Sepekan setelah lengsernya Presiden Soeharto, suasana euforia masih sangat kental. Mahasiswa secara bergiliran masih berdatangan ke Gedung MPR/DPR untuk menuntut janji-janji reformasi. Sementara pemerintahan baru yang dipimpin Presiden BJ Habibie dan DPR bekerja keras merumuskan landasan legal terhadap proses reformasi dalam bentuk perangkat perundang-undangan.
Undang-undang yang menjadi prioritas DPR untuk diselesaikan dalam enam bulan setelah turunnya Soeharto antara lain UU tentang Pemilu, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, UU Kepartaian, dan lainnya. Pembahasan UU ini antara lain akan menentukan apakah masa kepemimpinan presiden akan dibatasi, apakah militer akan tetap berada di parlemen atau tidak, apakah jumlah partai politik di Indonesia akan dibatasi seperti di Orde Baru atau tidak, bagaimana persyaratan sebuah partai memperoleh kursi di parlemen, dan lainnya.
Semua perangkat UU tersebut akan menjadi bekal bagi penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan baru di era reformasi. Pemerintah telah menetapkan Sidang Istimewa MPR berlangsung pada akhir 1998 dan pemilu berlangsung pada 1999.
Pemerintahan Habibie mendapat banyak tekanan untuk secepat-cepatnya mengubah aturan yang membelenggu di zaman Orde Baru.
Bisa dibayangkan bagaimana pemerintahan Habibie saat itu mendapat banyak tekanan untuk secepat-cepatnya mengubah aturan yang membelenggu di zaman Orde Baru. Tekanan itu datang, antara lain, dari kalangan ulama, aktivis, mahasiswa, partai-partai, dan ormas. Namun, pemerintah juga menyadari bahwa fondasi harus dibuat kokoh agar bangsa ini bisa memasuki era baru tanpa keributan.
Isyarat itu tecermin dalam berita utama di harian Kompas pada 30 Mei 1998 bertajuk ”Habibie: Siapa Saja Boleh Bentuk Partai”. Sementara foto utamanya tentang pertemuan Habibie di kediaman Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan.
Dalam berita itu, Presiden BJ Habibie menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membatasi pembentukan partai asalkan berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta tidak mengandung unsur suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). ”Pemerintah ingin melaksanakan reformasi total secara damai,” kata Habibie.
Masalah partai politik menjadi sorotan utama saat itu, karena tak lama setelah kejatuhan Soeharto, aspirasi masyarakat untuk membentuk partai baru demikian kuat. Salah satunya seperti terlihat pada berita di halaman yang sama (halaman pertama), berjudul ”Mien Sugandhi Menyimpang”, yang menunjukkan dinamika politik yang terjadi pada salah satu onderbouw Golkar, yaitu Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Ketua MKGR Mien Sugandhi mendeklarasikan ormas yang dipimpinnya sebagai Partai MKGR.
Dinamika serupa juga terjadi pada ormas-ormas lain yang beramai-ramai mendirikan partai baru. Alhasil, jika di era Orde Baru partai politik hanya tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia, menjelang Pemilu 1999 ada 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman dan HAM.
Menjelang Pemilu 1999 ada 141 partai politik mendaftarkan diri dan yang lolos menjadi peserta pemilu ada 48 partai.
Dari jumlah itu, yang lolos untuk menjadi peserta pemilu adalah 48 partai. Hal ini juga berpengaruh pada kertas suara pemilu. Jika selama puluhan tahun peserta pemilu biasanya hanya mencoblos di selembar kertas bergambar tiga partai, pada Pemilu 1999, ukuran kertas suara menjadi jauh lebih lebar dan harus dilipat beberapa kali karena berisi gambar 48 partai.
Partai ”lama” unggul
Namun, kita kemudian melihat bahwa partai-partai yang menjamur ini sebagian besar rontok dan tidak pernah terdengar lagi kiprahnya. Hasil Pemilu 1999 menunjukkan, partai-partai politik yang memperoleh suara terbanyak merupakan partai ”lama” atau partai yang didukung oleh institusi yang sudah mapan.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dengan 34 persen, disusul dengan Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung (22 persen), Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan Abdurrahman Wahid dengan dukungan Nahdlatul Ulama (13 persen), Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz (11 persen), dan Partai Amanat Nasional yang dimotori Amien Rais dari Muhammadiyah (7 persen).
Meski PDI-P meraih suara terbanyak dalam pemilu, hal itu tidak serta-merta menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Pertarungan di arena Sidang Umum MPR yang berlangsung tanggal 1-21 Oktober 1999 diwarnai drama politik mengejutkan. Pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pemungutan suara tertutup.
Dari 690 anggota MPR yang memberikan suaranya, 355 suara menolak pertanggungjawaban, 322 suara menerima, 9 abstain, dan 4 suara tidak sah. Sejumlah fraksi menyebutkan, penolakan itu karena Habibie gagal melaksanakan amanat rakyat untuk mengusut kekayaan Soeharto dan keluarganya serta Habibie bertanggung jawab atas lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Dengan ditolaknya pertanggungjawaban Habibie, Habibie mundur dari pencalonan presiden.
Dengan mundurnya Habibie, calon presiden tinggal Megawati dan Gus Dur. Berbeda dengan pemilihan presiden saat ini, pada 1999, pemilihan presiden masih melalui persetujuan MPR. Dalam pemungutan suara malam itu, dukungan bagi kedua kandidat saling berkejaran, tetapi pada akhirnya Gus Dur yang didukung oleh Poros Tengah (aliansi partai-partai yang berasaskan Islam, yaitu PKB, PAN, PPP, Partai Keadilan, dan Partai Bulan Bintang) unggul 60 suara dari Megawati. Gus Dur kemudian ditetapkan sebagai Presiden RI dan dilantik melalui Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1999, sedangkan Megawati menjadi Wakil Presiden RI.