakalinya dengan tetap memasang sirip (horizontal stabilizer) di ekor meski hal itu menjadikan luas sayap deltanya menjadi lebih kecil yang mengorbankan kemampuan laju menanjak (climbing rate) .
Swedia dengan Saab 35 Draken (Naga) punya jalan keluar yang unik: merancang sayap delta ganda, double delta. Sayap model ini menjadikan air intake sebagai bagian dari sayap delta. Di seperempat bagian terakhirnya, muncul sayap delta kecil sebagai perpanjangan sayap delta yang lebih besar.
Tercatat, Draken lebih dulu lahir dibandingkan pemburu bersayap delta legendaris asal Perancis, Dassault Mirage III. Purwarupa Draken terbang perdana 25 Oktober 1955 dan memasuki pengabdian di angkatan udara Swedia sejak Maret 1960. Prototipe Mirage III yang bersayap delta murni terbang pertama kali pada akhir 1956 dan memasuki fase operasional di tahun 1960.
Kecepatan maksimal Draken (2.125 km/jam) memang masih kalah dibandingkan Fishbed (2.230 km/jam; Mach 2,1), Mirage III (2.350 km/jam), dan Delta Dart (2.395 km/jam).
Namun, sayap delta gandanya memungkinkan Draken mengusung persenjataan yang lebih banyak, tetap stabil di kecepatan rendah, dan yang terpenting tak memerlukan landasan pacu teramat panjang. Yang terpenting, sayap delta ganda adalah teknologi unik yang dilahirkan oleh Swedia.
Beberapa tahun kemudian, Swedia kembali merancang pesawat baru untuk tugas utama serang darat—meski yang dihasilkan adalah petempur banyak peran: serang darat, pemburu, dan pengintai segala cuaca. Maka dibuatlah Saab 37 Viggen (Guntur) yang prototipenya terbang perdana pada 1967.
Pesawat ini masih menggunakan sayap delta. Namun untuk menjaga kestabilan dalam kecepatan rendah, Saab tak lagi menggunakan solusi double delta, melainkan sayap kecil di bagian depan pesawat yang dikenal dengan canard.
Viggen bukanlah pesawat pertama yang menggunakan canard. Pembom raksasa AS bersayap delta North American XB-70 Valkyrie yang purwarupanya terbang pertama kali pada 1964 lebih dulu mengadopsi canard. Namun seperti pusher propeller pada Saab 21 dan double delta Draken, Viggen-lah pesawat tempur ber-canard pertama yang melewati masa uji coba dan diproduksi massal.
Selain itu, canard pada Viggen terbukti tak cuma menstabilkan pesawat di kecepatan rendah dan membuatnya mampu mengangkasa dari landasan yang relatif pendek. Canard itu membuat Viggen punya kemampuan manuver tempur yang prima.
Dapat dikatakan, Swedia dengan Saab 37-nya merupakan pelopor penggunaan canard pada pesawat pemburu utama. Kini, banyak pesawat jenis itu juga mengadopsi canard seperti Eurofighter, Rafale, sebagian varian Sukhoi 27, dan tentu saja produksi terbaru Saab sendiri, Gripen.
Kemandirian dan keunikan
Perjalanan industri pesawat terbang Saab merupakan gambaran gamblang bahwa Swedia adalah bangsa yang mati-matian menjaga harga diri dan kedaulatannya lewat kemandirian.
Tidak berhenti di sana, kemandirian haruslah ditopang dengan solusi unik milik sendiri, tidak sekadar mengambil dari yang sudah ada, sesuatu yang telah diciptakan oleh bangsa lain. Punya cara berbeda tampaknya telah lama meresap di hati bangsa itu.
Di abad penjelajahan (age of exploration) yang merentang sejak abad ke-15 hingga abad ke-17 misalnya, Swedia terbilang tertinggal. Kemampuannya membangun kapal layar tiang tinggi jauh didahului oleh Portugal, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Belanda.
Namun ketika akhirnya Swedia mampu mengikuti jejak negara-negara penjelajah—kemudian menjadi penjajah—tersebut, kapal layar Swedia tak sepenuhnya sama. Roda kemudi kapal layar Swedia tak terletak di geladak atas (royal deck) pada buritan seperti yang lain. Kemudi kapal Swedia diletakkan di bagian belakang geladak utama.
Hal itu memang membuat pandangan juru mudi tak luas. Namun, posisi kemudi di kapal Swedia membuat juru mudi lebih terlindung dari terpaan terik, hujan, dan badai. Keuntungannya, kapal tetap masih dapat dikendalikan dengan baik ketika cuaca samudra memburuk.
Hingga kini pun semangat kemandirian—lewat solusi unik—tak luntur. Sekarang, fokus bangsa itu antara lain pada kemandirian dan keamanan energi, energy security. Swedia jelas tak ingin posisinya jauh melemah ketika bahan-bahan bakar fosil kian langka dan tak lagi mudah dibeli.
Saat mengunjungi negeri itu tujuh tahun silam, terlihat segala upaya dilakukan. Mulai dari menggunakan gas metan dari kotoran manusia sebagai campuran bahan bakar kendaraan, sampah sebagai bahan bakar penggerak sumber daya listrik, menggunakan lampu LED yang amat hemat listrik untuk seluruh gedung pencakar langit, bahkan memanfaatkan panas bebatuan di balik tanah sebagai penghangat ruangan. Semua itu dijalankan dalam skala komunitas hingga kota.
Jadilah yang pertama. Jika tidak bisa, jadilah yang terbaik. Jika tak juga bisa, jadilah yang berbeda. To be the first, the best, or to be different.
Amerika Serikat adalah bangsa yang sangat bangga dengan semboyan “American can do”. Itu ditanamkan sejak kecil lewat pendidikan yang mendorong setiap anak untuk memiliki mimpi, bahkan yang paling muskil sekalipun.
Berbeda dari AS, Swedia agaknya adalah bangsa yang sangat menggenggam prinsip: jadilah yang pertama. Jika tidak bisa, jadilah yang terbaik. Jika tak juga bisa, jadilah yang berbeda. To be the first, the best, or to be different.
Penduduk Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan Swedia, wilayahnya jauh lebih luas, dan sumber daya alamnya jauh lebih kaya. Kita punya potensi untuk menjadi bangsa yang lebih besar, maju, unik, dan mandiri dibanding Swedia.
Agaknya, semua itu dapat dimulai dengan mengubah kehidupan politik kita: dari adu bicara yang ujung-ujungnya mengejar kekuasaan, menjadi adu gagasan yang mendorong setiap orang untuk berkarya.
Referensi:
- Jane’s Encyclopedia of Aviation, Michael J.H. Taylor (ed), Grolier
- Aviation Factfile: Military Aircraft of The Cold War, Jim Winchester (Gen. Ed), Amber Books, 2006
- The Complete Book of Fighter, william Green and Gordon Swonborough, Greenwich Edition, 2004
- www.saabgroup.com