Sekitar pukul 02.00, sekitar 300 warga berkumpul di Gereja Santa Maria Assumpta Gamping, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (26/5/2018). Mereka duduk bersama di karpet merah yang digelar di halaman gereja. Sebuah kotak berisi nasi dengan lauk ayam bakar, lengkap dengan sambal dan lalapan, disiapkan di hadapan peserta.
Mereka sedang menanti waktu untuk bersantap sahur bersama Shinta Nuriyah, istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Dalam penantian itu, mereka asyik mengobrol dengan hadirin di kanan dan kiri mereka. Usia dan jenis kelamin bukan pembatas berarti, karena mereka larut dalam percakapan. Nasi kotak masih tertutup rapat hingga 30 menit kemudian.
Menumpang mobil sedan, Shinta datang memasuki halaman gereja. Selepas turun dari mobil, Shinta langsung didudukkan di kursi rodanya, dan dibantu naik ke panggung.
Lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan menjadi lagu pembuka, yang dinyanyikan dengan khidmat. Kepala Paroki Gereja Santa Maria Assumpta Gamping, Romo Martinus Suharyanto Pr mengaku terharu seusai menyanyikan lagu itu.
“Saya terharu dengan lagu \'Indonesia Raya\'. Apa yang ibu haturkan adalah penyejuk iman bagi kami, terutama bagi Indonesia. Saya yakin Bhinneka Tunggal Ika itu mewakili semua yang baik. Semoga dalam kesempatan ini kita bisa menghayati kebersamaan,” ujarnya kepada Shinta, yang dibalas dengan senyuman.
Mereka pun segera bersama-sama menyantap nasi kotak. Saat makan, lagu pembangkit rasa persatuan, seperti “Satu Nusa, Satu Bangsa” dan “Indonesia Pusaka”, mengiringi makan bersama.
Seusai makan, Shinta bertanya, “Dari tadi yang ikut makan sahur, siapa saja yang puasa?”. Tak lebih dari separuh hadirin yang mengacungkan jari. “Yang puasa sedikit, tetapi yang makan semuanya,” tambah Shinta, disambut tawa hadirin.
Berikutnya, selalu ada yang mengacungkan jari tiap kali Shinta menanyakan kepada hadirin soal agama yang dipeluk, atau berasal dari suku mana.
“Saya sadar betul bahwa kita tinggal di Indonesia. Masyarakat Indonesia itu majemuk karena terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Karena itu, Indonesia punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Shinta.
Dengan semboyan itu, Shinta menyatakan, masyarakat Indonesia itu harus bisa hidup rukun dan damai karena sedari awal sudah didirikan dengan semangat keberagaman. Ia beranggapan, agama juga seharusnya tidak menjadi sekat yang membatasi kehidupan bersama dalam masyarakat.
“Puasa mengajarkan kita tentang moral dan budi pekerti yang luhur. Artinya, tujuan puasa itu menjadikan orang yang tadinya tidak menjadi baik. Bukan sekadar formalistik. Puasa ini harus dijadikan sebagai puasa yang revolusioner,” tutur Shinta. “Kebenaran dan kejujuran harus kita pegang untuk menghadapi persoalan. Semua itu demi ketuhan bangsa dan Negara Indonesia.”
Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Wilayah Yogyakarta Agnes Dwi Rusjati, yang juga menjadi ketua panitia acara itu, mengatakan, acara itu bertujuan untuk membangun ruang perjumpaan masyarakat dari berbagai lintas agama.
“Kita berharap dengan pertemuan ini, orang akan biasa bertemu. Orang akan biasa berjumpa dengan kelompok yang berbeda dan akan tahu masing-masing mempunyai tradisi yang berbeda. Itu menjadi bagian dari keragaman kita,” kata Agnes.
Sementara itu, Romo Martinus Joko Lelono Pr, Pastor Asisten Paroki Santa Maria Assumpta Gamping, menyampaikan, acara itu menjadi ajang untuk mengenal antarumat beragama untuk menembus sekat-sekat yang selama ini dianggap sebagai penghalang untuk berinteraksi.
“Bukan berarti kami mencampur-campurkan masalah agama. Agama itu bukan sekat pemisah tetapi agama jadi sumber pemersatu acara-acara keagamaan semacam ini semakin mendukung karena pada dasarnya kita adalah negara yang ingin hidup bersama, rukun, dan bersatu,” kata Joko.
Tri (44), salah satu peserta acara, mengatakan, acara itu sangat berkesan dan penting baginya. Ia merasa, umat dari berbagai agama itu sering dipecah belah dengan berita bohong dari media sosial, sehingga pertemuan dalam acara-acara seperti itu dianggapnya mampu menghapus prasangka buruk yang dikonstruksi lewat media sosial. “Acara-acara ini membuat kita jadi kenal satu sama lain. Kita jadi tidak mudah terpancing oleh berita-berita bohong yang berusaha memecah belah kita,” ujar Tri.
Sejak awal berdiri, Indonesia bernafaskan keberagaman. Perbedaan tidak harusnya menjadi sekat pemisah dalam kehidupan berbangsa. Perbedaan itu bisa ditembus dengan kemauan untuk bertemu dan terus membangun dialog dari berbagai kelompok masyarakat.
Kesatuan dan persatuan Indonesia tidak bisa ditolak. Pancasila menjadi penguat masyarakat untuk hidup dalam keberagaman. Shinta pun mengajak hadirin untuk mengucapkan, “NKRI harga mati, Pancasila jaya.” Hadirin menirukan dengan lantang dan tak menampiknya. Hal itu menunjukkan semangat keberagaman itu memang hidup dalam urat nadi masyarakat.