Budaya Berburu dan Meramu Masyarakat Punan di Ambang Akhir
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
MALINAU, KOMPAS — Kebudayaan berburu dan meramu masyarakat Punan di Kalimantan semakin hilang. Pola konsumsi mereka pun berubah dari sagu ke beras. Perubahan ini berpengaruh terhadap kesehatan mereka.
Perubahan pola hidup terutama dialami masyarakat Punan yang tinggal di Desa Respen Tubu, Kecamatan Malinau Utara, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. “Kami dulu tinggal di sekitar Sungai Tubu dan dipindahkan pemerintah kemari sejak tahun 1970-an. Sejak itu perubahan besar terjadi,” kata Kepala Desa Respen Tubu Doleh Ucan, Sabtu (26/5/2018).
Nama Desa Respen Tubu, menurut Doleh, merupakan singkatan dari program “Resetelmen Penduduk”, yang digagas oleh pemerintah Orde Baru. Desa ini hanya sekitar setengah jam dari pusat Kota Malinau.
“Dari aspek pendidikan kami menjadi lebih baik, namun dari aspek lain terjadi kemunduran. Sebagian besar warga kami sekarang tergolong miskin karena tidak punya lahan. Tanah yang diberikan pemerintah ketika awal pindah kemari saat ini digugat oleh masyarakat Dayak lain,” kata dia.
Selain itu, tambah Doleh, dari aspek kesehatan muncul berbagai jenis penyakit, terutama diabetes dan tekanan darah tinggi. “Penyakit-penyakit itu sekarang jadi keluhan utama masyarakat,” kata dia.
Dari aspek pendidikan kami menjadi lebih baik, namun dari aspek lain terjadi kemunduran. Sebagian besar warga kami sekarang tergolong miskin karena tidak punya lahan. Dari aspek kesehatan muncul berbagai jenis penyakit, terutama diabetes dan tekanan darah tinggi.
Kepala Lembaga Adat Besar Punan Kalimantan Utara Thomas Mita mengatakan, ketika masih tinggal di Tubu, mereka sehari-hari masih mengonsumsi sagu. “Saat ini sebagian orang masih sesekali makan sagu, tapi umumnya sudah beras,” kata dia.
Menurut Thomas, sebagian besar Punan saat ini sudah menetap, seperti juga dialami Punan Aput di pedalaman Long Sule dengan mengandalkan hidup dari bercocok tanam padi ladang dan singkong. “Memang masih ada Punan Batu yang hidup berpindah di gua-gua di pedalaman Kabupaten Bulungan, tetapi jumlahnya tinggal sedikit,” kata dia.
Dari pantauan Kompas, masyarakat Punan Aput di Long Sule, yang berada di tengah belantara dan hanya bisa diakses dengan pesawat perintis, telah mengalami transisi antara berburu dan bercocok tanam. Untuk kebutuhan karbohidrat, mereka mengandalkan dari beras ladang. Namun untuk protein didapatkan dari hewan buruan di hutan dan ikan sungai. Sedangkan kebutuhan ekonomi diperoleh dari mencari kayu gaharu dan mendulang emas.
Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo Supolo mengatakan, penyakit diabetes maupun tekanan darah tinggi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat. “Penyakit diabetes dan hipertensi merupakan penyakit gaya hidup. Perubahan pangan dari sagu ke beras menjadi salah satunya,” kata dia.
Perubahan pola konsumsi masyarakat Punan ini termasuk yang diteliti tim Lembaga Eijkman selama di Kalimantan Timur. “Selain untuk mengetahui asal-usul, penelitian kami kali ini juga untuk mengetahui perubahan pola hidup masyarakat dan lingkungan terhadap kesehatan,” kata dia.
Pola konsumsi
Perubahan pola makan, menurut Herawati, juga akan mengubah mikroorganisme baik di dalam saluran pencernaan manusia. Penelitian yang dilakukan tim Eijkman di populasi Denpasar, Bali, ditemukan bahwa orang gemuk memiliki keragaman mikrobioma saluran pencernaan yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang kurus. Berubahnya makanan pokok, misalnya dari sagu dan ubi menjadi nasi dapat menyebabkan turunnya keragaman mikrobioma yang membantu menjaga kesehatan manusia.
Sejumlah kajian telah membuktikan bahwa pola konsumsi masyarakat pemburu dan peramu pada umumnya lebih sehat dibandingkan pola hidup masyarakat modern. Beberapa jenis penyakit, termasuk kanker, juga diketahui semakin berkembang di era saat ini.
Sejumlah kajian telah membuktikan bahwa pola konsumsi masyarakat pemburu dan peramu pada umumnya lebih sehat dibandingkan pola hidup masyarakat modern.
Kajian Dounias E (2007) misalnya menemukan, kunci diet sehat masyarakat pemburu dan peramu adalah karena makanan mereka tinggi protein, kaya serat, serta minim garam, gula, dan susu. Selain itu, budaya berburu membuat aktivitas fisik mereka menjadi sangat tinggi.
Antropolog yang juga Direktur Complexity Institute Nanyang Technological University, Singapura, John Stephen Lansing, mengatakan, saat ini merupakan momen terakhir untuk belajar dari masyarakat Punan. “Selama ini studi tentang masyarakat pemburu dan peramu lebih banyak dilakukan di Afrika, di Asia Tenggara, terutama di Kalimantan masih kurang,” kata dia.
Padahal, dari pengamatannya, masyarakat pemburu dan peramu di Kalimantan memiliki keunikan karena beradaptasi dengan lingkungan hutan hujan tropis yang berbeda. Namun, mereka juga menunjukkan kemiripan dengan budaya pemburu dan peramu di Afrika.
“Masyarakat Punan di Long Sule misalnya, masih membagi hasil buruannya ke saudara dan tetangga. Membagi hasil buruan merupakan kunci sukses masyarakat pemburu dan peramu. Namun, tradisi ini saat ini semakin tergeser dengan pola hidup makin individualistik,” kata dia.