JAKARTA, KOMPAS — Islam, menurut Proklamator sekaligus juga presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, mengajarkan bagaimana umatnya harus membangun peradaban bangsa. Muslim, menurut Bung Karno, tak boleh hanya berasyik masyuk dengan ritual keagamaan, tetapi juga berorientasi untuk memproduksi ilmu pengetahuan yang menjadi sumber kemajuan sebuah bangsa.
Pancasila dinilai sebagai ideologi yang lahir dari pergulatan pemikiran Soekarno tentang Islam, kebangsaan, dan ketatanegaraan. Menurut pengajar Universitas Nahdlatul Ulama, Neng Dara Affiah, Soekarno memiliki pandangan bahwa menjadi Muslim harus memiliki orientasi kemajuan yang mampu memproduksi ilmu pengetahuan.
”Menurut pandangan Bung Karno, menjadi Muslim tidak hanya berasyik-masyuk dengan berbagai ritual keagamaan, tetapi juga mampu membangun kemajuan peradaban umat manusia,” kata Neng Dara dalam diskusi bertajuk ”Bung Karno Memandang Islam dan Ilmu Pengetahuan” di Megawati Institute, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Pada 1 Juni nanti, Indonesia juga merayakan Hari Kelahiran Pancasila. Neng Dara menjelaskan, Pancasila merupakan salah satu gagasan dari Soekarno yang bertujuan untuk menangkal kemunduran pemikiran umat Islam di Indonesia.
”Seharusnya Islam harus berani mengejar zaman, bukan tertinggal 100 tahun lalu, atau seribu tahun,” katanya.
Pancasila menjadi dasar bagi Islam berkembang secara moderat. Menurut Neng Dara, pola pemikiran tentang Islam yang moderat inilah yang bisa menjadi penangkal radikalisme agama, sesuatu yang beberapa tahun terakhir justru berkembang di Indonesia.
Menurut Dara, Bung Karno juga mengkritik umat Islam yang memahami agamanya hanya sebatas label dan atribut, tetapi tidak memahami isi atau substansi ajaran Islam.
”Jadi, dalam pemahaman Bung Karno, umat tersebut hanya memahami Islam dari abunya saja, bukan dari apinya,” kata Neng Dara.
Dalam diskusi yang sama, pengajar dari Universitas Paramadina, Novriantoni Kahar, menjelaskan, Soekarno merupakan salah satu figur yang menolak pemikiran Islam tradisional. Selain itu, buah pemikiran Soekarno terkait Islam yang modern ini juga bertujuan untuk menangkal fanatisme dan radikalisasi.
”Bung Karno tidak sepaham dengan sistem taklid buta, yaitu sikap tunduk kepada pemikiran para ustaz atau kiai yang hanya berorientasi pada ajaran keagamaan. Menurut Soekarno, seharusnya pesantren juga dibekali dengan ilmu pengetahuan yang bersifat sains,” ujarnya.
Novriantoni menjelaskan, sejak usia 16 tahun, Bung Karno telah menjadi seorang pemikir yang idealis. Bung Karno pertama kali mengenal ajaran Islam melalui perkenalannya dengan HOS Cokroaminoto ketika ia memasuki usia remaja.
”Bung Karno banyak juga menulis tentang buah pemikirannya terhadap Islam. Selain itu, ia juga menganjurkan agar para pemuka agama Islam dapat mempelajari sejarah bangsa dan memiliki pemahaman global,” ucapnya.
Pembicara diskusi lainnya, Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Mohammad Monib, mengatakan, tantangan bagi para penggerak moderasi Islam di Indonesia berbeda dari zaman ke zaman. Di era ketika Soekarno berkuasa, masyarakat Indonesia masih mudah digerakkan dengan isu nasionalisme, bukan agama. Oleh karena itu, golongan yang dapat memobilisasi massa ketika itu berasal dari kalangan nasionalis.