Geliat Hiburan di Okinawa
Okinawa adalah surganya penyelam dan penikmat pantai. Di luar itu, prefektur paling selatan dari negara Jepang ini adalah tempat yang lekat dengan kesenyapan, setidaknya ketimbang Jakarta. Namun, dalam sepuluh tahun ini, Okinawa tengah mencipta ikon di ranah yang dekat dengan ingar-bingar: dunia hiburan.
Dari balik pagar, gadis-gadis berteriak sekencang-kencangnya memanggil nama-nama artis idola mereka, menjadikan Minggu sore itu begitu gaduh. Mereka seakan berusaha merangsek untuk mendekati aktor dan aktris yang sedang berjalan di jalur karpet merah sepanjang 150 meter, di Jalan Kokusai, Naha, Okinawa. Alhasil, sejumlah petugas ”memasang kuda-kuda” menahan pagar agar tidak sampai jebol.
Seniman peran yang mengundang histeria antara lain aktor Hiroshi Abe dan aktris Meisa Kuroki. Selain itu, ada pula eks anggota grup Korea, KARA, yang merambah industri akting Jepang, Kang Jiyoung.
Gelaran karpet merah tersebut merupakan tradisi dari perhelatan Festival Film Okinawa Internasional (Okinawa International Movie Festival/OIMF) setiap tahun, yang pada 2018 sudah berusia 10 tahun.
Cucuran hujan dengan mendung yang merata menyertai para artis di atas karpet. Bahkan, hujan lebat sebelumnya membuat panitia sempat gamang untuk melanjutkan acara karpet merah atau tidak. Untungnya, acara hanya diundur sehingga tetap memuaskan dahaga penggemar yang setia menanti di sisi pagar untuk melihat paras tampan dan cantik dari para idola.
Seribu orang tercatat berjalan di karpet merah, termasuk para artis, dengan disaksikan 63.000-an orang dari pinggir pagar. Keriuhan di Jalan Kokusai lantas bergeser 3,5 kilometer ke pinggir laut, yakni di Taman Naminoue Umisora.
Di sana, ribuan orang secara gratis menonton penampilan band-band dan penyanyi kenamaan Jepang, seperti Kariyushi58, Begin, dan Kiiyama Shouten. Seluruh lagu dibawakan dengan aransemen samba, menyihir penonton untuk ikut bergoyang—meski goyangan penduduk Okinawa ternyata amat kaku jika dibandingkan dengan penonton konser Tanah Air, terutama saat konser dangdut.
Salah seorang penonton konser di barisan depan, Yuwa (19), mengatakan sudah dua kali datang ke konser tersebut dan selalu mengincar penampilan band Kariyushi58. ”Tahun lalu mereka (Kariyushi58) kolaborasi dengan banyak artis. Seru, jadi saya mau nonton lagi,” ujarnya.
Rekan Yuwa, Kodai (19), menambahkan, mereka biasanya cuma bisa menonton artis-artis kesukaan di layar televisi. Hanya dengan datang ke acara semacam ini, mereka bisa melihat langsung fisik para artis. ”Jadi gembira sekali bisa melihat mereka secara langsung,” ucapnya.
Pertunjukan musik tersebut merupakan pemungkas OIMF 2018 yang sudah tergelar selama empat hari, sejak Kamis (19/4/2018). Jadi, OIMF bukan sekadar pemutaran film-film sesuai namanya meski film tetap napas utama dari festival ini.
Yoshimoto Kogyo merupakan perusahaan hiburan yang senantiasa memastikan OIMF berjalan setiap tahun. Perusahaan berusia 106 tahun tersebut secara konsisten menyelenggarakan OIMF sejak 2009. Untuk tahun ini, 51 judul film ditayangkan dan melibatkan enam tempat menonton, yaitu Sakurazaka Gekijo, Yoshimoto Okinawa Kagetsu, Mihama 7 Plex, Cinema Q, Shuri Gekijo, dan Tenbusu Hall.
Sebagian besar film merupakan besutan sutradara dan produser asal Jepang. Namun, ada pula film-film dari negara lain yang mendapat undangan spesial untuk ditayangkan di Okinawa. Indonesia, misalnya, punya perwakilan dengan hadirnya film pemikat 6,3 juta penonton Tanah Air, Dilan 1990, serta Satria Heroes: Revenge of Darkness. Inilah pesta film bagi rakyat Okinawa.
Keunikan budaya
Namun, OIMF juga bertujuan memantik kreativitas orisinal dari Okinawa sendiri. Sebab, wilayah ini punya keunikan dibanding budaya Jepang kebanyakan dan berpotensi didayagunakan jadi kekuatan.
”Budaya di Okinawa itu bukan hanya budaya Jepang, tetapi bercampur dengan budaya lain, termasuk dari China,” kata CEO Yoshimoto, Hiroshi Osaki, saat ditemui di Naha.
Sebelum penyatuan pada era Meiji tahun 1879, Okinawa bisa dikatakan bukanlah Jepang. Okinawa waktu itu daerah kekuasaan Kerajaan Ryukyu yang berdiri pada 1429 lewat penyatuan Kerajaan Chuzan, Hokuzan, dan Nanzan. Ia merupakan kerajaan independen yang terpisah dari Kekaisaran Jepang, tetapi membayar upeti ke Kekaisaran China.
