Cipadu-Cipulir Meniti Asa
Hanya yang ulet bisa bertahan menjadi pedagang. Kegigihan para pedagang menjadi kunci hidup mati sebuah pasar. Kepada para pedagang inilah Pasar Cipadu dan Cipulir menggantungkan asa.
Saat Pasar Regional Tanah Abang terbakar, pamor Pasar Cipulir, Jakarta Selatan, dan Pasar Cipadu, Kota Tangerang, Banten, menjadi terangkat. Para pedagang banyak hijrah ke pasar di wilayah selatan Jakarta atau timur Kota Tangerang tersebut. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, pasar yang disebut sebagai kembaran Pasar Tanah Abang ini terus melesu. Namun, pedagang memilih bertahan dalam berbagai kepungan kendala.
Tidak banyak yang berubah saat menelusuri Jalan Cipadu Raya, mulai dari Kreo, Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, hingga Pondok Betung, Jurang Mangu, Tangerang Selatan, Sabtu (26/5/2018). Sepanjang 3 kilometer jalan tersebut, baik di sisi kiri maupun kanan, terdapat ratusan kios dan toko.
Produk yang mendominasi di sini adalah tekstil dan garmen, seperti benang jahit dan obras, kancing, resleting, renda dan pita, hingga pakaian anak, dewasa. Bahkan, gorden dan seprei tersedia. Beragam model gorden dan corak bed cover menjadi andalan kawasan ini. Di tempat ini juga masih menjual jenis tekstil, mulai dari bahan katun, satin, brokat, kaus, poliester, hingga tenun, dan sutra.
Yang berbeda adalah jumlah kawasan ruko yang pada tahun 2005 masih sebanyak 10 kawasan ruko meningkat menjadi 13 kawasan ruko. Jika awalnya banyak pedagang dari Jawa Barat, Jawa, kini sebagian besar pedagang berasal dari Sumatera, terutama Sumatera Barat.
Namun, bertolak belakang dengan tumbuh suburnya kawasan ruko, saat ini pedagang justru tidak lagi banyak tersenyum. ”Sudah lebih dari 10 tahun terakhir ini kondisinya seperti ini, pembeli sepi. Tak banyak orang beli gorden, bahkan pas puasa jelang Lebaran saat biasanya banyak orang berbenah di rumah. Tahun ini sepinya lebih berasa,” kata Supri, pedagang Toko Prima Gordin di Pertokoan Ratu Ayu, Cipadu, Jumat (25/5/2018).
Jika lebih dari sepuluh tahun lalu omzet bisa rata-rata Rp 30 juta hingga Rp 50 juta per hari, kini dalam seminggu ia hanya bisa mendapatkan Rp 10 juta.
Husen (42), pedagang di Toko Class Moda, Textile & International Tailor, Pertokoan Mulya Jaya, Cipadu, mengatakan, biasanya dua sampai sebulan menjelang Ramadhan, pembeli didominasi mereka dari luar Jakarta dan Tangerang. Malah dari Malaysia sengaja datang ke Cipadu membeli kain.
”Sekarang ini, ada sih yang datang, tetapi tidak sebanyak dulu. Malah yang datang ke sini, pembeli dari Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang. Itu pun lebih banyak membeli kain untuk kebutuhan seragam nikahan setelah Lebaran,” ujar Husen, Sabtu.
Husen mengatakan, sampai minggu ketiga sebelum Lebaran omsetnya belum mencapai Rp 20 juta sebulan. Padahal, saat jaya dulu, bisa Rp 30 juta-Rp 40 juta per minggu.
Faisal (39), pedagang kain di Pasar Mulya Jaya 3, Cipadu, juga merasakan hal yang sama. Pendapatan pas-pasan hanya bisa menutup kebutuhan modal dan biaya operasional. ”Dalam kondisi seperti ini, jangankan mikir usaha berkembang, bisa bertahan, syukur,” katanya.
Kios kosong di Cipulir
Jika di Cipadu ramai kios tapi sepi pembeli, di Cipulir sebagian kios kini tak berpenghuni. Pasar pusat produk tekstil dan garmen di Jakarta Selatan ini pun minim pembeli. Tepatnya di Jalan Ciledug Raya, mengapit Sungai Pesanggrahan, ada Pasar Cipulir yang dikelola PD Pasar Jaya, pasar modern ITC Cipulir Mas (di seberang Pasar Cipulir), dan pusat perbelanjaan Metro Cipulir. Antarpasar berjarak 30-50 meter saja.
Sejauh pengamatan, Jumat dan Sabtu (26/5/2018), terlihat tidak banyak yang belanja di lantai dasar, 1, 2, dan 3 yang didominasi kios produk tekstil untuk anak ataupun dewasa, juga aneka baju muslim tersebut. Di pusat kios telepon seluler di lantai empat pun lengang.
”Sejak empat tahun lalu, pembelinya sepi. Sejak buka dari pagi sampai sore hari ini, cuma ada satu kodi yang laku (1 kodi = 20 potong). Empat tahun lalu, sehari bisa habis 20 kodi,” kata Sara (27), karyawan Toko Key Siin, lantai 1 ITC Cipulir.
Santi, salah satu staf di Pasar ITC Cipulir Mas, mengakui sepinya pengunjung. Penyebabnya, antara lain, makin banyak konsumen beralih ke toko online. Namun, hingga Selasa (29/5/2018), permintaan data pasti jumlah pengunjung dan tingkat okupansi di ITC Cipulir Mas kepada pihak manajemen PT Bangun Mustika Inti Persada tak berbalas.
Selain sepinya pembeli, banyak kios yang kosong terutama di lantai 3 dan 4 pasar tersebut. ”Belum ada yang menyewa kios-kios itu,” kata seorang pedagang di lantai 3.
Masyarakat lebih selektif
Di mata pedagang, lesunya transaksi karena berbagai hal.
”Seharusnya, pemerintah segera melakukan upaya agar ada pemulihan ekonomi. Kalau dulu, saat krisis ekonomi, tekstil dan garmen yang bangkit. Kali ini, produksi perajin banyak tetapi pembelinya sedikit,” kata Supri.
Bagi Supri, penyebab lesunya perdagangan di pasar Cipadu adalah dalam kondisi ekonomi saat ini, masyarakat lebih selektif memilih kebutuhan mendesak. ”Lebaran kali ini berdekatan dengan tahun ajaran baru,” katanya.
Faisal mengatakan, dulu banyak orang memilih membeli bahan kain dan dijahit sendiri. Kini, lebih baik beli jadi karena praktis dan lebih murah. Hal ini karena ongkos menjahit kadang jauh lebih mahal dibandingkan harga kainnya. Lebih praktis lagi ketika belanja daring jadi tren.
Entah bagaimana konsumen mengakses produk tekstil, sebenarnya pasar besar bagi para perajin produk tekstil dan garmen itu masih ada. Orang tetap butuh baju, seprei, hingga produk tekstil untuk pernak-pernik rumah tangga lain.
Campur tangan pemerintah agar iklim pasar positif dengan menghalau krisis memang dibutuhkan. Namun, para pedagang yang pantang menyerah, bertahan setiap kali kendala mendera, adalah nyawa pasar. Selama asa itu ada, pasar akan tetap hidup.