JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah sedang mengkaji Arab Saudi sebagai negara pertama tujuan pengiriman pekerja migran Indonesia di kawasan Timur Tengah. Sebelumnya, pemerintah melarang pengiriman pekerja migran ke kawasan tersebut sejak tahun 2015.
Direktur Penyiapan dan Pembekalan Pemberangkatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Arini Rahyuwati, ketika dikonfirmasi, di Jakarta, Kamis (31/5/2018), mengatakan, pembahasan terkait Arab Saudi sebagai negara tujuan penempatan dilakukan atas permintaan negara tersebut.
“Jaminan perlindungan yang diberikan adalah Arab Saudi akan menerapkan One Channel System,” kata Arini. Kendati demikian, ia belum dapat menjelaskan secara detil terkait cara kerja sistem itu. Hal itu karena Kementerian Ketenagakerjaan masih menyusun atauran dan prosedur pengiriman tenaga kerja ke kawasan Timur Tengah.
Kepala Bagian Humas BNP2TKI Servulus Bobo Riti menambahkan, pemilihan Arab Saudi juga berdasarkan pertimbangan bahwa negara itu telah memperbaiki sistem hukum ketenagakerjaannya. Misalnya, dengan memperkuat hukum perlindungan tenaga kerja asing.
Ditambah lagi, Arab Saudi adalah mitra strategis Indonesia dalam berbagai kerjasama yang sejak lama. Ia menambahkan, tidak menutup kemungkinan negara lain di kawasan Timur Tengah akan menjadi tujuan berikutnya, bergantung dari perkembangan situasi mengenai Arab Saudi.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, secara terpisah mengatakan, Arab Saudi adalah negara kawasan Timur Tengah yang paling rawan dengan pelanggaran keamanan dan kesejahteraan pekerja migran Indonesia.
“Negara yang baru layak direkomendasi saat ini adalah Qatar dan Uni Emirat Arab,” ujarnya. Dengan demikian, pemerintah diminta untuk lebih selektif memilih negara tujuan pengiriman pekerja migran Indonesia di kawasan Timur Tengah.
Pemilihan Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) berdasarkan pertimbangan baik kedua negara adalah negara yang modern, lebih liberal, melek teknologi, dan terbuka dengan orang asing.
Ditambah lagi, kedua negara tidak lagi menerapkan sistem kafalah. Sistem kafalah adalah sistem dimana majikan menempatkan pekerja sebagai bagian dari properti yang tidak bisa lagi diganggu gugat.
Berdasarkan catatan rekapitulasi data kasus yang melibatkan pekerja migran tahun 2013-2017 oleh Migrant Care, total kasus yang terjadi Arab Saudi mencapai 152 kasus selama lima tahun tersebut. Jumlah itu menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan negara kawasan Timur Tengah lainnya, seperti UEA yang mencapai 20 kasus dan Qatar mencapai 5 kasus.
Wahyu menambahkan, penutupan saluran pengiriman ke kawasan Timur Tengah selama sejak tahun 2015 telah menurunkan minat calon pekerja migran untuk berangkat ke sana. Kasus-kasus kekerasan yang terjadi juga menjadi faktor utama lainnya. “Mereka sekarang lebih tertarik ke Taiwan atau Hongkong,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyatakan, negara di kawasan Asia Timur lebih disukai karena perlakuan terhadap pekerja migran lebih manusiawi. “Saya tidak melihat perbaikan itu di Timur Tengah, sementara kondisi di sana juga tidak stabil” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya melarang pemberangkatan pekerja migran ke negara kawasan Timur Tengah. Larangan dimuat dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah.
Dalam keputusan itu disebutkan, larangan diberikan akibat banyaknya permasalahan yang menimpa pekerja migran dan lemahnya jaminan perlindungan di negara kawasan itu.
Terdapat 19 negara yang masuk dalam daftar pelarangan. Mereka adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.
Bilateral
Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi, menyatakan, Indonesia tidak memiliki perjanjian bilateral tertulis terkait tenaga kerja dengan negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah.
“Indonesia dan Arab Saudi pernah membuat nota kesepahamanan tahun 2014, tetapi sampai sekarang kedua negara belum meratifikasinya,” katanya, dalam dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri RI.
Dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, terdapat tiga syarat yang harus dimiliki negara tujuan penempatan. Negara tersebut harus memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, sistem jaminan sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing, serta perjanjian tertulis antara pemerintah Indonesia dan negara tujuan penempatan.
Retno menegaskan, perlindungan pekerja migran akan lebih maksimal ketika tiga syarat tersebut tetap dijaga.
Terlalu mahal kalau mengorbankan pekerja migran kita. Ini bukan soal devisa, tetapi nyawa
Sukamta mengucapkan, beredar berita Indonesia akan segera mengirim puluhan ribu pekerja migran setiap bulan. Dengan demikian, perlindungan yang perlu diberikan pemerintah membutuhkan kerja keras yang luar biasa.
Menurut dia, terlalu mahal harga yang harus dibayar pemerintah jika keputusan pengiriman tidak dilakukan melalui pertimbangan yang tepat. “Terlalu mahal kalau mengorbankan pekerja migran kita. Ini bukan soal devisa, tetapi nyawa,” tuturnya.