Koboi Itu Ingin Angon Kambing...
”Saya sudah selesai dengan diri sendiri,” kata lelaki berkacamata tebal itu. Sayup-sayup dari pemutar musik di ruang kerjanya terdengar alunan musik country, seperti yang biasa dijumpai di film-film koboi. ”Alangkah damainya hidup ini kalau saya bisa pulang angon kambing,” ujarnya terkekeh.
- Pesan buku Alkostar, Sebuah Biografi di Gerai Kompas
Lelaki itu, Artidjo Alkostar, memiliki mimpi sederhana seusai pensiun. Tepat 22 Mei lalu, Artidjo memasuki masa purnatugas sebagai hakim agung. Per 1 Juni nanti, hakim kelahiran Situbondo, Jawa Timur, itu tidak lagi memeriksa perkara.
Banyak pihak menduga, momen ini akan dimanfaatkan sejumlah orang yang telah divonis berat oleh Artidjo untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Bagi yang mau mengajukan kasasi, momen ini juga ditunggu-tunggu karena perkara mereka bisa terhindar dari palu Artidjo.
Sepekan sebelumnya, beberapa orang mulai bertanya, ”Kapan Artidjo pensiun? Ini kebetulan ada teman mau mengajukan berkas ke MA.” Lalu, ada pula yang ingin mengonfirmasi, ”Artidjo sudah pensiun, ya?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggelitik karena seolah-olah orang menunggu Artidjo pensiun dulu baru berani mengajukan berkas perkara ke MA.
Sejak bertugas sebagai hakim agung dari jalur nonkarier tahun 2000, Artidjo dikenal tak kenal ampun saat menangani perkara korupsi. Berkas orang-orang besar dalam dunia perpolitikan pun jatuh ke tangannya. Sebut saja, antara lain, bekas Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum, bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, bekas politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh, dan advokat senior OC Kaligis. Di tangan Artidjo, hukuman mereka diperberat di tingkat kasasi. Namun, keringanan hukuman diperoleh Angelina dan Kaligis setelah mengajukan PK.
Nama Artidjo juga pernah disalahgunakan untuk menakut-nakuti pencari keadilan. Gara-gara takut Artidjo, seorang pengusaha dari Sidoarjo, Jatim, Ichsan Suaidi, misalnya, menyuap mantan pegawai MA, Andri Tristianto Sutrisna, sebesar Rp 400 juta. Di dalam persidangan terungkap, Andri mengaku bisa mengatur komposisi hakim yang akan memeriksa perkara. Ia menjanjikan kepada Ichsan, Artidjo bukan hakim yang akan memeriksa perkaranya.
Menanggapi itu semua, Artidjo hanya tertawa. Perkara yang masuk ke MA, apakah nantinya bertambah banyak di tingkat kasasi dan PK setelah dirinya pensiun, bukan menjadi hal yang dirisaukannya.
”Barang kali banyak (atau tidak), itu sudah bukan kewenangan saya. Dan itu di luar pemikiran saya. Saya hanya ingin ke Situbondo memelihara kambing. Kedua, saya bisa ke Yogya karena saya mengajar S-2 di UII (Universitas Islam Indonesia). Lalu ke Sumenep, saya ada rumah makan atau kafe. Namanya Madurama,” ucapnya. Sumenep adalah tanah kelahiran orangtuanya.
Ancaman
Pilihannya pulang ke kampung halaman dan memelihara kambing jauh dari kiprahnya selama 42 tahun bergelut di bidang hukum. Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo menghabiskan 24 tahun di antaranya menjadi advokat. Ia merasa telah cukup mengalami banyak hal.
”Tugas saya sudah selesai. Saya sudah selesai dengan diri saya sendiri. (Orang) yang lain pengalamannya tidak akan sama dengan saya. Saat saya jadi advokat, banyak orang saya bela. Saat Romo Mangun akan digusur dari Kali Code, saya protes. Pernah juga saya di Timor Timur empat bulan dan akan dibunuh. Saya juga menangani pembelaan kasus pembunuh misterius atau penembakan gali kalau di Yogya,” urainya.
