”… Opo boso inggrise mejo? The table. Nek boso inggrise kursi? The chair. Lha, boso inggrise kelapa muda? Degan (bahasa Jawa untuk kelapa muda) …” dan meledaklah tawa penonton saat adegan banyolan pementasan tobong oleh Perkumpulan Kesenian Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara Surabaya berjudul Ojok Keminggris Part 2 (Jangan Keinggris-inggrisan Bagian Dua), Sabtu (26/5/2018) malam, di Taman Hiburan Rakyat, Surabaya, Jawa Timur.
”Nah saiki, nek diterjemahke, I don’t know iku opo,” kata peludruk tua itu bertanya kepada anak kecil.
”Tidak tahu,” jawab peludruk anak itu.
”Lho, yak opo sih. Jarene wis diajari boso inggris. Kok gak weruh sih. I don’t know iku opo (Bagaimana sih, katanya sudah diajari bahasa Inggris kenapa tidak tahu. I don’t know itu apa?” kata orang tua itu lagi dengan mimik serius,
”Jawabane, Cak, tidak tahu,” kata anak itu lagi dengan nada jengkel.
”Jian koen iku (dasar kamu itu),” balas si orang tua.
Materi lawakan itu tidak baru-baru amat. Namun, entah mengapa, percakapan peludruk tua dengan dua peludruk anak di panggung itu tetap menggelitik kuping dan membuat tertawa. Konsentrasi penulis yang memotret suasana menjadi agak terganggu karena turut cekikikan.
Meski dua anak itu masih sekolah dasar, kemampuan ludruk mereka cukup bagus. Jika terus berlatih dan pentas rutin, kemampuan akting ludruk mereka akan kian bagus. Apalagi jika mengetahui anak-anak yang dilibatkan dalam pentas ludruk tidak sedikit. Ada jalan menuju terang pelestarian ludruk, teater rakyat tradisional khas Jawa Timur.
Sabtu malam itu, pertunjukan dimulai pukul 20.20 WIB karena menunggu kalangan penonton usai melaksanakan shalat Tarawih. Biasanya, tobong atau pergelaran rutin dalam gedung THR yang dibilang sudah reyot itu dimulai pukul 19.30. Pementasan setiap Sabtu malam merupakan komitmen perkumpulan untuk melestarikan ludruk yang dianggap kian dilupakan oleh warga ”Kota Pahlawan”, julukan Surabaya.
Ojok Keminggris Part 2 menceritakan keinginan kalangan pemuda dan pemudi melanjutkan studi meraih gelar kesarjanaan di mancanegara, dalam hal ini Amerika Serikat. Mereka memahami jika di tempat baru harus menyesuaikan diri terutama dengan keterampilan bahasa Inggris yang dituturkan di ”Negeri Paman Sam” itu.
Bahkan, tidak cuma kemampuan berbahasa yang perlu dikuasai, tetapi ”mengubah” perwajahan dan perilaku menjadi orang sana, antara lain mengecat rambut menjadi pirang atau warna warni, bercakap-cakap bahasa Inggris sebagai bentuk latihan dengan keluarga yang notabene kurang terampil, hingga membiasakan diri dengan makanan dan minuman di negara tujuan.
Perubahan itu membuat gelisah orangtua dan kerabat. Namun, ada saja yang dengan cerdik mengingatkan untuk tak melupakan asal-usul. Sebelum muda-mudi itu bertolak, sang bibi menitip petis dan sambal pecel. Sang bibi yakin keponakan akan rindu cita rasa suroboyoan yang didominasi petis; gel hitam dan berbau tajam yang terbuat dari udang segar ditumbuk halus lalu direbus dengan air abu merang ditambahi berbagai ramuan bumbu. Siapa tahu jika kepepet sang keponakan nekat menyantap makanan khas AS yang dicocol ke sambal petis atau sambal pecel.
Namun, bukan itu semata yang membuat gelisah keluarga. Muda-mudi itu diceritakan lahir dan tumbuh di lingkungan Arek Suroboyo yang bertradisi khas, antara lain bisa remo, ludruk, dan gamelan. Keluarga cemas jika anak-anak itu di sana nanti tak berani menunjukkan kemampuan itu sebagai kekayaan budaya tetapi tenggelam dalam perilaku yang kurang terpuji.
Heather Variava, Konsul Jenderal AS di Surabaya yang segera mengakhiri masa tugas dan Sabtu malam itu turut pentas ludruk, mengatakan, para pelajar dari luar negeri jangan kehilangan jati diri. Jika menuntut ilmu di AS, jangan malu tunjukkan diri sebagai orang Indonesia, khususnya Arek Suroboyo dengan kearifan budaya tersendiri.
”Itu akan menjadi dialog kebudayaan yang bagus untuk memperkuat toleransi dan saling menghargai,” katanya.
Toleransi memang perlu dikuatkan. Apalagi, dua pekan sebelumnya atau Minggu (13/5/2018) dan Senin (14/5/2018), Surabaya digunjang teror bom. Pada Minggu, teror bom di tiga gereja menewaskan 13 orang dari kalangan umat dan warga juga 6 (satu keluarga) pelaku horor berdarah tersebut.
Pada Senin, teror bom di Polrestabes Surabaya menewaskan 5 (satu keluarga) pelaku insiden mengerikan tersebut. Teror bom merupakan bukti sahih bahwa pelaku tidak memberi ruang pada perbedaan. Yang berbeda dibunuh meski dengan cara keji, meledakkan diri bersama anak-anak mereka.
Meimura, Sekretaris Irama Budaya Sinar Nusantara sekaligus sutradara Ojok Keminggris Part 2, mengatakan, dalam konteks teror bom itu, ludruk yang dipentaskan bersama rekan-rekannya turut bertujuan menghibur dan kampanye terhadap radikalisme dan terorisme.
Teror bom menodai watak Arek Suroboyo yang egaliter dan gotong royong. Ludruk juga ingin mengingatkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan bangsa Indonesia. Penyeragaman apalagi dengan jalan berdarah tidak akan hidup. Toleransilah yang perlu mendapat tempat.
”Semoga pementasan ini juga mengingatkan publik pentingnya perdamaian, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mencintai bangsa dan negeri sendiri,” katanya.