MALANG, KOMPAS — Seni menjadi salah satu media yang tepat bagi orang dengan gangguan jiwa untuk mengekspresikan diri secara bebas. Dalam kondisi mereka yang tanpa beban, simbol-simbol dan lambang-lambang seni yang kuat justru bisa bermunculan.
Situasi inilah yang diamati dua kurator Festival Bebas Batas, Hendromasto dan Sudjud Dartanto saat mendampingi pelatihan menggambar yang digelar di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr Arif Zainudin, Surakarta, RSJ Bali, RSJ Bandar Lampung, dan RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang.
“Seniman pada umumnya bercita-cita menghasilkan simbol dan lambang yang kuat. Ketika kami menemani orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) melukis, simbol-simbol dan lambang-lambang yang kuat dan murni itu muncul tanpa beban. Simbol dan lambang memiliki peran dalam dunia seni rupa,” kata Sudjud yang juga pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan kurator Galeri Nasional Indonesia, Rabu (30/5/2018).
Di RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Sudjud mengamati beberapa ODGJ bisa mengeksplorasi simbol-simbol dan lambang-lambang dengan bentuk-bentuk alternatif di luar bahasa umum. Simbol dan lambang yang muncul dari karya-karya ODGJ adalah simbol dan lambang yang hidup karena mewakili ungkapan batin mereka dan mampu membawa masuk penikmat karya ke dalam ruang-ruang gagasan mereka.
“Mereka mampu keluar dari mode kultural. Mereka sangat luar biasa karena bisa menghasilkan kode-kode yang sifatnya tidak umum. Seperti halnya yang dilakukan teman-teman ODGJ, bahasa yang digunakan di dunia kesenian juga bahasa-bahasa simbol dan lambang,” katanya.
Dalam pelatihan menggambar di Gedung Adiyuswa RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, beberapa ODGJ menggambar tema-tema lukisan yang unik. Seorang ODGJ manula tiba-tiba menggambar tiga huruf besar bertuliskan LBS yang dihiasi dengan goresan-goresan warna tak beraturan.
“Saat kami bertanya, ternyata tiga huruf itu merupakan singkatan dari kata-kata lebih baik senang. Benar-benar sebuah gagasan di luar penalaran kita,” ucap Sudjud.
Sama-sama memiliki nilai
Menurut Hendromasto, dalam fase tertentu, penikmat seni rupa tidak akan peduli apakah sebuah karya seni dihasilkan oleh orang normal atau ODGJ. “Batasan-batasan itu runtuh dalam kacamata seni rupa karena yang dilihat pada akhirnya adalah sebuah karya,” kata Hendromasto.
Menurut Hendro, selain digelar di empat RSJ, pelatihan menggambar masih akan digelar satu kali lagi di RSJ Dr Soeharto Heerdjan, Jakarta. Rencananya, 50 lukisan dari ODGJ di lima RSJ tersebut akan dipamerkan di beberapa titik lokasi di Jakarta, yaitu di Ruang Tunggu Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Halte Bus Sarinah dan Harmoni, serta Stasiun Sudirman dan Gambir.
Pelatihan menggambar di RSJ merupakan salah satu rangkaian dari Festival Bebas Batas yang digelar Direktorat Kesenian, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan Galeri Nasional Indonesia, Artbrut Indonesia, British Council Indonesia, dan sejumlah lembaga terkait. Puncak Festival Bebas Batas akan berlangsung 12-29 Oktober 2018 dengan menampilkan pameran seni rupa 60 karya seniman disabilitas yang sebagian besar dikumpulkan dari hasil seleksi terbuka.
Di Indonesia, pameran-pameran seni rupa penyandang disabilitas telah berulang kali digelar secara parsial. Akan tetapi, pameran dalam skala nasional secara serentak belum pernah diselenggarakan.
“Secara nasional, pameran Oktober mendatang merupakan sejarah pertama seni rupa Indonesia yang memanggungkan karya-karya penyandang disabilitas. Inggris sudah berpengalaman selama 40 tahun menempatkan karya-karya seni rupa para penyandang disabilitas sebagai bagian penting dari sejarah mereka. Kita baru akan memulainya,” tambah Sudjud.
Rangkaian Festival Bebas Batas dibuka dengan menggambar mural di Galeri Nasional Indonesia 12-14 Mei 2018 yang diikuti tujuh seniman difabel. “Ekspresi seni kebinekaan diangkat para seniman difabel untuk memberikan kebahagiaan dan kenyamanan dalam lingkungan sosial,” kata pegiat Komunitas Artbrut Indonesia Nawa Tunggal.
Selanjutnya, kegiatan dilanjutkan dengan pelatihan menggambar di lima RSJ mulai 7 Mei-6 Juni 2018. Tak berhenti di sini, pada 13 Oktober 2018 akan digelar pula pelatihan menggambar bebas batas di Galeri Nasional Indonesia melibatkan guru seni rupa anak disabilitas Timotius, seniman Hanafi, seniman Beatrice, dan seniman difabel Hana Madness. Sebelum pameran digelar 12-29 Oktober 2018, akan digelar pula arena komunitas dan panggung pertunjukan yang melibatkan para penyandang disabilitas sebagai penampil pertunjukan.