Itulah mengapa bangunan Kastel Shuri, pusat pemerintahan Ryukyu, terpengaruh oleh perpaduan arsitektur Jepang dan China seperti dapat dilihat hingga sekarang.
Warga Okinawa pun kebanyakan berasal dari etnis Ryukyu, yaitu salah satu etnis minoritas di Jepang yang secara budaya dan bahasa juga berbeda dari orang Jepang kebanyakan.
Osaki mengatakan, Yoshimoto pun berfokus menunjukkan Okinawa yang apa adanya kepada dunia lewat OIMF. Perusahaan tidak bermimpi menjadikan OIMF setenar Festival Film Cannes di Perancis.
Orisinalitas tersebut berusaha digarap seorang komedian asal Okinawa yang juga menjajal masuk dunia kesutradaraan, Toshiyuki Teruya. Pria dengan nama panggung Gori tersebut terkesima saat melakukan riset untuk filmnya, bahwa di Aguni, sebuah pulau terpencil di Prefektur Okinawa, warga lokalnya masih menjalankan tradisi mencuci tulang anggota keluarga yang telah tiada.
Mereka mengubur jenazah di dalam makam berupa lubang di bukit, kemudian setelah empat tahun berlalu, mereka mengeluarkan peti berisi jasad yang sudah kehabisan daging. Mereka lantas mencuci tulang-tulang anggota keluarga mereka agar bersih dari sisa daging, lalu menaruhnya lagi di makam.
Tradisi itu jadi bumbu dari film Gori yang berjudul Bone Born Bone (Senkotsu dalam bahasa Jepang). Gori mengemasnya dalam genre drama komedi sehingga menjauhkan kesan seram dari demonstrasi tradisi cuci tulang di film. Bahkan, ia mampu membuat penonton paham pesan yang ingin disampaikannya, tentang kuatnya ikatan keluarga di tengah beragam masalah yang mendera anggotanya masing-masing.
Cerita dalam film berpusat pada keluarga Shinjo di Pulau Aguni yang ditinggal pergi oleh sang ibu empat tahun lalu. Kepala keluarga ini, Nobutsuna (Eiji Okuda), menjadi peminum berat karena merasa bersalah atas kematian istrinya. Adapun anak pertama, Tsuyoshi (Michitaka Tsutsui), bercerai dengan istrinya, sedangkan anak kedua, Yuko (Ayame Misaki), hamil di luar nikah. Setelah melalui konflik keluarga, mereka semua dipersatukan dalam upacara mencuci tulang jasad sang ibu.
”Mengejutkan, masih ada kultur pencucian tulang di Jepang,” kata Gori. Ia pun memetik kesuksesan ganda. Satu, sukses mengocol perut penonton dengan dialog-dialog dan kejutan-kejutan di filmnya. Dua, sukses mengenalkan wajah lain Jepang, bahkan kepada warga Jepang sendiri.
Pendidikan hiburan
Sudah cukup bagi Yoshimoto sekadar menghadirkan wajah dunia hiburan kepada warga Okinawa lewat OIMF selama 10 tahun. Kini, saatnya masuk ke level selanjutnya, yakni mendorong orang lokal memproduksi hiburan itu sendiri.
Untuk itu, Yoshimoto pada tahun ini meluncurkan sebuah sekolah khusus di Naha bagi mereka yang berhasrat berkecimpung di dunia hiburan. Namanya, Laugh & Peace Entertainment School Okinawa.
Sekolah tersebut menawarkan studi berkonsep kursus dengan kurikulum dua tahun. Peserta kursus nantinya bisa memilih satu dari empat konsentrasi yang ada, yaitu manga (seni gambar modern khas Jepang), animasi, kursus penampil (di antaranya pendidikan seni peran, menyanyi, dan menari), serta produksi pertunjukan dan konten hiburan.
”Saya sangat berharap, para lulusan sekolah ini bisa bekerja di Okinawa, jangan cuma di kota. Rata-rata, anak muda saat ini bekerja di kota,” ucap Osaki.
Namun, Laugh & Peace Entertainment School Okinawa tidak eksklusif untuk penduduk Prefektur Okinawa. Malah, ada pula murid dari luar negeri.
Made Sarjana (37), contohnya. Pria asal Singaraja, Bali, itu sudah sebulan mengambil kursus di Laugh & Peace Entertainment School Okinawa dan berencana mendalami ilmu tari sesuai minatnya sejak masih kecil.
”Bali, kan, tujuan wisata, jadi nanti bisa mengembangkan untuk atraksi wisata. Atau, bisa juga saya membuka sekolah pertunjukan di Bali,” katanya.
Mengawal geliat industri hiburan di Okinawa bagi Yoshimoto merupakan bagian dari misi menghidupkan prefektur yang pernah amat terpuruk saat Perang Dunia II itu. Apalagi, memori kelam perang masih bertahan dengan keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa hingga sekarang.
Osaki mengatakan, setelah Perang Dunia II, industri sulit berkembang di Okinawa sehingga menambah keterpurukan penduduk di sini. Pengembangan industri hiburan sangat tepat karena bisa berdampak secara cepat. Ekonomi lokal dibangun dengan memanfaatkan khasiat kegembiraan.