KIEV, KOMPAS — Real Madrid menegaskan dominasinya di kancah sepak bola Eropa dengan menggulung Liverpool, 3-1, dalam final Liga Champions, Minggu (27/5) dini hari WIB. Namun, kegemilangan ”El Real” itu dinodai insiden paling brutal yang bisa dialami seorang pesepak bola, yaitu cederanya bintang Liverpool, Mohamed Salah, akibat ”pitingan” bek Real, Sergio Ramos.
Duel di Stadion Olimpik NSK di Kiev, Ukraina, itu seyogianya bukan sekadar ajang perebutan trofi ”si kuping lebar”, melainkan juga pertaruhan gelar pemain terbaik dunia pada musim ini. Ya, untuk kali pertama dalam satu dekade, dua kandidat pemain terhebat sejagat saling berhadapan pada laga puncak Liga Champions. Salah, yang tengah meroket bersama Liverpool, bersaing dengan pemilik rekor trofi Ballon d’Or yang juga bintang Real, Cristiano Ronaldo.
Final Liga Champions, yang semestinya menjadi panggung epik Salah—”putra” dari belahan dunia ketiga, yaitu Afrika—mewujudkan ambisi terliarnya ternyata berubah menjadi mimpi buruknya. Jangankan mencetak gol yang bisa membuatnya ”disembah” legenda ”The Reds”, Ian Rush, pemain asal Mesir itu hanya sanggup bertahan di lapangan selama setengah jam menyusul insiden ”horor” pada menit ke-30.
Salah, yang musim ini membuat banyak bek lawan begidik ngeri, terkapar di lapangan setelah ”bergulat” dengan Ramos. Ia pun tidak sanggup melanjutkan laga meskipun sempat mencobanya hampir dua menit. Hasil diagnosis menunjukkan, engsel bahu kirinya bergeser setelah lengannya ”dikunci” dan kemudian terjatuh bersama Ramos, pemain yang memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar darinya.
Bagi Manajer Liverpool Juergen Klopp, insiden itu tidak ubahnya pertunjukan gulat. Namun, ajaibnya, itu tidak dianggap pelanggaran apa pun oleh wasit. ”Pergerakan itu seolah-olah dilakukan seorang agen rahasia yang tiga tahun berlatih judo di perguruan Pegunungan Alpen,” tulis The Guardian mengamini pernyataan Klopp.
Bagi fans Liverpool, insiden itu menjadi titik penentu hasil akhir laga, selain tentunya juga dua blunder fatal kiper Loris Karius. Sebelum Salah ditarik keluar, ”The Reds” tampil lebih berani, dominan, dan menciptakan lima kali serangan berbahaya lebih banyak ketimbang Real.
Namun, bagi rakyat Mesir, khususnya Salah, insiden itu terasa jauh lebih perih. Akibat cedera bahu itu, Salah terancam absen di Piala Dunia Rusia 2018 yang akan bergulir mulai 15 Juni. Padahal, Mesir telah menanti 28 tahun lamanya untuk tampil di panggung sepak bola terbesar itu. Tak ayal, Ramos menjadi sasaran kemarahan, sosok paling dibenci netizen sepanjang Minggu ini. Apalagi, rekaman fotonya tengah tertawa menyeringai saat Salah ditarik keluar lapangan beredar luas di jagat maya.
”Ramos jelas adalah penjahat terbesar di sepak bola. Senyum tawanya setelah Salah keluar memperlihatkan kesadisannya,” bunyi pemilik akun Emeryrates dalam kicauannya di Twitter seusai laga itu.
Terlepas dari kritik itu, tindakan Ramos memperlihatkan ”DNA kepiawaian” Real pada laga-laga penting, Liga Champions, khususnya final. Berbeda dengan dua trofi Liga Champions yang dimenangi Barcelona lewat filosofi permainan atraktif ”tiki-taka” ala Pep Guardiola, Real jauh lebih pragmatis. Mereka tidak perlu bermain cantik. Hal yang jauh lebih penting adalah menang dengan cara apa pun, termasuk ”menggembosi” lawan-lawannya.
Piala Oscar
Ramos, kapten Real, tidak hanya garang di belakang, tetapi juga dikenal cerdik memanfaatkan situasi yang bisa menguntungkan timnya. Di Kiev semalam, ia tampil bak pemegang ban hitam olahraga bela diri, judo. Setahun sebelumnya, di Cardiff, ia menjelma aktor Hollywood, Leonardo Dicaprio. Aktingnya meringis kesakitan membuat pemain sayap Juventus, Juan Cuadrado, dikartu merah wasit, dan Real meraih trofi ke-12 Liga Champions setelah menang 4-1. Saat itu, netizen pun sempat berolok-olok, Ramos patut mendapatkan penghargaan Piala Oscar!
Namun, di balik semua sorotan negatif itu, Ramos adalah salah satu sosok yang paling ngotot di ”El Real”. Ia hampir selalu berperan dalam empat kemenangan Real di final dalam lima musim terakhir Liga Champions. Final 2014 Real kontra Atletico Madrid menjadi bukti sahihnya.
Saat itu, Madrid nyaris kalah dari tetangganya itu. Hingga menit kedua injury time pada babak kedua laga itu, mereka masih tertinggal dari Atletico, tim yang saat itu terkenal sangat sulit dibobol lawan-lawannya. Namun, tepat pada detik-detik terakhir laga, Real menyamakan kedudukan. Bukan Ronaldo, melainkan Ramos yang menjadi pahlawan. Pada babak perpanjangan waktu, mereka menghabisi Atletico, 4-1, dan menjadi kampium saat itu.
Atletico, Juventus, dan Liverpool berturut-turut gagal melengserkan Real dari takhta tertinggi sepak bola Eropa. Mereka semua gagal karena tidak memiliki ketenangan mental dan pemain-pemain berkelas dunia, seperti Ramos, Ronaldo, atau Gareth Bale, yang bisa menjadi pembeda. ”Dengan tim seperti ini, kami (selalu) bisa melangkah jauh. Namun, tiga kali menjuarainya (beruntun) adalah hal gila,” ujar Pelatih Real Madrid Zinedine Zidane, seperti dikutip AFP.
Skuad Real saat ini menjadi ”legenda”. Mereka menjadi bagian dari sejarah dan rekor baru yang belum pernah terjadi di Liga Champions sebelumnya. Mereka menjadi tim pertama yang mampu memenangi setidaknya tiga final secara beruntun dalam dua periode yang berbeda. Hal serupa mereka lakukan pada 1956 hingga 1960 yang disebut sebagai era keemasan El Real.
Ramos mengakui, banyak orang tidak menyukai atau mencintai timnya, seperti halnya yang didapat Liverpool—klub yang memiliki lagu dan semboyan ”You’ll Never Walk Alone”—ataupun Barcelona, klub yang memiliki moto mes que un club alias lebih dari sekadar klub.
Namun, baginya, trofi-trofi dan kejayaan jauh lebih berharga dan membekas ketimbang elu-elu, lagu-lagu, dan fanatisme dukungan.