Seusai perang, yang tersisa hanyalah puing-puing. Dalam kota yang luluh lantak akibat perang, warisan atau peninggalan budaya kota itu ikut hancur berantakan, seperti halnya kota Mosul, Irak. Di kota yang pernah dikuasai kelompok ekstrem ini, warisan budaya yang sangat berharga hancur nyaris tak tersisa.
Namun, sekelompok mahasiswa Universitas Mosul tetap optimistis dan berupaya menyelamatkan warisan atau peninggalan budaya yang tersisa dari reruntuhan Mosul. Mereka membersihkan puing-puing dan mendistribusikan bantuan di kota yang hancur setelah perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu.
Proyek penyelamatan warisan budaya dimulai ketika Raghad Hammoudi (25), mahasiswi Keperawatan Universitas Mosul, dan sejumlah mahasiswa lain memutuskan untuk memulai pembangunan kembali Perpustakaan Pusat Universitas Mosul yang rusak akibat dibakar dan dibom. Mereka menemukan buku-buku koleksi perpustakaan yang terkubur di bawah lapisan abu.
Ada sekitar 30.000 buku yang ditemukan dan terbilang utuh. Lebih dari 40 hari, dengan perang yang masih berkecamuk di wilayah Irak lainnya, para mahasiswa memindahkan buku-buku tersebut satu per satu menggunakan lubang akibat roket, ke tempat yang aman.
”Kota Mosul dengan sejarah masa lampau yang gemilang telah kehilangan warisan budayanya: makam Nabi Yunus dan menara Al-Hadbah yang lebih tua umurnya dari Irak itu sendiri. Sungguh hebat, kami dapat menyelamatkan sebagian dari warisan ini,” tutur Hammoudi.
Menara miring Al-Hadba, bagian dari Masjid Agung al-Nuri yang dibangun pada abad ke-12, dan makam kuno Nabi Yunus hancur selama perebutan kembali Mosul dari tangan NIIS. Masjid ini menjadi lokasi pemimpin NIIS, Abu Bakr al-Baghdadi, mendeklarasikan NIIS pada 2014.
Hammoudi mengatakan, buku-buku yang berhasil diselamatkan antara lain berisi tulisan tangan para ulama Mosul. Buku-buku itu termasuk edisi yang ditulis dalam bahasa Moslawi, dialek dari wilayah yang dulu dikenal sebagai pusat keilmuan Islam di Mosul. Kota ini menjadi kebanggaan karena memiliki banyak masjid kuno, gereja-gereja, dan bangunan berarsitektur kuno.
Membersihkan puing
Seusai perang di Mosul, para relawan membersihkan puing-puing dan sampah, membuka jalan, mengebor sumur air, dan mendistribusikan bantuan. ”Situasi di Mosul sekarang jauh lebih baik. Hal ini terjadi karena ’revolusi’ di dalam Mosul, di kalangan kaum muda,” ujarnya.
Mungkin hal ini sepele bagi seluruh dunia, tetapi bagi Mosul, hal itu sangat besar.
Setelah hidup di bawah kekuasaan NIIS dan kemudian berperang untuk merebut kembali Mosul, para perempuan muda kota itu merasa telah dibebaskan dari belenggu NIIS. Mereka yang terlibat penyelamatan buku-buku itu tidak memandang perempuan dan laki-laki, suatu hal yang langka dalam masyarakat Mosul.
”Sebuah penghalang telah didobrak. Mungkin hal ini sepele bagi seluruh dunia, tetapi bagi Mosul, hal itu sangat besar,” kata Hammoudi.
Beberapa bulan setelah Irak mengumumkan telah menguasai penuh Mosul, kehidupan kota itu kembali berderak di beberapa bagian wilayahnya. Namun, di sebagian besar area Kota Tua, lokasi pertempuran terakhir, area tersebut sebagian besar masih hancur.
Diyaa al-Taher (30), warga yang membantu memperbaiki rumah-rumah, mengatakan, kebanyakan warga kota meskipun miskin telah kembali ke lingkungan tempat tinggal mereka dan membersihkan puing-puing. Namun, ada area yang masih benar-benar kosong dan banyak jenazah yang tertinggal bawah puing-puing bangunan.
”Kemiskinan lebih berbahaya daripada NIIS. Jika kota tetap seperti ini dan warga miskin tidak dapat menemukan apa pun untuk dimakan, mereka akan melakukan apa saja,” ucap Taher.
Menurut dia, targetnya adalah memperbaiki 1.000 rumah dan sejauh ini telah selesai 75 rumah. Semua itu dilakukan dengan hanya mengandalkan sumbangan dari penduduk setempat. (REUTERS)