Sudah menjadi pemandangan biasa jika perkampungan kumuh menjadi wajah lain Jakarta. Wajah lain kota metropolitan dengan gedung-gedung pencakar langit, jalanan mulus, trotoar yang lega, taman-taman hijau berbunga, dan kemacetan lalu lintas, serta gemerlap Jakarta sering kali disebut lipstik Ibu Kota. Perkampungan kumuh kontras dengan gedung-gedung tinggi di latar belakangnya.
Kampung-kampung tersebut dengan mudah ditemui di sejumlah kawasan Jakarta. Permukiman dengan kondisi ini memiliki kekhasan dengan kondisi bangunan yang tidak layak huni, padat, dan umumnya dihuni oleh mereka yang berpenghasilan rendah (miskin). Tempat tinggal sumpek, berderet saling menempel, dan jika kita memasuki kawasan permukiman seperti itu akan terasa bau khas karena pengapnya udara dan buruknya aerasi di sekitarnya. Belum lagi got-got yang sering kali tidak mengalir dan jorok menambah rendahnya tingkat sanitasi setempat. Akses keluar masuk permukiman lebih mirip lorong-lorong sempit atau labirin.
Di Jakarta permukiman-permukiman kumuh seperti ini berada di mana-mana. Penduduk miskin atau yang terpinggirkan dari gemerlapnya Ibu Kota bisa menjadikan bantaran sungai, bawah jembatan, atau lahan yang dibiarkan menganggur menjadi tempat tinggal mereka. Beberapa ”rumah” mereka dibangun dengan bahan-bahan bekas—dari kardus, tripleks bekas, sampai bahan bekas baliho. Lahan-lahan kosong yang lama dibiarkan menjadi tempat permukiman mereka. Saat lahan kosong tersebut akan diambil alih, ”penertiban” pun bukan hal mudah dan menjadi masalah tersendiri.
Persoalan permukiman kumuh di Jakarta bukan hal baru. Ali Sadikin alias Bang Ali, Gubernur DKI Jakarta yang legendaris, pada 1969 sudah menggulirkan proyek Mohammad Husni Thamrin (MHT) yang terkenal itu. Bahkan pula disebutkan, jika proyek MHT tersebut mengacu pada program kolonial Belanda, yaitu apa yang disebut kampoengverbetering di Batavia pada 1934.
Saat proyek tersebut diselenggarakan, 60 persen atau sekitar 3 juta jiwa dan 4,8 juta penduduk Indonesia hidup di permukiman kumuh. Keberhasilan proyek MHT yang meliputi berbagai perbaikan sarana dan prasarana permukiman kumuh itu bahkan mengangkat nama baik Jakarta dan Indonesia saat itu.
Pada awalnya, proyek MHT pada 1969 dilaksanakan di Kelurahan Rawa Badak, Jakarta Utara; Menteng Wadas, Jakarta Selatan; Kemayoran Kecil, Jakarta Pusat; dan Kayu Manis, Jakarta Timur. Pada 1980, proyek MHT meraih penghargaan dari Yayasan Aga Khan. Proyek MHT tersebut terus berkembang, termasuk apa yang kemudian dikenal dengan nama kampung improvement program/Project Muhammad Husni Thamrin (KIP/MHT).
Namun, 49 tahun kemudian, Jakarta tidak juga ”bersih” dari permukiman kumuh. Arus urbanisasi dan sulitnya lapangan pekerjaan menjadikan Jakarta tetap menjadi daerah tujuan bagi para pengadu nasib. Julukan Jakarta sebagai ”kampung besar” (big village) sejak puluhan tahun lalu masih disematkan sampai sekarang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun Kamis (24/5) lalu menyatakan akan mewujudkan janji kampanyenya untuk menata kampung di Jakarta. Menurut Anies, penataan kampung yang akan ditanganinya akan mengubah konsep yang dilakukan Pemrov DKI sebelumnya. Pemprov bertujuan menata kampung dengan adil dan baik (Kompas, 25/5).
Salah satu yang digarap pemerintahan Anies adalah Kampung Akuarium, Penjaringan, di Jakarta Utara. Perkampungan tersebut dibongkar oleh gubernur sebelumnya, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan alasan penertiban karena bangunan didirikan ilegal di atas lahan PD Pasar Jaya. Saat itu Ahok merencanakan di atas lahan tersebut akan dibangun cagar budaya.
Penduduk Kampung Akuarium yang saat Pilkada DKI memenangkan suara Anies tersebut kini diberi fasilitas penampungan sementara, diberi kartu penduduk dan kartu keluarga dan sebagainya.
Seperti dikatakan Anies, penataan kampung di eranya memang berbeda dengan era gubernur sebelumnya, termasuk era Bang Ali.