Air Besih dan Sanitasi Berkontribusi pada Pertumbuhan
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemenuhan air bersih dan sanitasi masyarakat signifikan membantu Indonesia mengatasi pekerjaan rumah dalam penurunan stunting atau gagal tumbuh. Namun, hal ini masih menjadi masalah mengingat akses air minum nasional baru 67,7 persen di tahun 2015.
Kondisi tanpa sanitasi dan akses air bersih mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Air yang tidak sehat akan mengakibatkan diare pada anak balita dan menurunkan berat badannya sehingga berpengaruh pada status gizi akut.
“Kalau dapat makanan bagus tetapi tidak didukung air bagus maka pencernaan juga tidak bagus, tidak ada penyerapan gizi. Itu lah kenapa air bersih dan sanitasi menjadi penting untuk diatasi dalam mendorong program pengentasan stunting,” kata Ignasius DA Sutapa, peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Executive Director Asia Pasific Center for Ecohydrology, Jumat (25/5/2018) di Jakarta.
Ia mengatakan air bersih dan sanitasi berpengaruh 60 persen atau lebih besar di bandingkan gizi buruk (40 persen) pada kejadian stunting atau anak balita gagal tumbuh atau pendek. Ia pun menyebut kualitas air minum yang buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1.000 penduduk.
Bahkan Bank Dunia pada 2013 menempatkan Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara yang memiliki prevalensi tinggi anak balita "gagal tumbuh" yaitu sebesar 37,2 persen. Negara lain yaitu Myanmar 35 persen dan Vietnam 23 persen.
Menyadari hal ini, Indonesia menargetkan 100 persen akses air bersih dan sanitasi pada 2019. Target yang jatuh tempo setahun lagi ini membutuhkan kerja lebih keras karena kondisi pada 2013, akses air bersih baru 67 persen dan sanitasi 59 persen.
Namun, catatan Ignasius Sutapa, menunjukkan komitmen pemda untuk pendanaan air minum hanya 0,04 persen dari total APBD, atau Rp 10 triliun selama 5 tahun. Sangat jauh dibandingkan kebutuhan APBD sebesar Rp 120 triliun (47 persen) untuk mencapai 100 persen akses air minum. Artinya, baru 60 tahun mendatang 100 persen akses air minum yang berasal dari komitmen pemda.
Demikian pula pada ketersediaan APBN untuk air baku dan air minum sebesar Rp 52 triliun (20 persen total kebutuhan) harus mampu mengungkit kebutuhan sisanya (Rp 202 triliun atau 80 persen). Ignasius mengatakan hal ini tidak bisa diatasi sendiri, pemerintah membutuhkan dukungan banyak pihak. Sayangnya, kata dia, peran swasta tak bisa lagi banyak membantu pascaputusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Ekohidrologi
Ignasius menekankan konsep ekohidrologi bisa sebagai solusi karena menggunakan pengelolaan sumber daya air terpadu yang menawarkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam memahami lingkungan dan sistem sumber daya air melalui pemahaman proses interdepensi (saling ketergantungan) dan siklus hidrologi di ekosistem darat dan perairan. Langkah ini menggunakan pendekatan pada unsur ekologi, hidrologi, ekoteknologi, dan budaya.
Contohya, Rachmat Fajar Lubis, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengenalkan pemanfaatan air marginal atau air buangan. Air marginal ini mengacu pada jenis air yang melimpah tetapi luput dari perhatian masyarakat karena kualitasnya rendah.
Contohnya, air buangan dari aktivitas manusia, air bersalinitas tinggi/air payau, air hasil aktivitas tambang, air gambut, dan lain sebagainya. “Sumber air marginal ini memerlukan sentuhan teknologi agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih,” kata Fajar.
Beberapa yang telah dilakukan LIPI, lanjutnya, mengolah air gambut menjadi air bersih di Kalimantan maupun mengolah air kolong (air genangan tambang) di Bangka. Air gambut yang berwarna mirip teh kental dan asam diubah menjadi jernih sehingga bisa dimanfaatkan sebagai air bersih.