Menggugat Pemberitaan Terorisme
Almarhum Perdana Menteri Inggris Margaret Thacher dalam pidatonya di hadapan American Bar Association di Albert Hall, South Kensington, London, 15 Juli 1985, mengajak siapapun untuk membatasi teroris dari embusan "oksigen" publikasi.
Lebih dari tiga dasawarsa lampau, aksi-aksi terorisme di Eropa selalu mendominasi kolom-kolom surat kabar dan layar televisi dunia. Peliputan media secara natural menciptakan gelombang simpati bagi para korban sekaligus ketakutan yang meluas. Di sinilah, tujuan teror itu tercapai.
"Kekerasan dan kekejaman membutuhkan perhatian. Kita tidak harus bermain di tangan mereka,"ujar Perdana Menteri Inggris 1979-1990 Margaret Thacher waktu itu.
Perdana Menteri Inggris yang dijuluki "wanita besi" itu menilai, media sangat berperan besar dalam memublikasikan aksi-aksi terorisme. Teroris berkembang dalam amplifikasi pemberitaan media. Tanpa hal itu, aktivitas dan pengaruh mereka sangat terbatas.
Dalam kurun waktu 15 tahun sejak 1970 hingga 1985, sebanyak 2.500 warga Inggris tewas akibat aksi terorisme. Teroris sengaja menggunakan kekerasan karena mereka tidak akan pernah mendapatkan jalannya dengan cara-cara demokratis.
Menebar ketakutan
Ledakan bom secara beruntun yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo, 13-14 Mei 2018, juga mengundang pemberitaan media secara masif melalui berbagai platform media, baik cetak, daring, televisi, hingga radio. Begitu teroris meledakkan bom di sebuah gereja di Surabaya, media-media arus utama, khususnya media daring dan televisi langsung mengunggah begitu saja video-video dan foto-foto yang diambil dari media sosial dan mengundang pengamat untuk berkomentar.
Pertanyaannya, apakah video-video dan foto-foto dari media sosial itu bisa langsung ditayangkan atau tidak tanpa direkam, tanpa diedit dan sebagainya? Padahal, di sana ada video dan foto-foto jenazah tersangka maupun korban. Sesuai Kode Etik Jurnalistik, gambar-gambar sadis seharusnya diblur atau sama sekali tidak ditayangkan.
"Media harus memainkan peran penting, jangan membuat berita apa adanya yang justru menyampaikan pesan-pesan terorisme," kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley pekan lalu.
Media harus memainkan peran penting, jangan membuat berita apa adanya yang justru menyampaikan pesan-pesan terorisme.
Dan benar, pesan terorisme itu tersebar luas. Sehari setelah bom meledak di tiga gereja di Surabaya, Walikota Surabaya Tri Rismaharini langsung menginstruksikan agar semua SD dan SMP di Surabaya diliburkan.
Begitu keluarga terduga pelaku pengeboman terkuak identitasnya, media juga langsung menyiarkan foto-foto keluarga tersebut secara utuh. Padahal, di dalam foto itu terdapat tiga anak yang usianya belum dewasa.
Anak-anak itu masih sekolah dan mempunyai teman-teman bermain. Bagaimana dengan teman-teman mereka, guru-guru mereka, dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka jika mengalami trauma? Pedoman Peliputan Terorisme dan Kode Etik Jurnalistik mewajibkan wajah mereka disamarkan tapi kaidah-kaidah itu tidak dijalankan.
Selang beberapa hari setelah banyak pihak mulai mempertanyakan, beberapa media kemudian baru memblur wajah-wajah anak-anak keluarga terduga pengebom. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesadaran terhadap Kode Etik Jurnalistik (yang seharusnya inheren melekat dalam diri masing-masing jurnalis) baru muncul setelah pemberitaan terlanjur bergulir begitu lama?
Muncul pula kecenderungan di mana hampir sebagian besar televisi berita melakukan siaran langsung secara terus-menerus terhadap berbagai macam aksi terorisme. Bahkan, siaran langsung itu dilakukan dalam jarak dekat.
Sesuai Pedoman Peliputan Terorisme yang disusun Dewan Pers, media penyiaran dalam membuat siaran langsung semestinya tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan para tersangka terorisme. Sebab, siaran langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time sehingga membahayakan keselamatan aparat keamanan.