Ancaman kerap datang, mulai dari verbal, surat kaleng, sampai upaya pembunuhan. Ia juga kabarnya pernah disantet, tetapi tak mempan.
”Katanya ada yang mau menyantet saya dengan memakai foto, tetapi ternyata tidak bisa. Ha-ha-ha. Ini tukang santetnya masih kelas TK (taman kanak-kanak),” kenangnya.
Ancaman kerap datang, mulai dari verbal, surat kaleng, sampai upaya pembunuhan. Ia juga kabarnya pernah disantet, tetapi tak mempan.
Kebiasaan menjalankan okol, yakni tradisi meminta hujan dengan berkelahi di malam hari ketika terang bulan, pada masa kecilnya, ikut membentuk pribadinya. Ia sering kalah dan menang dalam adu okol itu dan itu membuatnya tidak gentar dengan ancaman apa pun. Lebih-lebih, Artidjo kecil seusai mengaji lalu belajar pencak silat, baik dengan tangan kosong maupun senjata tajam.
”Dulu ke mana-mana saya bawa celurit. Makanya kalau mengancam saya, itu keliru,” ujarnya tertawa.
Pengalaman yang paling berkesan ialah ketika menjadi salah satu hakim agung yang menangani perkara korupsi mantan Presiden Soeharto. Tekanan publik sangat tinggi, sedangkan di satu sisi Soeharto sakit sehingga tak bisa diadili. MA saat itu memutuskan meminta negara untuk merawat Soeharto
hingga sembuh baru kemudian diadili.
Pengalaman-pengalaman itu ternyata membuat Artidjo makin berani, bukannya surut. Satu per satu perkara korupsi ditangani dengan dingin. Sejumlah pihak menuduh Artidjo tidak membaca perkara atau asal menjatuhkan vonis, atau menghukum orang berdasarkan dendam, kebencian, dan kemarahan. Artidjo menampik itu semua. Bagi seorang hakim, argumentasi hukum yang kuat adalah landasannya.
Sejumlah pihak menuduh Artidjo tidak membaca perkara atau asal menjatuhkan vonis, atau menghukum orang berdasarkan dendam, kebencian, dan kemarahan. Artidjo menampik itu semua. Bagi seorang hakim, argumentasi hukum yang kuat adalah landasannya.
Sebagai Ketua Kamar Pidana MA, ia telah membuat fondasi bagi teguhnya sikap MA dalam pemberantasan korupsi. Sejumlah kesepakatan juga dibuat di kamar pidana, antara lain untuk mempertegas batasan hukuman untuk orang yang dikenai Pasal 2 atau Pasal 3 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artidjo ikut merumuskan Peraturan MA (Perma) tentang Pidana Korporasi. Dengan perma itu, korporasi bisa dijadikan tersangka dan pemiskinan koruptor bisa dilakukan dengan mempreteli aset perusahaannya.
Ia optimistis korupsi di Indonesia suatu saat akan bisa diatasi. Dengan catatan, penegak hukum diharapkan konsisten mewujudkan keadilan.
”Keadilan itu, kan, menyangkut korban. Korban (korupsi) itu masyarakat tidak berdosa. Mereka harus menanggung pendistribusian kekayaan negara yang tidak sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Negara kita ini, kan, kaya, tetapi di tengah jalan banyak dihambat oleh koruptor sehingga keadilan sosial yang dicita-citakan tidak tercapai,” urainya.
Entah apakah ini berkaitan atau tidak, tetapi Artidjo menggemari film-film koboi dan mendengarkan musik bergenre country ala koboi. Layaknya karakter para ”koboi”, mereka senantiasa rindu pulang ke kampung halaman seusai peperangan yang melelahkan. Dan ”koboi” satu ini pun ingin pulang kampung, memelihara kambing.
Kiprah Artidjo akan menjadi warisan berharga bagi perjalanan negeri ini. Komitmennya dalam pemberantasan korupsi diharapkan terus dijaga oleh hakim-hakim generasi berikutnya.