Artidjo: Hakim Seharusnya Perberat Hukuman Koruptor
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hakim memiliki peran yang sangat penting dalam memvonis hukuman bagi para terpidana kasus korupsi. Oleh karena itu, seorang hakim harus memperberat vonis hukuman agar memberikan efek jera untuk para koruptor.
Hakim Agung Artidjo Alkostar di Jakarta, Rabu (30/5/2018), menyampaikan, seorang hakim yang profesional tidak akan terfokus pada tuntutan dalam memberikan vonis hukuman, khususnya dalam kasus besar, seperti korupsi.
”Seorang hakim seharusnya memperberat hukuman untuk koruptor agar memberikan efek jera,” ujar Artidjo dalam diskusi bertema ”Hukum yang Menjerakan Koruptor”.
Seorang hakim seharusnya memperberat hukuman untuk koruptor.
Dalam sejumlah perkara kasus korupsi yang ditanganinya, Artidjo yang akan pensiun pada 1 Juni mendatang memang kerap memperberat hukuman untuk para koruptor.
Beberapa koruptor yang pernah diperberat hukumannya oleh Artidjo adalah mantan anggota DPR, Angelina Sondakh, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Angelina Sondakh yang semula divonis 4,5 tahun diperberat menjadi 12 tahun penjara, sedangkan Anas yang semula divonis 7 tahun diperberat menjadi 14 tahun penjara.
Keputusan Artidjo memperberat hukuman karena dia selalu berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur tentang kewenangan tafsir pada suatu pasal dalam undang-undang yang tidak jelas.
”Pasal yang saya terapkan berbeda dengan pasal yang diterapkan hakim lain. Dalam perkara korupsi di tingkat pengadilan negeri dan tinggi, umumnya menerapkan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, sedangkan di tingkat kasasi MA, saya menerapkan Pasal 2 UU Tipikor.”
Artidjo menggunakan Pasal 2 UU Tipikor karena pasal tersebut dapat menjerat koruptor dengan hukuman yang lebih berat dibandingkan Pasal 3.
Dalam Pasal 2, hukuman untuk kasus korupsi adalah dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Sementara dalam Pasal 3, hukuman paling singkat untuk koruptor adalah 1 tahun dan paling lama 20 tahun.
Agar membuat citra Indonesia bersih dari kasus korupsi, Artidjo juga mendukung rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang mantan napi koruptor mencalonkan diri menjadi calon legislastif (caleg). ”Tidak etis jika mantan napi koruptor mencalonkan kembali menjadi anggota legislatif,” ujarnya.
Tidak pernah jera
Menurut Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter, vonis hukuman ringan yang diterima dari hakim membuat para koruptor tidak pernah jera melakukan korupsi. Hal tersebut terjadi karena jaksa juga menuntut koruptor dengan hukuman yang ringan.
Vonis hukuman ringan yang diterima dari hakim membuat para koruptor tidak pernah jera melakukan korupsi.
”Putusan hakim tidak dapat dipisahkan dari tuntutan penuntut jaksa umum. Wajar saja putusan hakim rata-rata 2 tahun 2 bulan karena tuntutan dari jaksanya sendiri hanya 3 tahun 2 bulan,” ujar Lalola.
Hasil kajian ICW sepanjang 2017 terhadap 1.249 perkara korupsi menunjukkan, rata-rata vonis terhadap koruptor di pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Rata-rata, vonis pada 2017 tersebut juga tidak bergerak atau stagnan jika dibandingkan dengan rata-rata vonis koruptor pada 2016 (Kompas, 30 Mei 2018).
Namun, tren sedikit berbeda dalam vonis kasasi di MA. ICW mencatat, MA rata-rata memutus 5 tahun penjara dalam perkara korupsi.
Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, penjeraan para koruptor memang harus dimulai oleh ketegasan aparat penegak hukum, terutama hakim. Meski tidak langsung membuat jera para pelaku koruptor, memperberat hukuman dapat mengurangi potensi terjadinya kasus koruptor.