Siaran langsung dapat memberikan informasi kepada para terduga teroris mengenai posisi dan lokasi aparat keamanan secara real time sehingga membahayakan keselamatan aparat keamanan.
Selain itu, banyak pula stasiun televisi yang tidak konsisten dalam menyiarkan program breaking news. Program breaking news yang secara konseptual disiarkan tak lebih dari semenit untuk menyampaikan informasi penting kepada publik dan diperbarui perkembangannya pada jam-jam berikutnya justru disiarkan terus-menerus secara berkepanjangan.
Belajar dari kasus keributan antara tahanan kasus terorisme dengan sejumlah penyidik Polri di Mako Brimob (Rumah Tahanan Cabang Salemba Markas Komando Brigade Mobil Polri), bisa dibayangkan jika para tahanan yang waktu itu sempat menguasai rutan bisa menyaksikan siaran langsung atau breaking news di televisi secara leluasa, tentu mereka akan mengetahui pergerakan para aparat keamanan yang diliput media dari luar rutan. Karena itulah, Dewan Pers membuat panduan bagaimana wartawan mesti melakukan siaran langsung pada kasus-kasus terorisme.
Di Mumbai, India, seorang jenderal polisi akhirnya tewas ditembak teroris hanya karena pemberitaan siaran langsung oleh stasiun televisi. Semenjak itu, tidak ada lagi siaran langsung di televisi India terkait terorisme. Antisipasi semacam ini juga mesti dilakukan di Indonesia.
Rating dan klik
Pertanyaan yang perlu digulirkan sebagai bentuk interospeksi terkait pemberitaan terorisme adalah, apakah pemberitaan yang diturunkan secara masif itu benar-benar ditujukan untuk memenuhi hak-hak masyarakat akan kebutuhan informasi ataukah untuk kepentingan lain? Tak dipungkiri, untuk menunjang industri, media membutuhkan tolok ukur yang jelas secara bisnis berupa tiras, rating dan share, serta klik bagi media-media clickbait alias pemuja klik.
Apakah pemberitaan yang diturunkan secara masif itu benar-benar ditujukan untuk memenuhi hak-hak masyarakat akan kebutuhan informasi ataukah untuk kepentingan lain.
"Kita wartawan harus berada di tengah. Memberikan hak atas informasi publik itu penting, tetapi jangan sampai memberikan informasi tanpa ditimbang-timbang, tanpa diedit atau sekedar mengikuti desas-desus media sosial," papar Stanley.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal mengingatkan, keterbukaan dalam pemberitaan media bukan berarti apapun harus diberitakan secara "telanjang" karena ada rambu-rambu dan etika hukum yang perlu diperhatikan bersama. Bagaimanapun, media ikut bertanggungjawab dengan perkembangan situasi yang terjadi di masyarakat.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sabrar Fadhilah Fadhilah beranggapan perlu adanya kebersamaan dan pemahaman yang sama untuk mencegah dampak aksi terorisme. Sebab, pihak yang terdampak dari terorisme bukan hanya para korban tetapi juga seluruh bangsa Indonesia.
Ia mencontohkan, di Thailand, dalam rangka meminimalisasi dampak terorisme, media-media arus utama memiliki kesepakatan tidak akan mengulas berita-berita terorisme secara berlama-lama. Pemberitaan tentang aksi terorisme di Thailand diturunkan sekitar satu hingga dua hari saja. Selebihnya, kalaupun masih muncul yang disampaikan hanyalah berita lanjutan dengan porsi yang kecil.
Di Thailand, dalam rangka meminimalisasi dampak terorisme, media-media arus utama memiliki kesepakatan tidak akan mengulas berita-berita terorisme secara berlama-lama.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigjen Hamli menegaskan, yang diinginkan para pelaku terorisme adalah simpati dan dukungan dari masyarakat. Karena itulah, siapapun harus memotong mata rantai simpati dan dukungan terhadap aksi-aksi terorisme.
Begitu dukungan meluas, maka target teror mereka berhasil. Banyak pelaku terorisme tewas dalam melakukan aksi-aksi mereka. Namun, ironisnya, pesan-pesan teror mereka justru terus-menerus diproduksi, diberitakan dan disiarkan berulang-ulang lewat pemberitaan media.