Sisters in Danger Mengedukasi Anak Muda Lewat Musik
Musik bukan hanya untuk menghibur pendengarnya, tetapi juga bisa menjadi alat kampanye. Jalan ini diambil grup musik Sisters in Danger untuk mengedukasi generasi muda, untuk mencegah dan melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak serta diskriminasi terhadap kaum difabel.
Musik memiliki kekuatan yang dahsyat. Selain menembus sekat-sekat perbedaan, musik juga bisa menjadi alat kampanye untuk menyuarakan pesan-pesan kemanusiaan dan isu-isu sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Bahkan bagi grup musik Sisters in Danger, musik bisa menjadi alat mengedukasi masyarakat terutama generasi muda untuk mencegah dan melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perlakuan diskriminatif terhadap kaum difabel dan kelompok rentan lainnya.
Seperti yang ditampilkan Sisters in Danger pada acara “Aksi Kreatif Orang Muda dalam Membangun Ketahanan Kota yang Berpusat pada Anak dan Orang Muda” di Gedung Menza Salemba, Jakarta, Jumat (25/5/2018) petang. Dalam acara yang dikemas dalam bentuk diskusi musikal, M Berkah Gamulya (38) beserta empat personil Sisters in Danger, Qoqo (gitar), Arnie (bass), Titi (vokalis), dan Lendi (drum/keyboard) tampil menggugah para remaja dan anak-anak muda Jakarta yang hadir sore itu.
Membuka dengan lagu Iwan Fals berjudul Kota, Sisters in Danger menyampaikan pesan bagaimana Jakarta yang menjadi magnet bagi orang-orang dari berbagai daerah, dari tahun ke tahun semakin meningkat persoalannya. Tidak hanya ancaman bencana banjir, Jakarta juga masuk dalam kota yang tidak ramah, bahkan rawan kejahatan terhadap perempuan dan anak, termasuk kaum difabel.
Bahkan dalam lagu Metropolutan (Navicula), Sisters in Danger mengingatkan betapa kota Jakarta sebagai kota metropolitan menjadi metropolutan, dengan menyelipkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta merupakan polusi yang paling berbahaya.
Selanjutnya, lewat lagu Lagi dan Lagi karya Sisters in Danger, vokalis Titi menyentuh anak-anak muda untuk peka dengan kondisi saat ini yang marak terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam lirik-lirik lagu tersebut, berbagai pesan disampaikan antara lain: “Tak ada satu pun kitab suci yang bolehkan//Tak satupun hukum yang izinkan//Pembunuhan, pemerkosaan, semua kebiadaban//Telah hilang rasa kemanusiaan//Pendidikan, pencegahan, itu yang utama//Rehabilitasi, penindakan seadil-adilnya// Keadilan jender jalan kita//Menuju keadilan semesta”.
Bahkan, lewat lagu Sisters in Danger, grup musik ini menggambarkan betapa kekerasan seksual saat kini sangat mengancam semua perempuan, tanpa pandang bulu. Ini tercermin dalam lirik: “My old sister is in danger//my young sister is in danger// my aunty is in danger//my mother is in danger//Don’t teach how to dress//Teach your brain about humanity//.
Seusai menyanyikan lagu tersebut, Gamulya dalam mengungkapkan sejumlah data dari berbagai lembaga, seperti data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tentang kekerasaan seksual terhadap anak dan perempuan. Dia mengatakan, di Indonesia setiap hari, sembilan anak dan 23 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
“Bahkan kalau dirata-rata setiap dua jam ada tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Gamulya. Dia menyampaikan, di setiap keluarga dan lingkungan masyarakat, pasti ada perempuan apakah ibu, kakak/adik, saudara, bahkan sahabat dan saudara lain.
Momen diskusi musik yang digelar Plan International Indonesia bersama mitra-mitranya tersebut juga dimanfaatkan Sisters in Danger untuk menyampaikan bahwa remaja perempuan rawan kekerasan seksual, karena saat ini tingkat kekerasan dalam berpacaran juga tinggi.
“Hati-hati kalau masih pacaran aja, untuk perempuan hati-hati kalau pacarmu sudah mulai posesif, mulai mengontrol semua aktivitas bahkan kontrol tubuhmu. Ini bahaya. Masih pacaran sudah mulai kasar, main tangan, hati-hati. Apalagi sudah mulai masuk bujuk rayu, hati-hati,” kata Gamulya, yang kemudian membuka ruang tanya jawab dengan anak-anak muda yang hadir.
Kesetaraan jender juga disuarakan grup musik tersebut saat membawakan lagu Bongkar (Iwan Fals). “Kita harus bongkar pola pikir kita, melihat semua sama, karena Tuhan menciptakan kita setara laki-laki dan perempuan,” ujar Gamulya.
Menjadi mitra
Sisters in Danger merupakan proyek grup musik yang dirintis Gamulya dan kawan-kawannya sejak 2016, yang berawal dari keprihatinan berbagai kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tanah Air. Tahun 2016, grup musik ini mendapat Most Popular Award dari United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women, atas lagu yang berjudul Oranye. Mereka kini menjadi mitra sejumlah lembaga pemerintah/non pemerintah dalam mengampanyekan isu-isu kemanusian, terutama kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak.
Personil Sisters in Danger yang sebelumnya terbiasa dengan musik pop tentu saja harus menambah wawasannya tentang kesetaraan jender dan kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Bagi tiga personil perempuan, Sisters in Danger , Titi, Qoqo, dan Arni, menyanyi dan kampanye tentang kesetaraan jender dan antikekerasan terhadap perempuan dan anak, sangat penting.
“Kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat, supaya masyarakat berubah dan bersama-sama melindungi perempuan dan anak dari berbagai kekerasan,” kata Titi yang selama ini sering didatangi sejumlah korban kekerasan seksual usai pentas musik.
Bermusik, berkampanye. Itulah jalan yang dilakukan Sisters in Danger saat ini.