Satu bulan menjelang pemungutan suara pada 27 Juni mendatang dalam pemilihan kepala daerah tingkat provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, saatnya masuk dalam babak baru persaingan.
Dalam kurun waktu yang relatif singkat itu, pasangan calon yang berkontestasi tak lagi cukup hanya mengejar dan mengumbar popularitas. Kini, panggung persaingan sudah bergeser pada babak pertarungan loyalitas, yaitu bagaimana merebut dukungan pemilih para pesaing yang masih tergolong rapuh, di samping menjaga sekuat mungkin loyalitas barisan pendukungnya.
Pertarungan dalam panggung loyalitas pemilih ini menjadi titik penentu keberhasilan setiap pasangan calon. Apalagi, kini, sebagian besar pemilih mengaku sudah punya referensi kepada siapa dukungan dialamatkan. Artinya, mereka yang mampu ”mengelola” loyalitas pemilih berpotensi jadi pemenang. Sebaliknya, yang lengah bakal tersingkir. Semua ini terindikasi dari perbandingan dua hasil survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas di tiap provinsi.
Di Jawa Barat, misalnya, pertarungan masih terfokus pada pasangan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi. Hasil survei menunjukkan, elektabilitas kedua pasangan ini relatif imbang. Namun, di balik pertarungan ketat itu, pada level geopolitik wilayah Jabar, sebenarnya berlangsung penguasaan ceruk yang berbeda-beda. Terdapat ceruk wilayah yang jadi basis pendukung tiap-tiap pasangan. Sebaliknya, terdapat pula ceruk ”tidak bertuan” yang hingga kini belum terkuasai.
Sekalipun di Jawa Barat penguasaan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul dengan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dominan, gerak agresif pasangan Sudrajat-Akhmad Syaikhu mulai membayangi. Hasilnya, elektabilitas pasangan ini meningkat signifikan. Agak berbeda pada pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan, yang relatif stagnan.
Di Jawa Tengah, persoalan loyalitas pemilih pula menjadi kunci. Ganjar Pranowo-Taj Yasin masih dominan. Sejauh ini, di provinsi itu masih teramat berat mengubah drastis peta penguasaan. Pesaingnya, Sudirman Said- Ida Fauziah, sebenarnya dalam kurun tiga bulan terakhir mampu meningkatkan elektabilitas cukup signifikan. Namun, mereka belum cukup mampu menggoyang loyalitas pemilih lawannya.
Bertarung sengit
Pertarungan sengit berlangsung di Jawa Timur. Kedua pasangan, Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak dan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno, bersaing ketat. Mirip di Jawa Barat, dalam batas margin of error, proporsi elektabilitas kedua pasangan ini imbang.
Bedanya, pola sebaran dukungan dan kadar loyalitas yang terbangun dari pendukung masing-masing hampir tidak berbeda jauh dari setiap pasangan. Jika di Jawa Barat, pada ceruk geopolitik terbangun basis-basis dukungan, tidak demikian terjadi di Jawa Timur. Tiap-tiap ceruk geopolitik kedua pasangan saling bersaing ketat.
Representasi dukungan partai politik yang dominan di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan PDI Perjuangan, juga Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrat, dan partai lainnya seolah kabur, membaur pada kedua pasangan calon. Dengan kondisi ini, tinggal pada
kualitas ataupun kepiawaian sosok menjaga dan mengalihkan loyalitas pemilih yang terandalkan.
Pemilihan gubernur di tiga provinsi di Jawa, yang melibatkan hampir separuh dari pemilih di Indonesia, ini tidak hanya bertutur pada persaingan di antara pasangan calon. Kontestasi ini juga menyiratkan eksistensi partai politik menjelang Pemilu 2019. Mereka yang berjaya semakin meringankan langkah penguasaan politik pada Pemilu 2019. Sebaliknya bagi yang tergerus.
Secara rinci, ulasan mengenai segenap hasil survei di tiga provinsi Pulau Jawa diuraikan dalam tiga edisi terbitan. Mulai hari ini, ulasan pertama, mengenai kontestasi di Jawa Barat: ”Ceruk ’Tidak Bertuan’ Menjadi Penentu” di halaman 5.
