Wapres: Kriminalisasi Tak Mudah Terjadi di Era Demokrasi
Oleh
Nina Susilo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meyakini waktu tiga bulan akan mencukupi untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Banyaknya pasal yang dinilai bermasalah tak menyurutkan niat untuk segera mengesahkan RKUHP. Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan meyakini kriminalisasi akibat adanya pasal-pasal bermasalah di RKUHP tak akan terjadi di era demokrasi ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu (30/5/2018) di Kantor Wapres, Jakarta, mengatakan, sepanjang pemerintah dan DPR intensif bertemu dan membahas RKUHP, waktu hampir tiga bulan ini akan sangat cukup. ”Undang-Undang (tentang Pemberantasan Tindak Pidana) Terorisme saja selesai dalam lima hari. Ini masih ada tiga bulan. Saya yakin, kalau DPR mau, bisa, tiga bulan cukup untuk menyelesaikan soal ini,” ujarnya kepada wartawan.
Sebelumnya, pada buka puasa bersama Presiden Joko Widodo dan Wapres Kalla di rumah dinas Ketua DPR, di kawasan Widya Chandra, Jakarta, Senin (28/5/2018), Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan, DPR akan memberikan kado terindah untuk hari ulang tahun Indonesia mendatang. Kado tersebut adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru sebagai pengganti KUHP yang disebut Bambang sebagai peninggalan pemerintah kolonial Belanda.
Masalahnya, RKUHP yang diusulkan pemerintah mengandung banyak sekali pasal-pasal yang akan mengkriminalisasi warganya. Dalam Pasal 484 Ayat 1 Huruf e draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, misalnya, diatur pidana untuk laki-laki dan perempuan yang melakukan persetubuhan tetapi tidak terikat perkawinan yang sah. Hal ini dinilai akan mengkriminalisasi masyarakat adat dan pasangan miskin yang kesulitan menikah secara resmi. Korban kekerasan seksual juga akan takut melaporkan kejadian yang menimpanya karena laporan bisa berbalik mengkriminalkannya dengan pasal tersebut.
Hal serupa terjadi pada aktivis yang menyampaikan informasi mengenai penggunaan kontrasepsi. Kriminalisasi bisa terjadi sebab ada pasal yang mengatur mengenai pidana terkait penyebarluasan informasi dan distribusi alat kontrasepsi.
Pasal mengenai pidana penghinaan kepada presiden dan wakil presiden juga menuai kontroversi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi pun telah membatalkan pasal ini. Namun, pemerintah menganggap pasal ini diperlukan sehingga dihidupkan kembali.
Menurut Wapres Kalla, mengkritik dengan basis data boleh saja dilakukan, tetapi menghina kepala negara tidak boleh dibiarkan. Negara mana pun memiliki aturan serupa.
Wapres Kalla mencontohkan aturan yang berlaku di Thailand kendati mengakui aturan di negeri ini tak persis sama dengan konteks di Indonesia. ”Di Thailand, menghina anjing (raja) saja bisa masuk penjara. Kita sih tidak seperti itu, sama sekali jangan disamakan. Tetapi, maksud saya, semua negara juga mempunyai aturan serupa,” katanya.
Ketika ditanyakan mengenai risiko kriminalisasi dan pelanggaran HAM dalam penerapan pasal-pasal bermasalah tersebut, Wapres Kalla mengatakan, hakim dan jaksa akan membatasi mana yang kriminalisasi dan mana yang bukan. Lagi pula, menurut Kalla, kriminalisasi hanya terjadi ketika pemerintahan berlangsung otoriter. Ketika pemerintahan demokratis, mengkriminalisasi seseorang secara serampangan tak bisa dilakukan.
”Pengalaman kita selama ini, kriminalisasi tidak seperti dulu. Dulu seenaknya bisa masuk penjara, sekarang mana? Ndak ada,” ujarnya.